18. Anak Abvale?

46.5K 3.5K 198
                                    

Setelah sampai kembali ke New York, Abvale langsung menuju rumahnya. Dia sempat berterima kasih padaku karena pada malam itu aku juga membantunya untuk meyakinkan kedua orang tua kami kalau kami belum siap untuk menikah.

Sebuah senyum tipis kecil terbentuk diwajahku. Aku menatap pantulan diriku yang ada dicermin. Cukup cantik, maksudku rapi. Aku memakai dress biru polos selutut. Juga jam tangan perak yang diberikan tante Valencia waktu di Boston beberapa hari yang lalu.

Kali ini, aku sudah siap untuk bertemu dengan Abvale. Ya, kami akan makan malam bersama. Entahlah, kenapa dia tiba-tiba saja menghubungiku dan mengajakku jalan. Tetapi, bagiku ini adalah hal yang baik mengingat aku sudah tidak punya keberanian lagi untuk memutuskan tali diantara aku dan Abvale.

Aku mulai kembali membangun puing-puing hatiku. Dan mempercayainya. Lagipula, apalagi yang harus kuperhitungkan? Abvale sudah berubah. Dia baik. Dia juga tidak mengekangku. Tak marah padaku. Selalu berbicara dengan nada lembut.

Dan soal Rebbecca... aku tidak tahu. Dia mengatakan bahwa Rebecca adalah temannya. Ya, walaupun memang aneh dia bisa berucap begitu.

Bagaimana mungkin dia bilang Rebecca hanya sebatas temannya, sedangkan Rebecca terang-terangan mengatakan padaku waktu itu jika dia akan menikah dengan Abvale dan adalah kekasih Abvale.

Waktu itu juga, Abvale diam. Dia sama sekali tidak menentang perkataan Rebecca.

Aku menggeleng. Sudahlah, kalau kupikirkan kepalaku akan pecah. Aku dengan segera keluar dari apartemenku. Dan turun kelantai bawah. Aku melihat kearah ruang tunggu, tetapi tidak ada Abvale disana.

Getaran ponsel didalam tasku mengalihkan pandanganku. Aku dengan capet meraih benda pipih itu. Menggeser tombol hijau yang ada disana dan menempelkannya pada telinga kiriku.

"Halo," sapaku.

"Maaf, aku tidak bisa menjemputmu. Langsung ke cafe Meranha saja. Nanti aku akan menyusul," ujar suara berat dari ujung sana.

Aku menghela napas. Lalu, mengangguk. "Ya," jawabku dan sambungan telepon terputus.

Aku melangkahkan kakiku keluar pintu. Mencari taksi yang lewat didepanku. Setelah, sekitar 10 menit berlalu, barulah aku menemukan taksi yang bisa mengantarku.

===>>><<<====

Taksi yang kugunakan mogok. Ya, rusak. Ya, tidak bisa jalan. Dan ya, aku sekarang terdampar dipinggir jalan bersama sopir taksi yang tadi kutumpangi.

"Nona, bisa cari taksi lain saja," ujar sopir itu ketika menyadari bahwa aku sudah beberapa kali menghela napas berat.

Aku tersenyum tipis padanya. Kalau saja ada taksi yang lewat sudah dari tadi aku pergi.

Aku meraih ponselku. Bersiap untuk menelpon Abvale. Aku ingin memintanya menjemputku. Karena kurasa jika menunggu taksi datang, mungkin akan memakan waktu lebih lama lagi. Dan juga, aku sudah sangat lelah berdiri sedari tadi dengan high heels pink sebagai alas kakiku.

Namun, belum sempat aku mengetik huruf A, sebuah mobil silver berhenti tepat didepanku. Aku mengadah memerhatikan kaca hitam mobil tersebut, yang perlahan turun dan menampakkan penggunanya.

Rebecca. Wanita itu menatapku sebentar, lalu setelahnya terkekeh pelan. Aku tidak tahu apa maksud kekehannya.

"Naiklah, aku ingin berbicara denganmu," ujarnya padaku.

Aku mengerutkan keningku. Berbicara padaku? Untuk apa? Soal apa? Abvale? Hubungan mereka? Baiklah, aku penasaran.

Aku menghampiri supir yang tadi mengantarku. Lalu, memberikan beberapa lembar uang padanya. Walaupun, tidak sampai pada tujuan, tetap saja dia sudah membawaku.

My Possessive FianceWhere stories live. Discover now