29. Hanya Mainan

36.9K 2.9K 328
                                    

Malam ini bintang tidak banyak. Hanya beberapa disekitaran bulan, itupun tidak terlalu bercahaya.

Aku berada di balkon apartemen Aldo. Di New York aku tidak tahu harus tinggal dimana. Kalau mau menyewa apartemen atau rumah uangku tidak akan cukup. Aku juga tidak mau memberatkan ayahku.

"Apa aku lebih baik tinggal di Boston saja?"

Aldo tersenyum tipis. Tangannya menyodorkan padaku segelas susu putih yang baru saja ia bikinkan tadi.

"Memangnya kau tidak terikat kontrak mengajar dengan sekolahmu yang sekarang?"

Aku menggeleng. "Tidak," jawabku.

Aldo mengangguk. "Tapi kurasa kau lebih baik menetap disini," ujarnya.

Aku menoleh. Memandang pada wajahnya yang tampan. Sebuah decakan keluar dari mulutku. "Kenapa kau tidak mencoba untuk menyukai wanita?"

Aldo terkekeh. Kepalanya mengadah keatas. Menatap lurus kearah langit New York malam ini. Gelap, sepi, sunyi. Bulan tampak menyendiri disana. Tidak ada awan. Beberapa bintang memang ada menemani, tetapi terlalu buram, cahayanya terlalu kecil, membuat bulan tampak sendirian.

Aku tidak menyalahkan Aldo. Luka masa lalu memang membawa trauma. Aldo tidak salah sama sekali disini. Dia korban dan dia ketakutan.

Aku memang tidak pernah merasakan apa yang Aldo rasakan. Maksudku, disiksa oleh ayahku sendiri diwaktu kecil, bahkan sampai dilecehkan. Membayangkannya saja membuatku ngeri. Tapi, kalau dipikir secara logika apa yang terjadi pada Aldo sekarang adalah hal wajar. Dia seperti ini karena ibunya. Dia rusak karena masa kelam yang dulu pernah terjadi dalam hidupnya.

"Aku juga tidak mau seperti ini. Aku juga merasa tertuduh. Aku. Aku. Aku tidak mau menjadi seperti ini, Nes. Tapi, apa yang bisa kubuat? Setiap kali melihat wanita yang ada dalam bayanganku hanyalah ibuku dan segala kekejaman yang dulu pernah dia lakukan padaku," sahut Aldo.

Aku menghela napas. Mengangkat tanganku. Menggenggam lengannya. Mengelusnya pelan. Menjadi Aldo pasti sangat menyakitkan.

"Tidak semua wanita sama seperti ibumu," ujarku.

"Mereka semua sama," sahut Aldo cepat. "kecuali kau," lanjutnya lagi.

Aku tersenyum tipis.

"Jangan melihat dari satu sudut pandang saja, Aldo. Disekitarmu aku yakin banyak gadis-gadis baik yang sangat mengharapkan bisa bersanding denganmu."

Aldo menghembus napasnya perlahan. Ia mengalihkan pandangannya dari langit kewajahku.

"Aku tidak tahu. Aku belum bisa."

Aku kembali mengatup mulutku. Angin malam menerpa wajahku. Rasanya dingin.

"Aku lupa sesuatu," ujar Aldo. Dia masuk kedalam apartemennya. Dan aku ditinggal sendirian bersama segelas dusu putih ditanganku.

Sudah dua hari aku di New York. Aku kembali bekerja di sekolahku. Belum mulai ajaran baru. Hanya mengimput sisa-sisa nilai dan tinggal dilaporkan ke bagian staff.

Sempat terlintas, aku akan pindah kembali ke Boston. Mencari pekerjaan disana. Aku tahu Boston juga termasuk kota maju dan padat di Amerika. Disana mencari pekerjaan tidak akan mudah. Hanya saja, kalau terus disini aku kesulitan dalam tempat tinggal. Walaupun, Aldo sama sekali tidak keberatan dengan kehadiranku diapartemennya tetap saja aku merasa tidak enak.

Belum lagi biaya di New York. Dari makanku, transportasi, ditambah lagi kebutuhan sandang.

Dan terlebih, dikota ini semua kenangan, semua hal yang pernah terjadi denganku dan Abvale terlihat amat jelas.

My Possessive FianceWhere stories live. Discover now