28. Aku Ada Disini

32.7K 3K 227
                                    

Aku menatap satu persatu orang yang sedang berkumpul di ruang tengah rumahku. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang asing yang sama sekali tidak pernah kulihat. Mungkin teman sekerja ayah dan beberapa muridnya.

Ibuku ada didalam peti hitam ditengah-tengah kami. Sebentar lagi peti tersebut akan dibawa ke gereja untuk melakukan acara pemakaman, lalu dikuburkan.

Aku berjalan mendekat, sebenarnya aku baru saja sadar dari pinsanku. Aku beberapa kali kehilangan kesadaranku pada hari ini. Karena aku sendiri masih belum siap menerima kenyataan sepahit ini.

Dibalik kaca bening putih tersebut terlihat ibuku terbaring, menggunakan gaun putih yang bersih dan cantik. Wajahnya tenang, tidak memancarkan kesakitan seperti dulu yang sering kulihat ketika penyakitnya kambuh.

Sekarang, ibuku sudah tidak lagi bersamaku. Dia sudah pergi ke atas. Ketempat dimana orang-orang mati pergi. Aku sempat berpikir apa ibuku masuk surga? Memangnya surga itu ada? Entahlah, aku tidak terlalu mengerti tentang hal-hal itu.

Aku bukan orang rohani yang tiap minggu kegereja. Aku bahkan sudah tidak pernah berdoa lagi. Terakhir kali, seingatku aku berdoa ketika umurku 8 atau 9 tahun. Saat itu aku masih aktif sekolah minggu.

"Nes," panggil sebuah suara berat dari belakangku.

Aku berbalik. Aldo. Dia berdiri tegap dengan senyuman tipisnya. Jas hitamnya tampak sedikit berantakkan. Rambut cokelatnya juga.

"Maaf baru datang. Aku baru sampai tadi, pesawatnya delay," jelas Aldo dengan suara pelan seperti merasa bersalah.

Aku menghembuskan napasku. Memaksakan kedua sudut bibirku tertarik keatas. Berusaha memperlihatkan pada Aldo bahwa aku kuat, walau sebenarnya aku sudah benar-benar tidak tahan lagi dengan semua ini.

Aldo diam, kedua mata cokelatnya yang sangat kontras dengan warna rambutnya itu terus menatapku. Dan perlahan kedua tangannya terbuka. Tanda dia mempersilahkan aku untuk menjadikannya tempat sandaran.

Aku kembali menangis. Aku merasa pipiku lagi-lagi dibanjiri air mataku. Dengan cepat aku menubrukkan tubuhku padanya, memeluknya sangat erat, lalu tanpa bisa ku tahan lagi tangisku pecah. Suara isakan keluar dari mulutku.

Aku dapat merasa Aldo ikut sedih dengan keadaanku. Hal itu terpampang jelas dari tindakannya yang membalas pelukanku dengan sama eratnya. Dan mengusap belakang kepalaku lembut.

"Aku ada disini," bisiknya pelan. "Semuanya akan membaik. Kau bisa melewati ini," lanjutnya lagi.

Aku mengangguk sambil sesenggukakkan didepan dadanya.

"Nak," suara ayahku muncul dari balik tubuh Aldo.

Aku membuka mataku perlahan, mengintip dibalik lengan kiri Aldo. Disana ayahku sedang menatapku.

"Abvale diluar," lanjut ayahku lagi.

Aku bisa mendengar geraman kecil keluar dari mulut Aldo. Dia pasti kesal mendengar nama Abvale mengingat dia tahu kepergian ku kesini untuk menghindar dari pria itu.

"Kau tidak perlu keluar. Biar aku yang menemuinya."

Aku menggeleng, lantas melepaskan pelukan kami. Aku menelan salivaku yang terkumpul dipangkal tenggorokanku karena isakanku.

"Suruh dia pergi," tandasku.

Aku berbalik. Meraih tangan Aldo. Mengajaknya masuk kedalam kamarku. Aku ingin menenangkan diriku. Kepalaku lagi-lagi sakit.

Aldo tidak membantah atau mengatakan apapun. Dia hanya menuruti setiap langkahku.

Aku duduk diatas ranjang dan Aldo duduk di kursi riasku. Kami sama-sama hening. Suara orang-orang diluar terdengar. Ucapan-ucapan belasungkawa juga semangat untuk ayahku.

My Possessive FianceWhere stories live. Discover now