11. Jangan

53.1K 4.2K 207
                                    

"A... a... apa?" tanyaku terbata. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang. Perasaanku bercampur aduk setelah mendengar apa yang baru saja Abvale ucapkan.

"Jangan pergi," ulangnya lagi dengan nada yang lebih lirih dari sebelumnya.

Aku terdiam. Dia juga diam. Kami diam. Terkurung dalam kesunyian.

Tubuhku limbung. Rasanya seperti ada satu bogem mentah yang menghantam kepalaku keras. Hanya dengan dua patah kata itu, Abvale berhasil menggoyahkan keputusanku. Hanya dengan dua patah kata itu, Abvale berhasil kembali menggetarkan hatiku.

Apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya? Kenapa dia sangat senang mempermainkanku? Apa dia ingin aku kembali lagi bersamanya? Apa dia ingin aku kembali bergantung padanya? Ataukah dia hanya belum puas memainkanku, jadi dia pikir tidak ada ruginya bila masih mau menjadikanku bonekanya?

Entahlah, aku tidak tahu dan aku tidak ingin tahu.

Dengan perlahan, aku memundurkan langkahku menjauhinya. Aku tidak ingin lagi mendengar semua perkataanya. Benar, aku memang mecintainya.

Hanya satu hal, boleh cinta, tapi jangan bodoh.

Setelah seminggu yang lalu dia memperkenalkan Rebecca sebagai calon istrinya, sekarang dia menyuruhku tetap tinggal. Maksudnya dia ingin memiliki dua mainan? Begitu? Dia pikir aku mau?

"Kau memiliki Rebecca, Abvale," ujarku mengingatkannya.

Abvale menggeleng pelan. Dia terpaku ditempatnya dengan mata sendunya. Dan aku tidak peduli atas hal itu.

Kata-kata yang telah diucapkan Aldo dan Rian menggema dalam kepalaku. Mereka benar dan aku tidak mau kembali masuk kejurang Abvale. Aku tidak mau menjadi mainannya lagi. Yang mungkin besok atau lusa sudah kembali dicampakannya lagi.

"Jangan pergi," ulang Abvale untuk ketiga kalinya yang semakin membuat kakiku lemas.

Aku menggeleng. Tadi siang saja saat kami bertemu, dia malah membuang wajahnya padaku. Dia malah bermesraan dengan Rebecca didepanku. Lalu, apa yang kuharapkan sekarang? Dia mengatakan bahwa dia mencintaiku? Lalu, membiarkan hatiku kembali jatuh. Jatuh. Jatuh. Dan akhirnya nanti menabrak tanah bebatuan yang sekeras baja? Tidak.

Aku menghembuskan napasku berusaha menenangkan getaran dalam dadaku. "Kau dan Rebecca akan menikah. Jadi, tolong jangan menahanku pergi. Aku tidak mau menjadi pengganggu hubungan kalian dan aku juga tidak mau berharap lebih dari apa yang selama ini kulakukan," tandasku padanya.

Abvale tersenyum tipis. Senyum yang selama ini tidak pernah terlintas dibenakku bahwa dia akan menunjukkannya padaku. Senyum tipis hambar yang membuat dadaku semakin sesak didalam sana.

"Aku hanya memintamu untuk tinggal disisiku. Aku tidak akan memaksakan kehendakku lagi padamu. Aku hanya butuh kehadiranmu."

Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Kata-kata Abvale begitu manis. Andai saja kepercayaanku masih sekuat batu karang. Sayangnya, sekarang bahkan hanya ketakutan dikhianati untuk kesekian kalinya yang menyelimuti hatiku.

Aku tidak bisa semudah itu mencerna semua ucapannya. Setelah apa yang terjadi diantara kami. Setelah semua hal yang menerpa hubungan kami selama setahun ini.

"Kau tahu kita sudah berjalan sejauh ini. Terlalu bodoh kalau kita akhiri sekarang," ujarnya dengan suara pelan.

Aku menggeram marah. Semudah itu mulutnya mengucapkan kata bodoh. Apa dia tidak tahu selama ini akulah yang berjuang dalam hubungan ini?

"Lalu maksudmu kapan? Kapan kita akan akhiri hubungan sialan ini? Apa setelah aku sudah benar-benar tidak bisa lepas lagi darimu? Apa setelah kau akan benar-benar melangsungkan pernikahanmu dengan Rebbeca?" Aku tidak bisa menahan amarah yang mulai membakar diriku.

Suaraku meninggi beberapa oktaf dari sebelumnya. Aku tidak peduli bila tetangga apartemen yang lain mendengar. Biar saja mereka tahu. Biar saja mereka tahu bahwa ada seorang wanita yang sudah sangat lelah dengan kisahnya tengah tertekan.

Abvale menggelengkan kepalanya. Tanda bahwa dia tidak setuju dan tidak mengiyakan perkataanku barusan. Dimananya yang salah? Bukankah itu semua benar?

Aku kembali menarik napasku dalam-dalam. Memang selalu beginilah kami. Abvale dengan segala kekeras kepalaanya dan aku dengan bodohnya selalu menyerah padanya. Tapi untuk saat ini sepertinya tidak lagi. Aku terlalu muak. Aku terlalu penat dengan semua yang terjadi diantara kami. Dan aku juga ingin menyudahi semua rasa sakitku ini.

"Sudahlah Abvale. Kita akhiri saja semua ini. Biarkan aku mengemas barang-barangku dan pergi besok," ujarku pelan mencoba menghentikan perdebatan tidak berguna yang kami lakukan sejak tadi.

Rahang Abvale mengeras. Dia tampak marah dengan perkataanku barusan. Apalagi yang memancing amarahnya? Kenapa dia begitu egois padaku?

"Sekali lagi kukatakan. Jangan pergi."

Aku berdecak kesal. Hembusan napas lelah keluar dari mulutku. Berhubungan dengan Abvale hanya akan membebaniku setiap detiknya, sekalipun hatiku untuknya.

"Aku tidak mengerti maksudmu apa. Keinginanmu apa. Dan aku juga tidak peduli. Jadi, lupakan saja semua ini. Aku capek berurusan denganmu," kataku.

Aku melangkahkan kakiku maju berniat untuk melewatinya dan segera masuk kedalam kamarku. Aku ingin mengurung diriku dikamar yang lumayan luas itu. Menangis disana untuk yang terakhir kalinya.

Namun Abvale menahanku. Dia merengsek cepat kehadapanku. Menghalangiku dengan tubuh tinggi menjulangnya. Dan menatapku dengan mata hitam pekatnya. Disana ada amarah yang tersimpan. Disana ada rasa takut yang mendominan.

"Apalagi Abvale?" tanyaku. Suaraku tercekat ditenggorokanku. Aku merasa tidak ada lagi tenaga untuk melawannya. Berada didekatnya seperti ini selalu saja membuatku mati kutu.

Abvale diam. Tatapan tajamnya membuat pacuan jantungku semakin cepat.

"Kau takkan bisa meninggalkanku karena kau terlalu mencintaiku, Nesha," ucapnya pelan dan dalam.

Aku terkekeh mendengar penuturannya barusan. Percaya diri sekali dia. Walau memang apa yang dia katakan itu benar, tapi bukan berarti aku tidak akan bisa meninggalkannya. Perlu diketahui bahwa aku hanyalah manusia biasa. Aku punya batas kesabaran dan juga perasaan. Aku tidak sebodoh itu dengan mau-maunya tetap bertahan dengannya dan dilukai sesukanya.

Aku menarik napasku dalam-dalam lagi, entah untuk keberapa kalinya dan mengadah. Dengan beraninya mataku menatap tajam pada iris hitamnya. "Aku akan berhenti mencintaimu," ujarku cepat.

Aku tidak yakin akan apa yang kuucapkan barusan. Aku malah berpikir bahwa mulutku baru saja mengeluarkan sebuah omong kosong. Sebuah kalimat yang tidak akan pernah bisa kuwujudkan. Karena sampai saat ini pun aku masih sadar bahwa aku masih sangat mencintainya.

Abvale menggeram marah. Dia memajukan langkahnya dan menipiskan jarak diantara kami. Hembusan napas hangatnya menerpa dahiku pelan.

"Jangan," katanya.

"Jangan," ulangnya.

"Jangan," tandasnya.

Dan tanpa kuprediksi sama sekali, tiba-tiba saja Abvale menarikku dalam pelukannya. Lagi. Sekali lagi. Hatiku jatuh dalam kubangan cintanya.

===>>><<<===

2 minggu aku tidak update. Maapkan daku. Ini semua karena tugasku yang menumpuk, moodku yang hancur, dan rasa lelah yang mendominasi hari-hariku.

Makasih banyak buat kalian yang masih mau menunggu cerita ini.

Jika berkenan, kalian bisa tinggalkan jejak dengan mengklik bintang dan mengetik beberapa kata dikolom komentar.

Sampai jumpa ✈

My Possessive FianceWhere stories live. Discover now