23. Lamaran

39.4K 2.7K 69
                                    

"Kau..." Abvale menarik napasnya, menjeda kalimatnya. Dia terlihat tidak yakin dengan apa yang ingin dia katakan. Dan tampak gelisah untuk mengucapkannya. Memangnya apa?

Setelah semenit berlalu, Abvale juga masih belum melanjutkan kata-katanya tadi. Aku masih setia menunggu. Menatap mata hitam kelamnya sambil menaikkan alisku tinggi. Hingga...

"Apa kau mau menikah denganku?"

Aku tidak sedang bermimpi, kan?

Abvale terdiam lagi. Setelah melontarkan pertanyaannya yang membuat jantungku berdetak kencang di dalam sana dia kembali mengatup mulutnya rapat-rapat.

Aku dengan bodohnya malah membuka mulut lebar-lebar. Aku tahu aku pasti terlihat seperti orang idiot sekarang. Tetapi, aku sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Abvale akan bertanya pertanyaan seperti itu. Maksudku, membayangkannya saja aku tidak berani karena aku pikir itu hanya akan menjadi angan-anganku saja. Dan nyatanya, sekarang dia baru saja melakukannya.

"Permisi."

Bahkan seorang pelayan yang datang dan membawa pesanan kami berdua pun kuabaikan. Sampai orang itu pergi pun aku juga tidak peduli.

Lama-kelamaan kesunyian diantara kami membuat Abvale gerah juga. Dia mengerutkan keningnya, mungkin menungguku menjawab atau setidaknya memberi sedikit reaksi.

"Nesha..." panggilnya mulai tak sabar.

Aku malah menunduk. Sialan, apa yang kulakukan? Harusnya aku bisa dengan mudah mengatakan ya padanya. Tetapi, kenapa aku jadi sangat malu untuk bahkan sekedar mengangguk?

"Nes," lagi Abvale mencoba menegurku.

Aku berdehem. Memberanikan diri untuk menatap lurus kearah matanya. Mata hitam kelam yang selalu berhasil membuatku tenggelam kedalam pusaran mematikan.

"Aku..." Rasanya sulit. Sangat sulit. "Aku..." Ini susah sekali. "Aku tidak bisa."

Ya, aku tidak bisa.

Kerutan di kening Abvale semakin dalam. "Maksudmu?" tanyanya.

"Rebecca," tandasku.

Ya, aku memang tampak seperti wanita bajingan kemarin dengan begitu egoisnya tidak peduli pada mereka. Sekarang, sekarang aku mulai sedikit goyah. Aku memang masih tidak peduli dengan Rebecca, persetan dengan wanita itu, tetapi anaknya. Anak mereka.

Abvale terkekeh pelan. Senyumnya mengembang membuatku merasa aneh dengan reaksinya yang diluar perkiraan.

"Ada apa dengan wanita itu?" tanyanya.

"Bukan dengannya. Anakmu."

Abvale menghela napasnya perlahan. Senyum yang tadi sempat mengembang luntur sudah tergantikan wajah lelahnya.

"Kau tidak perlu memikirkan tentang itu, Nes. Aku yang akan mengurusnya."

Aku tersenyum kecil. "Apa tidak bisa kita saja yang merawat anak itu? Biar bagaimanapun dia anakmu," sahutku.

Abvale menggeleng. "Kau pikir mudah? Mungkin mengatakannya tidak sulit. Nanti, setelah kita mengurus anak itu, kau pasti akan merasa sakit hati. Karena setiap kali kau melihatnya yang ada diotakmu adalah aku yang pernah berhubungan seks dengan Rebecca."

Terlalu jujur, Abvale. Aku meringis menyadari kebenaran dari perkataannya. Tetapi, sudahlah, semua sudah terjadi, kan?

"Aku tidak mau kau tidak bertanggung jawab atas apa yang kau lakukan dulu," kataku.

Abvale lagi-lagi menggeleng. "Kau tidak perlu memikirkannya, Nes. Aku sudah bilang dari tadi. Aku yang akan mengurusnya," tandasnya.

"Sekarang, kau tinggal mengiyakan pertanyaanku diawal bahwa kau mau menikah denganku. Kita sudah setahun menjalankan pertunangan ini. Sudah cukup bagi kita untuk memasuki jenjang yang lebih lanjut," ujar Abvale sedikit memaksaku untuk cepat mengambil keputusan.

Saat aku tak kunjung menjawabnya Abvale meraih tanganku. Kedua tanganku. Menggenggamnya diatas meja. Menatap mataku dalam dan menunjukkan keseriusannya dari wajahnya yang tegang.

"Aku mencintaimu. Aku tidak mau membuatmu terkurung lebih lama lagi dalam ketidak pastian ini. Walau... walau aku tahu aku sendiri tidak bisa menjamin kedepannya kita seperti apa, tetapi setidaknya aku sudah mengikatmu dalam sebuah kata pernikahan. Apapun yang terjadi didepan kau akan sulit meninggalkanku dan aku juga tidak akan mudah untuk melepaskanmu lagi."

Abvale meraih sebuah kotak dari kantung dalam jasnya. Kotak kecil berwarna merah. Dan saat dia membukanya, didalam situ berisi cincin perak cantik dengan berlian diatasnya.

"Kau mau, kan, menikah denganku?" Lagi Abvale bertanya.

Aku menelan salivaku susah payah. Dan akhirnya mengangguk.

Maaf anak Rebecca aku tidak bisa menolak permintaan ayahmu ini. Aku sangat mencintai ayahmu. Dan kurasa kau harus bisa melepasnya untuk menjadi milikku.

Nanti, kalau kami sudah menikah aku janji aku tidak akan membiarkan ayahmu menelantarkanmu.

Aku tahu ibumu itu pasti tak pernah benar-benar mengurusmu. Dari tingkahnya saja aku sadar bahwa dia bukan orang baik. Aku takut kalau ternyata selama ini hidupmu malah seperti neraka bersamanya.

Aku tahu seorang ibu tidak mungkin mengabaikan anaknya. Tetapi, kalau kasus ibumu, aku tidak bisa yakin. Dan astaga aku benar-benar sudah menghakimi Rebecca sedemikian rupa.

Abvale tersenyum tipis. Dia kembali meraih tangan kananku. Menyematkan cincin rupawan itu pada jari manisku. Lalu, menciumnya pelan membuatku semakin kehabisan napas.

"Aku takut aku kembali bertingkah bodoh dan melepaskanmu," katanya.

Aku sebenarnya tidak terlalu mengerti. Dia takut bertingkah bodoh lagi? Maksudnya dia mungkin saja bisa meninggalkanku lagi?

Lupakan. Aku tidak ingin berpikir macam-macam. Tepat hari ini, dimalam sabtu, seorang Abvale melamarku. Berkata bahwa dia ingin menikahiku. Memberiku cincin yang kutahu harganya tak setara dengan gajiku walau lima tahun sekalipun. Dan kini aku menerimanya.

Kami tidak lagi sekedar berjalan ditempat. Berjalan disatu titik gelap yang depannya buram. Sekarang, kami sudah melangkah kedepan. Kami akan menikah.

Astaga memikirkan aku dan Abvale akan berada pada pelaminan membuatku tak sadar tersenyum terlalu lebar. Aku yakin wajahku semerah tomat sekarang.

"Terima kasih," ucap Abvale.

Aku menautkan alisku. Terima kasih untuk?

"Terima kasih sudah menerimaku," lanjutnya.

Aku mengangguk. Wajahku masih setia sumringah didepan matanya. Aku takut Abvale merasa jijik dengan tingkahku ini. Rasanya seperti remaja cewek yang baru saja ditembak pujaannya.

Abvale terkekeh.

"Kau tidak memakan makananmu, Nyonya Revano?"

Katakan saja aku berlebihan. Saat mendengar Abvale memanggilku dengan sebutan nyonya Revano membuatku merasa melambung tinggi diawan.

Siapapun wanita dimuka bumi ini pasti juga ingin berada diposisiku. Mendapat gelar nyonya Revano pada dirinya. Dan aku si wanita biasa saja sudah mendapat predikat itu.

Benar-benar menakjubkan.

Kuharap ini bukan hanya sekedar mimpi atau omong kosong diantara kami. Kuharap sebuah pernikahan akan benar-benar terjadi untuk kami. Yah... kuharap.

===>>><<<===

Maaf untuk keterlambatan updatenya. Jan lupa vote, comment yah...

Papai.

My Possessive FianceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang