33. Makan Malam

34K 2.8K 134
                                    

Pagi ini seperti biasa Rian sudah menungguku didepan dengan mobil sedannya. Sebenarnya, itu bukan mobilnya, tapi mobil perusahaan tempat dia bekerja. Jadi, selama dia masih bekerja di perusahaan itu dia berhak menggunakan mobil itu. Dan mobil miliknya dia tinggal di New York.

Papa sudah berangkat bekerja dari setengah jam yang lalu. Maklum dia masih menjabat sebagai kepala sekolah. Kalau tidak salah, tahun depan barulah dia melepaskan kedudukannya itu. Aku kadang kasihan dengan papa yang mesti sibuk dengan urusan-urusan sekolahan diumurnya yang semakin menua. Tapi, mau diapa, aku sendiripun belum bisa menghasilkan uang banyak untuk membiayai hidupku dan papaku.

Aku membuka pintu depan. Rian melambai dari dalam mobil. Hari ini dia menggunakan kemeja biru muda yang bermotif garis-garis.

Aku berjalan masuk kemobilnya. Kemudian, menaruh tasku dipangkuanku.

"Pagi," sapanya.

Aku menoleh dan tersenyum. "Pagi juga."

Rian menyalakan mobil, lalu mulai mengendarainya. Dia menoleh sekilas kearahku yang sibuk memandangi jalan kota Boston. Padat, seperti biasa, padahal ini masih pagi. Jalan dipadati dengan berbagai kendaraan orang-orang yang juga akan memulai kesibukan mereka masing-masing.

"Kau tidak ada rencana hari ini?" tanya Rian. Tatapannya terkunci pada jalanan.

"Ya," jawabku singkat.

"Ya?" ulang Rian.

"Oh, hari ini?" Aku hampir lupa. Nanti malam aku diundang kekediaman keluarga Revano. "Aku ada acara makan malam," jawabku.

Rian mengerutkan keningnya. "Sama siapa?"

Aku menghela napas berat. "Keluarga Abvale. Hari ini hari ulang tahun pernikahan tante Valencia dan om Adrian yang ke 28," jelasku.

Rian mengangguk mengerti. "Kau sendiri?"

"Ya..." sahutku, lalu sebuah senyum miring tanpa kukehendaki muncul diwajahku. "memangnya mau sama siapa?" lanjutku miris.

"Aku," balasnya cepat.

Aku lantas menoleh, menatapnya dengan kedua alis yang terangkat tinggi. "Serius?" Dan Rian mengangguk mengiyakan.

"Kenapa? Kau tak mau?"

Aku? Tidak mau? Justru aku sangat mau. Aku mana mau sendirian pergi kerumah keluarga Abvale, bisa mati kutu aku. Lagipula, kenapa aku tidak kepikiran untuk mengajak Rian dari kemarin? Ini pasti karena aku tidak mau ambil pusing tentang ajakan Valeandri, bahkan tadi aku sempat lupa kalau acara tersebut malam ini.

"Bagaimana?" Rian kembali mengangkat suara. Bertanya apakah aku setuju atau tidak bila dia ikut denganku malam ini.

"Tentu," jawabku dengan senyum yang mengembang lebar. Walau masih tersisa perasaan janggal, takut, dan was-was untuk nanti malam.

Rian menghela napas panjang. "Kujemput jam berapa?"

"Tujuh," sahutku.

===>>><<<===

Entah, kebetulan atau bukan, aku dan Rian sama-sama mengenakan baju putih. Tidak juga, sih. Rian memakai kemeja putih berlengan panjangnya, sedangkan aku dress putih selutuh yang sama polos dengan kemeja Rian. Penampilan kami berdua serasi, itu kenyataan.

Aku dan Rian sudah sampai dirumah kediaman keluarga Abvale di Boston. Rumah besar, bertingkat tiga itu tampak tinggi menjulang dihadapan kami. Halamannya luas, bisa memuat sekitar 100 orang lebih.

Aku sudah beberapa kali kesini, kalau tidak salah tiga kali. Yang pertama, ulang tahun Abvale dua tahun lalu. Yang kedua, makan malam bersama papa dan mama. Dan yang ketiga, hari ini.

"Kau siap?" tanya Rian. Matanya memandang serius kearahku, seakan takut aku kenapa-napa.

Aku terkekeh pelan. Aku tidak apa-apa, pastinya ada rasa khawatir. Tapi, aku tidak apa-apa.

"Siap," sahutku yakin.

Rian tanpa aba-aba menggandeng tangan kananku. Ada remasan pelan di genggamannya. Aku tahu dia sedang memberiku kekuatan. Tapi, serius, aku sudah siap menerima apapun yang akan terjadi didalam. Termasuk Abvale dan Rebecca yang mungkin juga datang.

Kami sama-sama melangkah masuk. Pintu depan rumah terbuka lebar. Aku bisa mendengar suara tante Valencia tertawa dan suara Valenadri yang sedang asik bercerita.

Aku menghela napasku dalam. Menenangkan diriku sendiri. Aku yakin aku bisa menghadapi segalanya. Apapun itu. Dan ini akan menjadi terakhir kalinya aku bersama dengan keluarga besar Abvale.

"Hai, Kak Nesha," sapa Valenadri ketika aku dan Rian sudah sampai keruang makan.

Aku tersenyum membalas sapaannya. Dan tanpa sengaja mataku sudah kembali bertubrukkan dengan mata hitam kelam Abvale.

Sepintas aku hampir saja membiarkan memori tentang kami berdua memutar dikepalaku. Mebuatku mengulang mengenang hari-hari kami masih bersama. Untung saja, Rian kembali mengeratkan genggamannya dan menyadarkanku cepat-cepat dari hipnotis yang ditimbulkan oleh tatapan Abvale.

"Duduk, Nak," panggil tante Valencia. Aku bisa melihat raut kurang suka diwajahnya. Memangnya aku salah apa?

"Iya, Tante." Aku cukup sadar diri, kan, untuk tidak memanggil tante Valencia dengan sebutan 'mom' lagi.

Tante Valencia tersenyum lembut. "Kau tetap anakku. Aku sudah menganggapmu sebagai anak keempatku. Panggil Mom pun tak masalah," ujar tante Valencia tulus.

"Dan dia siapa?"

Aku baru sadar kalau raut tidak suka tante Valencia bukan kepadaku, melainkan Rian.

"Teman," sahutku pendek. Dan aku bisa mendengar lengosan merendahkan dari depanku, dari Abvale. Apa? Apa dia tidak percaya dengan perkataanku? Lalu aku harus peduli? Tidak, tentu saja tidak.

"Silahkan duduk, bergabung bersama kami," ujar Valeandri.

Sialnya, kursi kosong hanya tersisa dua, didepan Abvale dan Rebecca. Aku kira keluarga Abvale mengundang beberapa orang lain lagi selain kami. Nyatanya, tidak, hanya aku yang diundang, yang bukan berasal dari keluarga ini. Dan aku mengajak Rian, sehingga orang asing diantara keluarga Abvale malam ini bertambah satu lagi, selain aku.

Rian menarik kursi yang ada dihadapan Rebecca dan mempersilahkanku duduk, sedangkan dia sendiri duduk dihadapan Abvale.

Sesaat suasana diantara kami lenggang. Tidak ada yang mengangkat suara. Terasa kaku dan tidak nyaman. Lalu, Valeandri kembali berbicara.

"Kak Nes sekarang kerja dimana?"

"Di HS, guru taman kanak-kanak," jawabku.

Valeandri mengangguk. "Dia teman Kakak?" tanya Valeandri, sepertinya gadis itu sedang berusaha membawa Rian masuk kedalam obrolan karena semenjak awal Rianlah yang tidak pernah berbicara.

"Iya, dia...."

"Jujur saja, kalian sepasang kekasih," potong Rebecca secara tiba-tiba.

Abvale menaikkan salah satu alisnya. Ia menatapku tajam seakan menantangku untuk berbicara yang sesungguhnya.

"Doakan saja kami bisa secepatnya menyusul kalian."

Baiklah, aku tidak tahu tujuan pasti Rian mengucapkan hal tersebut. Tapi yang pasti aku bisa menangkap nada mengejek tersirat di balik suaranya.

Abvale tersenyum miring. Sedari tadi pria itu memilih menutup mulut.

"Oh, kalian cocok," sahut Rebecca.

Rian membalas perkataan itu dengan kekehan.

Kemudian beberapa pelayan rumah keluarga Abvale datang. Membawa sekitar 10 piring yang berisi makanan-makanan enak. Pembicaraan diantara kami terhenti karena bagi keluarga Abvale, makan sambil mengobrol itu tidak sopan.

Dan kurasa aku berhasil melewati pertemuan ini. Selanjutnya, aku tidak perlu lagi berurusan dengan keluarga Abvale, cukup hari ini.

===>>><<<===

Hulaaaa

Harusnya aku update kemarin, tapi aku ketiduran. Jadinya, sekarang baru dipublish. Jan bosan dengan cerita ini, ya.  Dan juga jan lupa tekan bintang dan ketik beberapa kata dikolom komentar.

Papai.

My Possessive FianceWhere stories live. Discover now