20. Harapan

43.4K 3.3K 327
                                    

Abvale mendekat kearahku. Dia memegang kedua pundakku. Lalu, menghembuskan napasnya secara perlahan.

Aku ingin menangis sekarang. Benar, bukan? Rebecca tidak berbohong. Abvale dan Rebecca memang memiliki anak yang sudah berusia enam tahun. 

Aku mengangkat kedua tanganku dan menempelkannya pada dada bidang Abvale. "Pergi," kataku sambil mendorongnya sedikit kuat. Berusaha menjauhkan dirinya dariku. Tetapi, Abvale tidak bergeming. Dia tetap berdiri dihadapanku dengan tatapan lembutanya yang hampir meruntuhkan pertahananku.

Dan tiba-tiba saja. Tanpa aku perkirakan sama sekali. Dia, Abvale, memelukku dengan sangat erat. Dia seakan sedang menyalurkan kekuatannya padaku yang sudah benar-benar rapuh.

Sialan, aku bisa jatuh kalau begini.

"Aku mencintaimu, Nesha."

"Aku benar-benar mencintaimu. Dan ini bukan omong kosong," lanjut Abvale.

Aku menelan salivaku susah payah. Persetan dengan pernyataan cintanya. Dia mengakuinya! Astaga, Abvale mengakui bahwa dia memiliki anak dan aku? Aku menerimanya? Tidak, tentu saja tidak semudah itu!

"Aku perlu waktu untuk berpikir," kataku. Dan melepaskan pelukan Abvale pelan.

"Pulanglah," kataku lagi.

Abvale menggeleng. Dia tetap keukeuh berdiri dihadapanku dan menatapku dalam. Tangannya lagi-lagi mencoba meraihku. Mencoba menyentuh pergelangan tangaku.

Dengan cepat aku melangkah mundur. Membuat jarak yang cukup untuk kami berdua. Yang benar saja! Hatiku sangat sakit saat ini. Aku butuh untuk sendiri, bukan terus menatap wajah tampannya yang membuatku semakin kalut.

"Terserah kau saja," tandasku akhirnya. Aku berbalik segera ingin meninggalkannya. Bodoh! Aku tidak mengerti mengapa sekarang aku bahkan tidak bisa mengambil keputusan apapun.

Harusnya sekarang aku mendesak Abvale mempertanggung jawabkan segalanya. Tetang pernyataan cintanya. Tentang harapan besar yang dia berikan padaku. Tentang kata-kata manisnya yang terus terngiang dalam kepalaku.

Aku ingin meminta Abvale berkata lebih. Tetapi, hatiku malah menolak dan ingin cepat-cepat meninggalkannya. Pergi menjauh dari sosoknya sebelum air mataku menjadi tontonan gratis baginya.

"Nesha," panggil Abvale dengan suara pelan dibelakangku. Aku menggeleng berusaha tidak tepengaruh. Berusaha tidak peduli.. Aku terus melangkah dan menarik napasku panjang-panjang.

Tidak. Aku belum siap. Aku belum mau memahami keadaan. Aku belum mau menerima semuanya. Jadi, aku akan lari saat ini. Menghindar dari hal-hal yang sudah kuprediksi. Tadinya, kupikir aku akan kuat setelah mendengar pernyataan iya dari Abvale. Tetapi nyatanya, aku malah tidak bisa bertahan lagi.

Kakiku gemetar. Peluhku bercucuran, padahal ini sudah malam. Angin dingin menusuk-nusuk kulitku. Kedua mataku juga perih karena menahan air mataku untuk tidak keluar sedikit pun. Ditambah lagi, leherku yang sakit karena terus-terusan tercekat ingin mengeluarkan isak. Dan terakhir, kepalaku yang berdentum keras. Logikaku sedang menertawakanku. Mengolok-olok kebodohanku. Mengejek pilihan hatiku.

"Nesha berbalik sekarang dan tatap aku!" Suara Abvale tegas. Ada sarat kekecewaan dan kemarahan besar disana.

Aku berhenti melangkah sedikit gentar dengan Abvale. Dan beberapa orang yang berlalu dariku, melihatku dengan pandangan mencemooh. Ada apa dengan mereka? Apa yang salah denganku?

"Nesha," panggil Abvale lagi. Kali ini, suaranya sangat lembut mengalun dalam terlingaku tidak lagi sekeras dan penuh intimidasi seperti tadi.

Aku memejamkan mataku sejenak. Berbalik atau tidak? Kalau aku berbalik ada kemungkinan aku akan jatuh dalam kurungan cinta sialan Abvale lagi. Tetapi, kalau aku terus memilih berjalan meninggalkan Abvale masalah ini akan semakin runyam.

My Possessive FianceWhere stories live. Discover now