"Jangan terlalu percaya pada sekitarmu, Cel. Kamu tidak tahu dari arah mana seseorang akan menikammu. Sekarang ini banyak sekali wanita yang terlihat polos, tapi pada kenyataannya terdapat iblis yang bersemayam dalam dirinya. Well, aku tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa di sini. Hanya mengingatkanmu supaya jangan terlalu baik kepada semua orang." Sahut seorang wanita yang duduk di depan Alena. Mata wanita itu menyorot ke arah Alena. Namun, kemudian ia menyunggingkan senyum tipis.

Tiga temannya menyetujui, sementara Michel lagi-lagi hanya mengulas senyum bak malaikat.

Seorang pelayan datang ke meja membawakan pesanan yang telah dipesan. Michel mengangkat mangkuk sup di nampannya sendiri. Terlihat panas asap yang masih mengepul di atasnya.

"Arhhh!" tanpa sengaja, Michel menumpahkan setengah kuah sopnya ke tangan Alena. Alena meringis kesakitan. Cairan panas itu membakar kulit putihnya.

Michel panik dan mencari-cari tisu melihat tangan Alena yang mulai memerah. Para pelayan pun mengambil air dingin untuk meredakan rasa panasnya.

"Ya Tuhan, Alena! Aku ... maafkan aku. Aku ceroboh sekali. Tanganmu,—" Michel berucap dengan terputus-putus dan mata berkaca-kaca merasa bersalah.

Teman-teman Michel tak kalah ngerinya melihat kucuran yang tak sengaja tumpah tepat di lengan Alena. Mereka tidak bisa membayangkan betapa perih dan panasnya itu.

Alena meringis kesakitan. "Nggak apa-apa. Sebaiknya aku pergi ke toilet dulu sebentar," ucap Alena sambil menahan perih di tangannya, lalu ia pun beranjak dari kursinya.

Michel menatap Alena sendu. Wajahnya dihiasi dengan raut yang menyiratkan rasa bersalah. "Alena, maaf ya..."

Alena mengangguk, memaksakan senyum, kemudian berlalu mencari toilet.

"Neraka bahkan tidak sepanas itu. Kamu tidak berpikir si OG itu pantas mendapatkannya, Cel? Tidak usah memasang tampang yang terlalu bersalah. Kamu kan tidak sengaja. Jangan terlalu baik pada orang tidak tahu diri sepertinya." Ujar sinis salah satu teman Michel. Wanita itu tampak tak menyukai Alena dan sudah pasti dia memiliki alasan tersendiri.

Wanita itu kemudian menyesap teh hijaunya santai di cangkir. Dan obrolan mereka pun berlanjut dengan riang seperti tidak ada hal buruk terjadi beberapa saat yang lalu.

**
Alena membasuh tangannya yang terlihat melepuh menggunakan air dingin. Ringisan demi ringisan keluar dari bibirnya. Setelah selesai, ia kembali ke meja makan. Seketika, kehadirannya menghentikan gelak tawa mereka. Obrolan mereka terhenti digantikan dengan suara dentingan sendok dan suara-suara pengunjung lain.

Alena meringis getir. Sangat sulit mendapatkan seorang teman ketika kamu berasal dari kasta yang berbeda. Jika kamu bisa berteman dan menempatkan diri di tengah-tengahnya, entah karena kamu sedang beruntung, atau kamu hanya sedang dimanfaatkan untuk jadi yang paling tercela di antara semuanya.

Dan saat ini, Alena di sana sedang mengisi ruang kosong itu.

Alena memutuskan untuk keluar dari grup sosialita itu. Lagipula, jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul delapan. Ia yakin Kris sudah pulang pada jam segini. Ponselnya kehabisan baterai sehingga ia tak bisa memastikan apa Kris sudah sampai ke apartemennya atau belum.

Alena menunggu bus di halte yang tak kunjung datang. Hampir satu jam, masih belum datang. Terlalu jengkel menetap di sana seorang diri, ia pun memutuskan untuk berjalan kaki itung-itung olahraga. Tidak sampai satu jam, pikirnya.

Sesampainya di depan gedung apartemen, ia melihat Michel memasuki lobi apartemen Kris. Alena langsung menghentikan langkah kakinya dan berjalan mundur. Ia mendesah lelah. Diurungkannya niat untuk kembali ke apartemen Kris.

My Cute Office GirlWhere stories live. Discover now