22. Ancaman

39.2K 2.9K 112
                                    

Sekarang, suasana yang tadinya ramai berubah jadi tegang seketika. Televisi yang menempel langsung dengan dinding tengah menunjukkan tampilan berita tentang kecelakaan yang terjadi sekitar sejam yang lalu.

Aku mengusap pelan punggung tante Valencia. Wanita itu menangis, takut anaknya kenapa-napa.

Abvale menghilang. Tidak ada kabar darinya. Sekretarisnya pun tahu dia kecelakaan karena sopir Abvale yang menelpon dan langsung memutuskan sambungan.

Di berita itu juga tampak mobil Abvale ringsek dipinggir jalan. Lambhorgini keluaran tahun ini itu tampak rusak parah pada kap sampingnya.

Kalau mobilnya saja serusak itu, bagaimana keadaan Abvale?

Aku takut. Sebenarnya, sangat takut. Tetapi melihat keluarga Abvale panik, aku tidak ingin semakin memperburuk suasana. Aku terus menggumamkan kata-kata menenangkan bahwa Abvale tidak akan kenapa-napa. Padahal aku juga sama sekali tidak yakin dengan perkataanku sendiri.

"Mom." Suara berat itu datang dari belakang. Suara yang pemiliknya adalah titik fokus semua orang yang ada dirumah ini.

Aku menoleh, mendapati Abvale, priaku berdiri tegap dengan pakaian yang kotor dan darah pada sekitar dahi dan kepala atasnya.

Tante Valencia berteriak senang. Dia dengan cepat berlari kearah Abvale. Menubruk tubuh anak pertamanya itu kuat, lalu memeluknya dengan sangat erat.

Aku menghela napas berat. Memejamkan mataku sebentar dan menjatuhkan tubuhku sedikit kasar keatas sofa yang ada dibelakangku.

Aku yakin Abvale tidak apa-apa karena dia masih bisa menyengir kecil pada keluarganya saat wajahnya sudah penuh dengan darah.

Beberapa orang mulai mengeluarkan suara. Tidak sesunyi tadi.

"Hei," panggil Abvale padaku yang setia menundukkan kepala.

"Nesha," panggilnya lagi karena aku belum kunjung mengadah.

"Aku tidak apa-apa," gumamnya pelan. Mengangkat daguku. Membuatku langsung menatap wajahnya yang tampan--yang masih ada darah didahi dan sekitaran kepala atasnya.

Abvale tersenyum kecil. Mengusap pipiku pelan. "Aku tidak apa-apa," ulangnya lagi.

Dan aku dengan secepat kilat berdiri. Memeluknya dan menangis.

"Aku benar-benar takut," kataku dengan suara yang bergetar hebat. Tanpa bisa kutahan tangis ketakutanku tadi keluar juga. Yang kini sudah berubah menjadi tangis lega.

Abvale balas memelukku. Dia mengecup puncak kepalaku dan membiarkan hembusan napasnya menerpa keningku.

"Jangan lakukan itu lagi," ujarku masih dengan suaraku yang bergetar.

Abvale mengangguk mengiyakan. "Tenang saja, aku tidak akan meninggalkanmu," katanya.

Aku menenggelamkan kepalaku pada dada bidangnya. Masih menangis, walau tidak sekeras dan sehebat tadi. Membiarkan jantungku perlahan memelan dan menjadi stabil seperti biasanya.

===>>><<<===

Rebecca lagi-lagi memintaku untuk menemuinya. Entah, untuk apalagi kali ini.

Aku sebenarnya tidak mau, tetapi ibu dari anak Abvale itu terus memaksaku. Menerorku dengan berbagai pesan singkat dan telpon.

Lagipula, aku akan tetap pada pendirianku. Apapun nanti yang Rebecca katakan, aku tidak akan peduli. Kali ini, aku akan egois.

Bukan hanya Rebecca yang butuh Abvale. Bukan hanya anak mereka yang butuh Abvale. Aku, Nesha, tunangan Abvale juga membutuhkan pria itu.

Tidak peduli sejahat apa aku, intinya aku tidak mau melepas Abvale. Aku tidak mau membiarkan Abvale mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap Rebecca.

Cinta itu buta. Dan cinta itu tidak memandang siapa yang terluka. Disini, aku hanya sedang mempertahankan hakku. Milikku. Dan masa depanku yang sudah kurancang dan idam-idamkan sejak dulu.

Salah siapa? Anak mereka sudah berumur 6 tahun dan Rebecca baru meminta pertanggung jawaban sekarang. Lantas selama 6 tahun lalu kenapa dia diam saja?

Aku menghembuskan napasku gusar. Aku tahu tindakan ku ini kejam.

Rebecca datang dari kejauhan. Dia berjalan anggun masih dengan seragam gurunya yang berwarna putih. Rambut kuningnya berterbangan terkena angin. Dan banyak pasang mata menatap kearahnya. Mungkin karena terkesan, atau menginginkannya diatas tempat tidur mereka? Entahlah.

Rebecca duduk dibangku yang ada dihadapanku. Tangannya menyisir rambut kuning panjangnya kebelakang. Lalu, meletakkan asal tas merahnya diatas meja. Dia menatapku dengan dua mata biru langitnya. Aku bisa mendapati siratan permusuhan didalam sana.

"Tinggalkan Abvale."

Aku mengangkat kedua alisku, lumayan terkejut dengan kalimat pertamanya untukku.

Seorang pelayan datang kemeja kami. Dia menyerahkan buku menu pada Rebecca.

"Jus apel," kata Rebecca singkat. Menyerahkan buku menu itu tanpa menoleh pada sipelayan. Perlakuan yang sangat tidak menyenangkan.

Pelayan itu, yang kutafsir masih anak kuliahan, dilihat dari postur tubuhnya dan wajahnya, meninggalkan kami dengan anggukan sopan.

Aku tersenyum padanya sebelum dia berbalik. Dan mengucapkan terima kasih. Pertama, karena aku sudah biasa melakukannya, aku bukan dari keluarga kaya raya yang bisa merendahkan orang-orang seperti mereka. Dan yang kedua, karena aku mau menunjukkan pada wanita cantik dihadapanku ini bagaimana cara bersikap baik pada orang lain.

Rebecca tersenyum miring. Tampak tak peduli pada apa yang baru saja kuperlihatkan padanya tadi.

"Kau..." Rebecca menggantung ucapannya. Dia menarik kedua sudut bibirnya keatas, membentuk sebuah senyum lebar yang menawan.

"Jangan merasa menang," lanjutnya.

Aku menggeleng. Aku sama sekali tidak merasa menang. Bahkan aku tidak mengerti apa maksud menang dari perkataannya.

Aku tidak menyangka, kami yang dulu pernah lumayan dekat karena mengajar disekolah yang sama. Kini, kembali bertemu untuk memperebutkan satu orang.

Kadang semuanya memang berubah terlalu cepat. Tanpa kita sadar keadaan sudah berbeda. Dan kita hanya bisa menerima itu semua. Tidak bisa menolak, apalagi menggembalikan suasana yang dulu.

Pelayan itu kembali datang kemeja kami dengan segelas jus apel ditangannya. Dia meletakkan gelas itu pada meja.

"Terima kasih," kataku. Pelayan itu tentu saja seperti tadi. Dia mengangguk sopan dan berlalu.

"Aku tidak akan meninggalkan Abvale," kataku saat mataku sudah kembali menatap wanita dihadapanku.

Rebecca terkekeh pelan. "Kau tidak bisa. Abvale itu ayah dari anakku," sahutnya dengan percaya diri.

Aku mengedik bahuku. Mencoba terlihat mengabaikan kata-katanya itu, walaupun sebenarnya aku cukup sadar diri akan kebenaran itu.

Saat ini, aku harus tegas. Aku tahu bahwa aku salah. Aku membuat Abvale tidak mempertanggung jawabkan kesalahannya dimasa lalu. Aku membuat Rebecca menjadi single parent. Aku membuat anak mereka tanpa ayah.

Tetapi, ini juga untukku. Aku tidak bisa hidup tanpa Abvale. Dan Abvale juga mengakui bahwa dia tidak bisa hidup tanpaku. Dia mencintaiku. Dia mau aku berada disisinya. Dia pernah berkata kalau dia tidak akan meninggalkanku. Dan begitu juga denganku. Aku tidak akan meninggalkannya. Melepaskannya. Kecuali dia yang lebih dulu berlalu dan pergi dariku.

"Ku peringatkan padamu. Lebih baik kau cepat-cepat menjauh dan membiarkan Abvale untukku beserta anak kami. Atau aku yang akan memaksanya untuk kembali kepada kami tepat didepan matamu," tandas Rebecca.

Ada keyakinan yang begitu besar dari nada bicaranya dan kilatan matanya. Sedikit membuatku gentar. Tetapi aku tahu, Abvale tidak akan meninggalkanku.

Aku mengangguk. "Tunjukkan saja padaku," sahutku menantangnya.

===>>><<<===

Yey cepet update.

Jan lupa meninggalkan jejak yah kawan-kawan.

Terima kasih masih mau mengikuti cerita ini sampai sejauh ini. Dan maafkan aku yang sering telat update juga hilang tiba-tiba.

Papai.

My Possessive FianceWhere stories live. Discover now