Alena tidak mengatakan apa-apa, karena menurutnya percuma saja. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba berdebat dengannya, toh tidak akan ada hasil yang akan menguntungkan posisinya di akhir sehingga ia memilih bungkam dan mengganti kopinya lagi daripada harus membuang energi dengan perdebatan konyol untuk hal yang ia sudah perkirakan bagaimana akhirnya.

**

"Ini kopinya, Pak Kris. Saya sudah menambahkan cukup gula. Saya juga sudah memastikan ini tidak terlalu pahit, tidak seperti kopi tadi yang Anda sebut 'sepahit' hidup saya." Desis Alena yang sudah benar-benar merasa kesal, tapi berusaha sekuatnya untuk menjaga nada suaranya agar tidak meledak.

"Kamu mencicipinya? Pakai gelas ini?" Kris menempelkan bibirnya ke cangkir, tapi tidak langsung meneguknya. Dia menanyakan hal yang entah untuk apa maksudnya.

Alena mengibaskan tangan. "Tentu saja tidak! Iya, saya mencicipi untuk memastikan rasanya, tapi saya memakai sendok lain. Dan Anda tenang saja, karena sendok yang saya pakai tidak saya gunakan untuk mengaduk kopi di tangan Anda, jika itu yang Anda khawatirkan." Jelas Alena dengan penuh penekanan dan sindiran. Karena mungkin saja Kris merasa jijik jika benar Alena mencicipi kopinya memakai sendok yang sama.

Kris hanya memberi tatapan tidak terbaca dan akhirnya menyesap kopinya perlahan, yang Alena yakini itu tidak lebih dari setetes. Alena tidak langsung pergi. Ia menunggu Kris untuk meminum kopinya. Berjaga-jaga jikalau si CEO ini menyuruh dirinya untuk mengganti kopi itu lagi.

"Ahhh ... Saya lupa," Kris menjentikan jari.

Sial! Tuh kan apa aku bilang? Pasti ada saja yang akan dia katakan lagi.

Otaknya seperti benar-benar tidak ada habisnya untuk mengerjai Alena.

"Saya ternyata tidak bisa minum kopi untuk minggu ini. Dokter bilang itu tidak baik untuk lambung saya yang lemah akhir-akhir ini." Ucap Kris menjelaskan dengan sorot mata lesu.

Perasaanku sudah mulai tidak enak...

"Lalu?" tanya Alena mewanti-wanti jawaban Kris. Sebenarnya Alena sama sekali tidak peduli dengan keadaan lambungnya. Masalahnya adalah; Alena seperti bisa membaca akan ke arah mana ucapannya berlabuh. Pasti tidak akan mengenakan posisinya.

"Lalu, bisakah kamu membelikan Teh di Cafe langganan saya?"

Apa itu sebuah perintah, atau sebuah permohonan?

Alena mengembuskan napas. "Tapi kan di sini juga memiliki banyak varian teh, Pak Kris. Kenapa harus mencari jauh-jauh ke Cafe tersebut," Ia mencari jalan lain yang lebih praktis. Mencoba meyakinkan si Devil Kris bahwa kantor ini juga memiliki teh yang berkualitas. Lagipula hanya untuk sebuah teh, kenapa harus jauh-jauh mencari di Cafe? Benar-benar menyusahkan. Kaki Alena pun sudah terasa pegal akibat bolak-balik tak jelas dari Pantri lalu balik lagi ke ruangan CEO.

"Saya tidak begitu suka rasa teh di kantor. Well, teh di sana rasanya itu khas dan tidak dijual di Cafe lain, Al. Saya yakin kamu tidak mengerti akan hal itu, jadi percuma walaupun saya menjelaskan." Kris mengibaskan tangan. "Sudah. Belikan saja sana. Apa susahnya sih." Kemudian menyodorkan beberapa lembar uang 100 ribuan.

Jika boleh jujur, Alena sangat ingin menolak perintah semena-menanya ini. Tapi mau diapakan lagi? Ini termasuk tugasnya, bukan? Ia hanya mampu mengatur deruan napas—menahan rasa kesal. Dongkol dan sebagainya berkecamuk dalam dada.

Sabar, Alena ... Tidak perlu berdebat dengannya. Karena itu adalah ke sia-siaan yang tidak penting. Hanya akan menyita energi dan menguras emosimu saja. Batin Alena menguatkan diri sendiri.

Selama seharian ini ia tidak tahu berapa kali sudah mengumpat dalam hati gara-gara tingkah kekanakan Bos di hadapannya saat ini.

"Di mana alamatnya? Apa jaraknya dekat dari sini?" tanya Alena pasrah.

My Cute Office GirlWhere stories live. Discover now