33

133 3 0
                                    


"Ada kalanya wajah yang terlihat begitu ceria, hatinya tertoreh luka"

Happy Reading

--

Cassy POV

Selama ini, aku hanya menganggap Angel rivalku. Meski aku begitu menyayanginya, tak dapat kuingkari, aku merasa bersaing dengannya. Bersaing dalam mendapatkan perhatian orang tua kami, bersaing dalam membanggakan mereka, bersaing untuk mendapatkan cinta yang sama.

Jujur saja, aku membencinya. Bagiku, dialah penghancur keluarga kami. Karenanya, keluarga kami menjadi berantakan. Karenanya pula, Calvin menjauh dariku. Karena dia juga, hubunganku dengan mama papa merenggang. Karena dirinyalah papa menjadi koma. Karenanya, kini aku begitu terluka dalam penyesalan.

Rumah pun menjadi tempat mengerikan bagiku saat itu. Tak ada lagi kehangatan. Tak ada canda tawa. Yang ada hanya bentakan dan pecahan kaca.

Tapi itu dulu, sebelum aku menyadari betapa aku egois. Angellah korban di sini. Dia begitu terluka. Entah apa jadinya aku jika berada di posisinya. Bunuh diri mungkin?

Calvin sudah menceritakan semuanya. Dari awal sebelum kejadian lima tahun lalu, kasus kematian kakaknya. Gadis itu tak salah. Tetapi, apa yang sudah kulakukan selama ini? Aku bahkan membenci kakakku sendiri.

Aku ingat, Angellah satu-satunya yang peduli padaku, ketika aku begitu terpuruk kehilangan penopangku. Tapi apa yang kubalas padanya? Air mata dan luka?

Aku menatap nanar mereka. Calvin sedang berlutut di depan Angel sembari memberi setangkai Lily putih yang indah. Mereka tampak tertawa bersama. Bahagia. Apakah aku masih memiliki kesempatan merasakan apa yang Angel rasakan saat ini, sementara gadis itu tak mengingat apapun?

Kutepis air mataku lagi dan lagi. Kali ini, aku tak boleh egois, cukup sudah air mata yang kuberi untuknya selama ini. Meski aku mencintai lelaki itu, aku akan merelakannya. Demi kebahagiaan mereka, demi Angel.

Aku membalik tubuhku, seketika terkejut ketika mendapati ada seorang wanita menatapku berkaca-kaca. Wanita itu meraih pundakku dan membawanya dalam pelukan. Sangat hangat. Sungguh. Rasanya sudah lama aku tak merasakan ini. Mungkin sejak lima tahun lalu.

"Maafkan mama, sayang." Ucap wanita itu lembut, masih mengelus punggungku, membuatku semakin terisak, tak peduli tatapan orang yang melewatiku. "Mama tahu ini berat, tapi mama tak bisa memaksa keadaan ini. Mama harap kamu pun bahagia."

Aku mengangguk di pelukannya masih dalam tangisan. "Mama gak salah. Aku yang salah, Ma."

Wanita itu, Emily Harvey melepaskan pelukannya. Kedua lengannya mencengkram pundakku lembut, menatapku penuh kasih sayang. "Mama tahu, mama salah. Selama ini hanya terkungkung dalam kepergian Angel. Maafkan mama."

Dapat kulihat air mata yang sedari tadi ditahan wanita itu terjatuh, membuatku spontan mengusapnya dengan ibu jari. "Aku menyayangi mama. I miss you so much, Mom."

"Me too." Balas mama tersenyum padaku, membuat hatiku kembali menghangat. "Jangan pernah merasa sendiri lagi, sayang! Mulai sekarang, mama akan selalu ada untukmu.  Mama janji, kalau perlu, mama berhenti bekerja."

Kembali kami berpelukan erat, tak ingin terlepas. Menumpahkan segala risau di hati meski tanpa kata. Hingga perasaanku terasa jauh lebih lega. Aku bahagia. Sungguh. Aku akan berbahagia.

--

Author POV

Angel dan Calvin masih berada di posisi yang sama. Calvin yang duduk di bangku panjang di bawah pohon rindang, menghadap pada sosok cantik Angel yang duduk di kursi roda. Mereka saling melempar tawa karena lelucon yang Calvin lontarkan.

"Bagaimana mungkin kamu bisa begitu?" Tanya Angel tidak percaya, memastikan ucapan Calvin sebelumnya masih dengan kekehannya.

Calvin turut tertawa sembari menjawab. "Ya. Aku baru masuk SD waktu itu, ketika seorang kakak kelasku ingin mengambil uang jajanku, aku ketakutan sampai pipis di celana. Tentu saja aku langsung terkenal di sekolah sejak itu."

Angel masih tertawa membayangkan bagaimana lelaki di depannya ini saat itu. Lihatlah!! Pria setampan dan sekeren Calvin ini pipis di celana??!

Eh, tampan? Keren?

Yah, Angel mengaku, Calvin sangat-sangat tampan. Penampilannya padahal sederhana. Seperti saat ini, lelaki itu hanya menggunakan kemeja putih polos yang lengannya digulung hingga siku. Dipadupadankan dengan jins biru tua dan sepatu converse. Hanya sesederhana itu, tetapi terlihat begitu menarik. Terlebih, entah kenapa, jantung Angel berdetak tak keruan.

"Aku senang melihatmu senang seperti ini." Celetuk Calvin membuat tubuh Angel seketika menegang. Terlebih ketika jemari-jemari kekar itu mengelus rambut halusnya, merapikan poni nakal yang menutupi sebagian dahi gadis itu.

"Teruslah seperti ini, Angel." Lanjut lelaki itu pelan, masih menatap Angel lekat sembari tersenyum. "Teruslah tersenyum, untukku."

Suasana mendadak menjadi canggung ketika Angel memutus pandangan mereka. Hati Angel berdebar-debar, seperti baru saja berlomba lari jauh. Semoga saja, Calvin tidak menyadarinya. Angel mengalihkan pandangan, kemanapun asal tidak menatap iris abu-abu itu.

"Sepertinya sudah sore." Gumam Calvin menyadari suasana yang canggung. "Kamu harus kembali ke kamar."

"Ya."

Calvin pun kembali mendorong kursi roda gadis itu dengan sebelah tangan, sementara tangan satunya memegang infus. Tak ada percakapan apapun. Calvin dapat melihat kegugupan gadis itu, melengkungkan segaris senyum tipis.

Meski kamu tidak mengingatku, aku akan membuatmu jatuh cinta padaku, lagi dan lagi!!

--

Beberapa minggu kemudian

Suasana hari ini sungguh ramai. Ini hari minggu sekaligus hari yang spesial, karena Angelica Harvey bisa keluar dari rumah sakit dan resmi kembali menyandang nama 'Harvey'.

Semua berkumpul di rumah sakit. Ada Calvin dan ibunya, ada Agam si dokter tampan yang menaruh hati pada gadis itu, ada Emily dan Edward Harvey, terlebih saudari kembarnya, Cassy yang sedari tadi sibuk memasukkan pakaian sang kakak ke dalam koper.

Tak ada celah untuk keheningan menyapa, karena keriuhan selalu terdengar. Bahkan beberapa kali perawat datang menyadarkan mereka agar tidak terlalu berisik, karena menganggu pasien lainnya di luar.

Angel menatap mereka semua senang. Meski ia tidak mengingat apapun, suasana ini begitu membuatnya merindu. Ia tak tahu rindu semacam apa. Hanya saja, hatinya terasa meghangat. Senyum lebarpun tak dapat berhenti menyinggahi wajahnya.

"Kamu harus bekerja di perusahaan papa nanti, Angel." Celetuk papanya, tapi Angel hanya tersenyum.

"Tidak, Angel harus bekerja di kantorku agar aku bisa selalu melihat wajahnya." Sanggah Calvin membuat Edward Harvey membelalakkan matanya, seakan ingin keluar.

"Apa hakmu, Calvin Alvert?" Balas Edward ketus, meski ia hanya bercanda.

Calvin memandang 'calon mertuanya' itu memelas. "Ayolah, camer, kau kan akan melihatnya setiap saat di rumah. Harusnya kau mengizinkan Angel bersamaku saat bekerja, agar kita adil."

"Camer?" Ulang Edward skeptis, keposesifan seorang ayah pada putrinya terlihat jelas. "Beraninya kamu mengaku sebagai menantuku."

Calvin membungkam mulutnya, padahal tawanya sudah ingin keluar. "Eh, aku kan akan menjadi menantumu nanti, Edward, tunggu saja." Bisik lelaki itu pelan di telinga Edward.

"Percaya diri sekali." Gumam Edward masih dengan pandangan melotot.

Mereka semua hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan kekanakan dari dua orang dewasa, ralat salah satunya bahkan sudah 'sangat dewasa'. Dasar, tidak mengingat umur!!

Angel hanya tertawa melihat mereka, hingga ia tak sabar ingin kembali ke rumah. "Ayo, sebaiknya pulang, aku sudah tidak sabar."

--

Be My AngelWhere stories live. Discover now