13. Berbeda

51K 3.9K 249
                                    

Rian tersenyum setelah mengucapkannya. Dia tampak sedikit risih ketika aku hanya diam menatapnya.

Aku sama sekali tidak menyangka bahwa dua patah kata itu akan keluar dari mulut Rian. Alhasil, aku jadi bingung harus meresponnya apa.

Rian berdehem pelan saat sudah kurang lebih 5 menit kami terjebak dalam situasi canggung dan sunyi.

"Kau tidak perlu menjawab atau mengatakan apapun. Aku hanya memberi tahumu saja," ujarnya, mungkin untuk mengakhiri kediaman kami. Rian memasukkan kedua tangannya ke kantung celananya dan menggenggak salivanya sulit, entah karena gugup atau salah tingkah atau mungkin hal lainnya.

Aku mengangguk demi menghentikan kegelisahan yang terpampang jelas dimatanya dan dia langsung menyahutku dengan pamitannya, katanya "Kalau begitu, aku permisi dulu." Dan langsung pergi dari hadapanku.

Aku mengerjap mataku beberapa kali. Apa yang barusan aku dengar? Rian mengatakan bahwa dia menyukaiku? Benarkah? Gila. Ini pasti hanya imajinasiku saja. Dengan bodohnya aku mengangkat tanganku, mencubit pipiku keras-keras dan jadilah lorong apartemen dipenuhi dengan suara ringisanku yang kesakitan.

Nyata. Jadi tadi, Rian, benar-benar mengungkapkan perasaannya padaku. Kami kan baru kenal, apa tidak salah bila dia bisa secepat itu menyukaiku? Kurasa sangat tidak masuk diakal jika dia sudah memiliki perasaan lebih padaku.

Aku hanya seorang guru biasa. Tubuhku tak seperti model-model yang ada di televisi-televisi atau pun sosial media. Apalagi soal wajah, aku sangat jarang menggunakan make up, paling-paling hanya sedikit memoles lipstik pink kebibirku agat tidak kering dan bedak tipis.

Lalu kenapa dia bisa semudah itu menyukaiku? Entahlah, aku tidak mau memusingkan hal itu. mungkin saja Rian tadi hanya bercanda atau latihan untuk mengatakan hal yang sama pada wanita yang benar-benar dicintainya.

Aku mengangkat bahuku ringan dan berbalik masuk keapartemen untuk mengecek kondisi Abvale.

===>>><<<===

Beberapa jam yang lalu, "Panas tubuhmu sudah menurun," kataku pada Abvale yang masih terbaring lemah diranjangnya. Dia hanya diam, terlihat tidak tertarik untuk meresponi perkataanku barusan.

"Kau mau makan bubur atau sop saja?" tanyaku padanya. Tanganku masih sibuk merapikan kamarnya yang cukup bisa dikatakan mirip seperti kapal pecah. Apalagi, pakaian-pakaiannya yang berserakan dilantai. Padahal, Abvale sangat jarang menginap di apartemen tempatku tinggal, biasanya dia langsung pulang kerumahnya. Lalu sekarang, kenapa kamarnya bisa seberantakan ini?

"Terserah, asal kau yang memasaknya," sahutnya atas pertanyaanku. Aku berkacak pinggang. "Baiklah," sahutku sambil menatapnya malas.

Dan sekarang disinilah kami, duduk berhadapan dimeja makan. Abvale dengan tampang tak berseleranya yang menatap bubur encer yang kumasakkan baginya. Dan aku dengan wajah bersalahku yang takut Abvale akan marah karena masakanku yang malah membuatnya enek.

Aku mengetuk-ketukkan jariku asal, menunggu Abvale mengatakan apapun padaku agar kami tidak saling diam seperti ini. Namun, Abvale hanya menghela napasnya dan malah menyendokkan bubur yang kurasa tak enak itu kedalam mulutnya.

Aku tanpa sadar menahan napas sambil menggigit bibir bawahku pelan.

"Enak," gumam Abvale membuatku langsung menghembus napas lega. Ketakutanku ternyata hanya hal semu. Kupikir Abvale tidak akan menyukai masakanku, tetapi nyatanya dia mau memakannya. Secara tidak langsung, dia mau menerima pemberianku.

"Yang memindahkanku kekamar siapa?" tanya Abvale tanpa menatapku. Pandangannya terpaku pada bubur, tetapi aku tahu bahwa dia sangat menunggu jawabanku. Bisa dilihat dari gerak-gerikanya yang menggerakkan asal sendoknya.

Aku berdehem sebelum menjawab. "Dokter dan ... Rian," akuku agak sedikit memelankan suara saat menyebut nama Rian. Aku tidak mau berbohong, apartemen ini memiliki cctv bukan hal yang sulit bila Abvale mau langsung mengeceknya sendiri.

Abvale mengangguk-anggukkan kepalanya dan kembali menyendokkan sesuap bubur kedam mulutnya. Tidak ada kemarahan yang tampak diwajahnya, padahal tadi aku kira dia akan mengamuk setelah mengetahui hal ini.

Dia tidak merespon apa-apa. Yang artinya, dia tidak mau ambil pusing tentang hal ini. Tentang dengan pria lain yang sekarang dekat denganku.

Abvale mengadah kepalanya, mendapatiku yang terpaku menatapnya. "Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanyanya dan aku langsung menggelengkan kepalaku. "Tidak apa-apa," sahutku gelagapan.

Abvale tersenyum tipis. "Aku tidak marah," ujarnya dan kembali sibuk dengan acara makannya, sedangkan aku kembali tenggelam dalam alam pikiranku sendiri.

Abvale tidak marah? Apa itu berarti dia sudah tidak peduli lagi denganku yang dekat dengan pria lain? Itu tandanya dia sudah biasa saja terhadapku, bukan? Dan tanpa bisa kutahan sebuah perasaan kecewa mulai timbul dan memenuhi relung hatiku.

Aku memang tidak suka dengan sikap ke-possesive-annya, tapi setidaknya aku bisa sadar bahwa dia masih menganggapku 'ada' dan sedikit 'penting' dengan tingkah berlebihannya itu. Namun sekarang, saat Abvale tampak biasa saja, hal itu malah menyesakkan bagiku.

Bukan, bukan maksudnya apa, aku hanya, hanya masih berharap, padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk berhenti bermimpi terlalu tinggi tentang kami. Lagipula, aku sudah memutuskan untuk mengakhiri semua ini, kan?

Ya, walaupun tadi Abvale sempat mengucapkan sebuah kalimat yang membuat hatiku berdesir. Namun, itu saat dia sedang sakit dan antara sadar dan tidak sadar, jadi bisa saja itu cuma igauannya saja.

Aku merasa miris. Hatiku selalu seperti ini, sudah tahu disakiti masih saja mencintai. Kira-kira apa yang bisa membuatku membenci Abvale? Tingkah Abvale yang kurasa kejam padaku selama ini saja, tidak mampu membuat hatiku membencinya, atau sekedar kehilangan rasapun, tidak. Menyedihkan.

"Jangan berpikir macam-macam," ujar Abvale lagi saat melihatku hanya melamun semenjak tadi. Piringnya sudah kosong dan tanganya sibuk melap mulutnya yang sedikit kotor dengan tisu. "Aku tidak marah bukan karena aku sudah tidak lagi peduli pada hubungan kita,"lanjutnya.

Aku mengerjap mataku. Ma... ma... maksudnya apa? Itu artinya dia masih peduli, bukan? Benarkah? Seorang Abvale peduli pada hubungan kami yang rasanya hanya berjalan ditempat ini?

"Ya, justru karena aku peduli, maka aku tidak mau mempermasalahkan hal ini." Abvale mengedikkan bahunya santai. "Aku tidak akan lagi mengekangmu, menahanmu, memarahimu, mencampuri urusanmu, dan apapun itu. Aku hanya ingin membuatmu nyaman dalam hubungan ini karena kurasa selama setahun ini, aku sudah sangat buruk dalam memperlakukanmu," lanjutnya.

Aku menautkan alisku antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dan demi menuntaskan rasa kebingunganku aku bertanya padanya, "Apa alasanmu mengatakan itu?"

Abvale kembali tersenyum, kali ini lebih lebar dari sebelumnya. "Karena aku, mungkin, sudah mencintaimu," sahutnya.

===>>><<<===

Hai, makasih udah baca. Maap, lagi-lagi aku cuma bisa bilang bahwa aku minta maap sebesar-besarnya karena teramat sangat lama update. Alasan pertama, tugas. Alasan kedua, tugas. Alasan ketiga, tugas. Alasan keempat, tugas. Alasan kelima, galau.

Abaikan alasan kelima.

Jika kalian suka dengan cerita ini, kalian bisa meninggalkan jejak dengan vote dan comment.

papai.

My Possessive FianceWhere stories live. Discover now