7

152 10 0
                                    


"Karena percaya adalah aku, tapi bukan kamu"


Angel tersenyum senang ketika Delima Kusuma, seperti yang tertera di akunnya, mengomentari salah satu puisi yang ia buat begitu menyentuh hatinya, bahkan Delima mengira, Angel pernah mengalaminya sendiri.

Sebenarnya...

Ya..

Puisi itu memang ia tujukan pada seseorang yang begitu dirindukannya. Berubah wajahnya menyendu ketika mengingat sosok itu. Dia sedih, karena sosok itu membencinya. Tak lagi mempercayainya. Tak lagi peduli padanya. Tapi, bergegas ia menghilangkan pikiran itu dan membalas komentar Delima.

Hingga gebrakan mejanya menghilangkan  konsentrasinya. Emosinya menjadi muncul. Tapi, begitu mendongak, hanya keterpakuan yang bisa ia tunjukkan.

Seorang wanita yang begitu dikenalnya dan lelaki yang dirindukannya berada di sana.

Sang wanita melipat kedua tangan di depan dada. Menatap Angel dengan menilai.

"Wah lihat, siapa yang ada di sini? Masih berani menampakkan wajah ya? Saudaraku tersayangg?" Ucap wanita itu mengejek, masih dengan melipat tangan.

Angel ingin menjawab, tetapi merasa dirinya sudah tercemar, kini seisi cafe sedang memandangnya, ia merasa malu. Bahkan sangat malu.

"Cas, apaan? Jangan bikin malu." Bisik Calvin yang masih terdengar di telinga Angel. "Kita jadi pusat perhatian.

Wanita itu hanya membuang muka, lalu kembali berkata sinis. "Lo mau belain dia lagi? Si pembunuh kecil ini??"

Plak!!

Wajah Cassy kontan memerah ketika Angel menampar pipinya. Angel terpaku tak percaya. Ia bahkan tak sadar ia sudah memukul 'adik'nya sendiri.

"Anu.." Angel bingung. Ia merasa bersalah, tapi ia tidak menyesal telah menamparnya. Ucapan Cassy membuatnya terluka.

"Bukan aku.." Lirih Angel sebelum matanya mulai memanas.

Angel merasa malu. Benar-benar malu. Kini, orang-orang di sana menatapnya meremehkan, ada yang ketakutan. Angel bergegas membereskan barangnya, sebelum meletakkan uang seratus ribuan di atas meja. Bergegas meninggalkan tempat itu.

Bahkan pesanannya pun belum datang, tapi ia sudah ingin pergi secepat yang ia bisa.

Sebelum melangkah keluar pintu cafe, Angel masih dapat merasakan tatapan Calvin yang mengarah iba padanya.

Tapi ia tidak peduli. Sungguh, hatinya jauh lebih sakit.

--

"Pembunuuhh.. pembunuhh..."

"Bu, kenapa di kelas kita ada seorang pembunuh?"

"Pak, aku takut kalo sekelas sama pembunuh, nanti aku diapa-apain lagi sama dia.."

Suara-suara itu membuat seisi kelas tertawa. Tak hanya ucapan-ucapan mengerikan itu, tatapan mereka pun begitu sinis kepada Angel. Bahkan ada yang terang-terangan membully-nya, melukai fisiknya, hingga psikisnya. Untungnya, saat itu ia sudah kelas 12 dan akan segera lulus. Sehingga penderitaan masa SMA-nya tak berlangsung lama.

Tapi, semua tak semudah bayangannya. Beberapa hari kemudian, kedua orang tuanya mengusirnya dari rumahnya. Dengan alasan yang sama. Alasan yang membuat hati gadis itu begitu terluka. Pembawa sial. Aib keluarga dan umpatan lainnya. Angel yang tak memiliki apa-apa pontang-panting bertahan hidup hingga seorang wanita tua bersedia membantunya. Angel tinggal bersama nenek Rahmi, si Nenek tua yang menemukannya di pinggir jalan tikus sedang menangis sendirian. Di rumah sederhana yang begitu reyot.

Tak ingin menyusahkan Nenek Rahmi, Angel sekolah sambil bekerja menjadi pelayan Cafe.

Lulus SMA, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Tapi itu mengharuskannya ke Jakarta. Meninggalkan Nenek Rahmi yang sudah tua kembali sendirian.

Dengan restu sang nenek, Angel merantau ke Jakarta. Meninggalkan kenangan lamanya. Hingga ketika ia kembali ke kota asalnya 3 setengah tahun kemudian, ia mengetahui bahwa penolongnya itu sudah meninggal dunia. Tak memiliki ponsel membuat ia tak tahu tentang itu.

Angel begitu sedih. Akhirnya, untuk mengenang nenek Rahmi dan keluarganya, meski masih tak berani menemui mereka, Angel memutuskan bekerja disini. Hingga mendapatkan pekerjaan di Alvert's Company. Ia begitu lega. Sungguh. Tapi kehadiran seorang yang ia hindari membuat dirinya dibelenggu ragu.

Angel masih menangis di kamarnya. Dalam hening malam yang semakin dingin. Tak peduli jam sudah menunjukkan jam 11 malam. Tak peduli ia harus kembali bekerja keesokan paginya. Tak peduli matanya menghitam seperti panda. Ia hanya ingin menangis. Tanpa ada yang tahu.

Ia yakin, akan ada saatnya, kebahagiaan itu menyapanya.

---

TBC

THANK YOU

Sorry kalo ceritanya agak aneh atau terlalu terburu-buru atau banyak typo, mohon maklum dengan penulis amatir kayak aku😊😊

KLIK VOTE OR COMMENT PLIS

Be My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang