20

133 4 0
                                    


"Mungkin sudah saatnya aku menyerahkan diriku pada takdir yang kejam."

-Angelica Harold-

Happy reading

--

Angel menatap rumah barunya datar. Kemarin ketika Cristine menemuinya, ia sudah memutuskan untuk kembali menjauh dari masa lalunya. Itu semua demi papa. Demi kesembuhan papa. Cristine berjanji padanya, akan membiayai pengobatan papanya jika ia pergi dari kehidupan mereka.

Angel sudah mengundurkan diri dari perusahaan itu. Ia memutuskan untuk pindah. Meski masih di kota yang sama, tetapi Angel yakin ini adalah tempat yang aman.

Angel berencana untuk pindah ke kota lain, tapi ia masih tak memiliki cukup uang. Gaji bulan ini belum ia ambil, makanya keuangannya hanya cukup untuk hidupnya seminggu ke depan.

Angel membuka pintu itu pelan. Sebenarnya itu adalah tempat kos yang akan menjadi tempat ia tinggal. Harganya lumayan terjangkau meski tak begitu luas.

Beberapa gadis menyapanya ketika berpapasan, yang ia balas dengan senyuman terbaiknya.

Angel meletakkan koper dan tasnya di tepi kasur. Mengamati ruangan yang tak seberapa ini. Lumayan untuk ia berteduh sementara, batinnya menyemangati.

Ia membersihkan kamarnya sebentar sebelum mulai mencari pekerjaan.

--

Untungnya, tak butuh waktu lama, Angel bisa bekerja. Meskipun hanya menjadi seorang pelayan cafe, ia sudah bersyukur. Setidaknya ia bisa mendapatkan uang untuk biaya ke Jakarta, tempat ia berkuliah dulu. Ia memutuskan pergi ke sana karena hanya tempat itulah yang ia tahu selain kampung halamannya di Surabaya.

Sudah seminggu ini Angel kembali memulai hidupnya yang baru menjadi pelayan cafe. Suasana tempat kerjanya yang baru terasa menyenangkan. Begitupun teman-temannya yang ramah. Gajinya pun lumayan, meski jauh lebih rendah dari gaji sebelumnya.

"Silakan."

Angel meletakkan pesanan pelanggan ke meja mereka. Lalu berbalik meninggalkan sepasang suami istri yang kini sibuk berbincang.

"Angel, tolong antarkan ke meja 10."

Angel mengangguk pada Ranty, rekan kerjanya di cafe, lalu mengambil alih nampan di atas meja, membawa pesanan ke arah meja yang disebutkan.

Seorang lelaki tengah melamun menatap jendela di luar, menggunakan kacamata hitam dan kepalanya tertutup hoodie. Hanya terlihat sebagian tubuhnya yang tegap menyamping.

"Silakan."

Angel berbalik, tetapi lengannya segera ditahan. Sebuah suara berat membuatnya mematung.

"Angel?"

--

Sudah seminggu ini Calvin uring-uringan. Pekerjaannya tak terurus. Ia memang ada di kantor hingga tengah hari, sisanya ia berkeliling mencari keberadaan gadis itu, tapi ia tak pernah fokus. Pegawai yang melakukan kesalahan sedikit saja, akan menjadi bulan-bulanan kemarahannnya.

Calvin sudah memutari kota Surabaya hampir dua jam. Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan menghempaskan tubuhnya di kursi kemudi.

Kruyukkk!!

Siall!!

Perutnya tak bisa diajak kompromi. Memang, Calvin belum menyentuh makanan dari kemarin siang. Ia sungguh tidak bernafsu.

Calvin mencari tempat makan terdekat. Ia tak tahu di mana ia sekarang berada. Sedari tadi, ia hanya menyetir ke mana saja, asal berkeliling menemukan gadisnya. Tak lama, ia menemukan sebuah cafe yang lumayan ramai di pinggir jalan. Ia turun dari mobil, memakai penutup hoodie-nya dan kacamata hitam untuk menutupi matanya yang tampak mengerikan.

Calvin memilih tempat duduk dekat jendela. Menatap jalanan yang lalu lalang. Seorang pelayan mendekat. Ia membuka buku menu sejenak dan memesan.

Sepeninggal pelayan, Calvin kembali merenung. Terlalu banyak yang terjadi beberapa bulan terakhir. Rasanya ia sudah begitu lelah.

Kemarin, ia bertengkar hebat untuk ke sekian kalinya dengan Milly dan Cristine. Ia bahkan membentak ibunya dan meninggalkan kedua wanita itu tanpa pamit.

Calvin begitu ingin bertemu Angel. Ia ingin mengabarkan bahwa papanya sadar dari komanya tiga hari lalu. Ia ingin mengatakan bahwa ia kehilangan gadis itu. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri betapa berartinya gadis itu baginya.

Andai...

"Silakan."

Suara itu. Terdengar begitu merdu tergiang di telinganya. Tanpa sadar, Calvin meraih pergelangan gadis yang kini memunggunginya itu. Tanpa ia sadari, pesanannya sudah tertata rapi di meja.

"Angel?"

Calvin dapat merasakan tubuh itu kaku. Perlahan gadis itu berbalik. Membuat rasa lega dan kebahagiaan menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Angel?" Panggil Calvin lagi dan lagi.

Angel hanya terpaku di tempatnya, masih dengan nampan di dada.

Calvin berdiri, memeluk tubuh yang begitu dirindukannya itu. Tak peduli kini semua tatapan tertuju pada mereka.

"Jangan tinggalkan aku lagi." Ucap Calvin masih memeluk Angel.

Angel diam tak berkutik. Bingung akan apa yang harus ia lakukan. Seakan tersadar, Angel mencoba memberontak. Tetapi, kekuatannya sungguh tidak ada apa-apanya.

Biarlah aku egois sekali, batin Angel.

Setelah beberapa lama, Calvin melepaskan pelukannya. Ia menuntun Angel duduk di hadapannya, masih dengan cengkraman di lengan Angel dan tatapan bingung pengunjung cafe lainnya.

Angel diam saja, tetapi wajahnya sudah memerah menahan tangis. Tangis, sedih, kecewa, bahagia, rindu bercampur menjadi satu.

Mereka terdiam beberapa saat saling menatap. Tak ada yang ingin memecahkan keheningan. Hanya dengan tatapan, mampu mengutarakan apa yang mereka rasakan.

Kasak-kusuk di sekitarpun tak mereka hiraukan. Dunia seakan mereka miliki berdua saja.

"Aku merindukanmu." Kata Calvin setelah beberapa saat. "Aku merindukanmu."

Aku juga, batin Angel. Tetapi ia sudah berjanji, demi papanya.

"Apa kau tidak merindukanku?" Tanya Calvin memelas.

Angel menahan untuk tidak menangis, demi papanya.

"Tidak." Balas Angel cepat, sebelum mulutnya berkhianat. Ia memalingkan wajahnya, menghentakkan genggaman Calvin hingga terlepas. "Permisi, aku harus bekerja."

Calvin masih menatap kepergian gadis itu yang kini menghilang di balik pintu dapur. Menghela napas lelah.

Apa sudah terlambat untukku kembali berjuang, Angel?

--

Be My AngelKde žijí příběhy. Začni objevovat