14. Percaya?

52.2K 3.7K 300
                                    

Aku menghembuskan napasku secara perlahan menahan semua rasa bahagia yang membuncah ruah dalam hatiku. Kata-kata Abvale barusan berhasil membuat detak jantungku bekerja lebih cepat dan kuat dibanding biasanya.

Tolong, kalaupun ini mimpi jangan bangunkan aku. Biarkan aku terjebak selamanya disini, ditempat dimana Abvale menyatakan cintanya padaku. Menyatakan satu kalimat yang sejak dulu kunantikan untuk dia ungkapkan. Yang sempat kukira hanya akan menjadi angan dan tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Namun, sedetik kemudian aku mulai sadar. Abvale yang ada dihadapanku sekarang adalah Abvale yang sama yang dengan bangga memberitahuku bahwa dia akan menikah sesegera mungkin dengan Rebecca.

"Kau berbohong." Mulutku terbuka dan melontarkan 2 patah kata itu begitu saja, tanpa aba-aba, tanpa kukomando sebelumnya.

Rasanya menyesakkan ketika semua potongan-potongan kejadian perlakuan dan hubungan Abvale-Rebecca melintas jelas dikepalaku. Aku ingin mengelak semua itu, tetapi apa yang bisa kulakukan? Menganggap semua itu hanya lelucon dan permainan Abvale semata?

"Jangan mengumbar omong kosongmu padaku, Abvale. Besok, aku tetap akan pergi," kataku.

Abvale memejamkan matanya sekilas, lalu memijit dahinya pelan dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Napasnya memberat.

"Jangan," gumamnya pelan. "Jangan pergi, aku sudah mengatakannya padamu," lanjutnya lagi. "Aku tidak akan bisa tanpamu," tandasnya.

Melihat mata hitam pekatnya yang memancarkan sebuah harapan membuatku tak tega. Kata-kata manisnya juga sudah berhasil kembali meluluh-lantakkan hatiku. Luka yang kemarin sempat tertoreh begitu besar dan dalam pada hatiku menghilang begitu saja.

Tetapi, tidak bisa. Aku tidak mau percaya begitu saja. Aku memang bodoh masih mau mencintai Abvale bahkan tetap disisinya setelah semua tingkah acuhnya dan ketidak peduliannya padaku. Tetapi, untuk urusan Rebecca aku sudah tidak bisa lagi menolerir dan membiarkan logikaku tak berjalan.

Hubungan Abvale dan Rebecca sudah terekspos begitu luas. Memang aku sudah beberapa kali bergandengan dengan Abvale diacara-acara resmi, tetapi disitu tidak ada orang yang benar-benar mengenaliku karena wajahku yang penuh dengan make up. Sedangkan Rebecca, kurasa hampir setiap hari dia bersama Abvale ditempat umum dan pasti yang dikenal orang-orang sebagai kekasih Abvale adalah Rebecca, bukan aku.

Aku menarik napasku dalam dan beranjak dari kursiku. Tanganku meraih piring serta gelas bekas Abvale. "Istirahatlah," ujarku padanya. "Kurasa kita tidak perlu membahas ini. Semua sudah berakhir," kataku lagi.

Berat. Sesungguhnya mengatakan kalimat terkhirku barusan sangatlah berat. Aku sebenarnya belum rela kami berakhir seperti ini. Hanya saja, keadaan yang sudah terjadi membuat mataku benar-benar terbuka lebar. Jalan terbaik untuk kami adalah berpisah.

"Aku minta maaf."

Gerakkanku terhenti. Maaf. Abvale meminta maaf?

Abvale menarik napasnya dalam, lalu menyenderkan punggungnya pada kepala kursi. Jemarinya yang ada diatas meja ia ketukkan asal mengisi kelenggangan diantara kami.

"Aku minta maaf atas semua perbuatanku selama ini kepadamu," ulangnya lagi. Mata hitam pekatnya tampak serius. Tidak ada rona bercanda yang tersirat dari ekspresi wajahnya yang mau tak mau membuat jantungku semakin berdetak keras didalam sana.

"Aku harap sekarang belum terlambat bagiku, maksudku aku dan kau, untuk memulai semuanya dari awal lagi," ujar Abvale.

Aku berdecak. Kata-kata omong kosong Abvale terdengar begitu nyata dan meyakinkan. Dan berhasil membuat pertahanan serta pendirianku untuk tidak jatuh padanya lagi kembali goyah. Tetapi tidak, tidak lagi, aku tidak sebodoh itu untuk langsung percaya kepadanya lagi.

"Jangan melambungkanku, Abvale," ujarku padanya. "Aku sudah sangat capek mendengar semua kelabilanmu ini," lanjutku. "Kemarin lusa kau berkata bahwa kau sangat senang dengan keputusanku untuk mengakhiri hubungan kita. Sedangkan Kemarin, kau menahanku pergi. Dan sekarang, kau memintaku untuk memulai semuanya dari awal lagi. Apa kau pikir segalanya sebercanda itu?"

Abvale diam. Dia tidak berkata apa-apa untuk menyahutiku. Lantas, aku terkekeh pelan. Merasa bodoh dengan apa yang kami lakukan sejak tadi. Berdebat untuk hal yang sebenarnya sudah kami akhiri.

"Hubungan kita sudah selesai semenjak kau menyatakan padaku,"Aku menelan salivaku susah payah. Rasanya ada sesuatu hal yang menghimpit dadaku membuatku kesusahan untuk berbicara. "kau akan menikah dengan Rebecca," sambungku.

Abvale menggeleng. Apalagi maksudnya kini? Dia ingin berkata padaku kalau selama ini semuanya hanya lelucon semata?

"Aku tahu soal Rebecca kau pasti sangat marah atas hal itu, tetapi kau tidak perlu memikirkannya. Kami hanya sebatas teman, tidak lebih, tidak juga kurang," ujar Abvale menyangkal.

Aku kembali mengeluarkan kekehanku. "Teman katamu? Kau bahkan tidak melawan saat dia mengatakan bahwa kalian akan menikah!" Hilang sudah, kesabaranku habis. Aku lelah menghadapi Abvale yang penuh dengan teka-teki.

Kenapa sekarang dia tiba-tiba berlagak mencintaiku? Mengumbar semua kata-kata manisnya padaku dan membuat perasaanku bercampur aduk. Aku sudah memilih untuk pegi darinya, tetapi kenapa dia malah bertingkah seperti ini dan kembali membuatku ragu?

Aku menarik napasku dalam berusaha kembali mengontrol emosiku yang tadi sempat membuncah. Dengan pelan aku menggelengkan kepalaku, berusaha membuat Abvale mengerti bahwa aku lelah dengan gerakan tubuhku.

"Besok aku akan tetap pergi," kataku lagi masih tetap dengan pendirian awalku. Aku tidak berani untuk kembali mengambil risiko untuk kesekian kalinya. Aku takut kalau-kalau perkataan Abvale dan pernyataan cintanya tadi hanya permainannya belaka dan besok ataupun lusa akan berubah kembali seperti sedia kala.

"Terserah apa katamu. Aku sudah tidak peduli," lanjutku dan berbalik memunggunginya. Aku segera melangkahkan kakiku menuju dapur untuk menaruh bekas piring serta gelas yang tadinya dipakai Abvale.

Aku terus mengabaikan hatiku yang  berteriak didalam sana memintaku untuk kembali pada Abvale dan mendengarkan semua perkataan pria itu. Lalu, memilih untuk bersamanya lagi dan menjadi wanita bodoh.

Aku tidak mau terjebak dalam lingkaran luka yang diciptakan Abvale untuk kesekian kalinya. Aku sudah terlalu lelah untuk menangis dan tersakiti akan hubungan kami.

"Baiklah, kau boleh tetap bertahan dengan segala pemikiranmu itu, tetapi satu, kau harus ingat bahwa orang tuamu sangat berharap dengan hubungan kita ini." Sayup suara Abvale terdengar dari ruang makan. Suara beratnya tenggelam dengan gemercik air yang jatuh dari kran.

Aku menelan salivaku berat. Perkataan Abvale benar, orang tua ku sangat berharap akan hubungan kami. Apa aku siap melihat kekecewaan diwajah mereka, jika tahu bahwa aku dan Abvale berakhir?

Mama sangat meninginkanku menikah dengan Abvale. Dia sangat menyukai Abvale karena parasnya yang tampan juga pekerjaannya yang mapan. Mama berpikir kalau aku bersama Abvale kehidupanku terjamin. Sedangkan papa, dia sama seperti mama, dia juga sangat antusias dengan hubunganku dan Abvale. Karena papa juga mengira jika aku menikah dengan Abvale maka kehidupanku akan bahagia.

Jadi sekarang, aku harus apa?

===>>><<<===

Makasih masih mau mengikuti cerita ini sampai disini. Jangan lupa tinggalkan vote, dan comment yah.

Papai.

My Possessive FianceUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum