15. Balik

51.4K 3.7K 413
                                    

Dan aku memilih untuk bertahan lagi dengan Abvale.

Selama ini, aku tidak pernah sekalipun melawan kemauan kedua orang tuaku. Aku selalu menuruti semua perkataan mereka. Aku dididik untuk menjadi anak baik yang selalu membuat mereka bangga.

Bukannya apa, tetapi kedua orang tuaku sudah melakukan banyak hal untukku. Mereka bekerja keras demi kebutuhanku, pendidikanku, dan segala hal yang aku gunakan untuk kepuasanku. Apa aku tega menghancurkan impian mereka semudah itu?

Tentu saja tidak. Aku tidak sejahat itu dengan membiarkan mereka harus menerima curhatanku mengenai aku dan Abvale. Untuk saat ini, biar saja mereka mengira bahwa hidup anak semata wayang mereka sangat bahagia. Aku tidak ingin membebani mereka.

"Dan?" Aldo menggantung ucapannya. Sudah dari setengah jam lalu kami duduk berdua di cafe langganan kami. Aku yang sibuk menceritakan segala hal yang terjadi padaku dan Aldo yang hanya diam mendengarkan hingga aku selesai berbicara.

"Dan?" sahutku bingung.

"Dan kau kembali pada Abvale lagi," lanjut Aldo dengan nada sewot.

Aku mengangguk mengiyakan. Mau bagaimana lagi? Kurasa, aku tidak punya pilihan lain. Tidak masalah bagiku, untuk tetap berada disekitaran Abvale dan menghadapi berbagai sikapnya yang membingungkan, dibanding harus menerima segala rasa kecewa kedua orang tuaku.

Untuk kali ini, biarkan aku sekali lagi bertingkah bodoh.

Aldo menggelengkan kepalanya tampak sangat frustasi dengan kelakuanku yang lagi-lagi membuatnya merasa bahwa aku tak punya otak.

"Yang menjalani hubunganmu ini adalah kau dan Abvale, bukan kedua orang tuamu," ujar Aldo memulai perdebatan diantara kami. Jika tadi dia sudah bersedia untuk terus menutup mulutnya dan mendegar rentetan ocehanku, maka sekarang dia juga akan bersedia membuka mulut lebar-lebar dan menjelaskan opininya yang katanya sangat masuk dilogika itu.

"Aku yakin orang tuamu akan mengerti bila kau menjelaskan semuanya dari awal dan selengkap-lengkapnya," lanjut Aldo.

Aku berdecak. "Tidak semudah itu, Al," tentangku. "Orang tuaku dan orang tuanya juga sudah akrab, jika kami tiba-tiba melemparkan fakta bahwa kami sebenarnya tidak baik-baik saja, otomatis mereka akan merasa kami menipu mereka," lanjutku.

"Aku dan Abvale sudah berjalan satu tahun lebih, lalu tiba-tiba kami membongkar semua sandiwara kami selama ini? Kami jujur bahwa sebenarnya kami tidak pernah benar-benar menjalani hubungan ini dan hanya berpura-pura harmonis didepan keluarga kami? Aku tak segila itu, Aldo."

Aldo mendengus. "Sama saja. Pada akhirnya kalian juga akan memberitahu orang tua kalian saat kalian atau salah satu dari kalian sudah mendapatkan tambatan hati," ujar Aldo. Pria itu menyeruput kopi hitam pekatnya.

Aku tersenyum miris. Walau kemarin Abvale bilang dia dan Rebecca hanya sebatas teman, tapi tetap saja aku merasa ada yang spesial diantara mereka. Bagaimana jika kata-kata manis Abvale kemarin hanyalah sebuah fatamorgana? Dia saking takutnya mengakui semua ini pada papa dan mamanya, akhirnya menggunakan senjata kata-kata untuk membuatku bertahan bersamanya.

"Semakin lama kau dan Abvale mempertahankan kebohongan ini, maka semakin susah juga nantinya kalian harus menyudahi kebohongan ini," kata Aldo datar.

Aku cukup merasa tertohok dengan kalimatnya barusan. Aku tak bisa mengelak dengan kebenaran itu. Tetapi, aku benar-benar belum siap. Aku ragu untuk menghadapi reaksi keluarga kami--terutama kedua orang tuaku.

"Pikirkan matang-matang, Nes. Banyak pria diluar sana yang sudah mengantre untuk bisa bersanding denganmu. Terlalu bodoh kalau kau hanya membuang waktumu untuk sesuatu yang nantinya juga akan sia-sia," lanjut Aldo.

Aku menganggukkan kepalaku pelan dan tesenyum tipis. Ya, sesuatu yang nantinya juga akan sia-sia.

===>>><<<===

"Dari mana?"

Aku menoleh dan mendapati Abvale tengah duduk diatas sofa sambil memandangi layar televisi yang menampilkan sebuah berita.

"Cafe," jawabku singkat.

"Terima kasih untuk tidak jadi pergi dari apartemen ini," ujar Abvale yang langsung membuat gerak tanganku yang tadinya ingin meraih ikat rambut diatas lemari terhenti.

Aku kembali menoleh dan menatap tepat di kedua bola matanya. Aku mengangguk mengiyakan. "Nanti, aku akan coba pikirkan bagaimana agar kita bisa mengkhiri hubungan ini," kataku. "Kau benar, tidak mungkin bila aku langsung mengakhiri semua ini dengan tiba-tiba. Orang tua kita pasti akan marah," lanjutku.

"Dan kecewa," timpal Abvale.

Aku tersenyum kecil dan mengedik bahuku sekedar meresponi.

"Kau tidak pulang?" tanyaku berusaha ingin menghilangkan kediaman yang dari tadi menyelimuti kami. Rasanya aneh saja saat aku dan Abvale berada diruang yang sama dan hanya saling menutup mulut. Biasanya, kami selalu berdebat atau mungkin dia yang memarahiku atas kelakuanku yang dia tidak suka.

Abvale menggeleng. "Tidak, mungkin nanti malam," jawabnya.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghabiskan waktu liburku bersama calon istriku," sahutnya.

Aku terkekeh geli mendengar tuturannya. Sejak kapan Abvale jadi romantis seperti ini? Dan lagi, sejak kapan dia bisa bilang 'calon istri'? Bukannya terlalu percaya diri, tetapi wanita satu-satunya yang sedang bersamanya saat ini hanyalah aku.

"Tidak masalah, bukan?" Abvale mengangkat suara lagi.

Aku mengangguk mengiyakan. "Tidak masalah, tetapi calon istrimu tidak ada disini," ujarku mencoba memegang egoku kuat-kuat agar tidak terbang terlalu tinggi.

"Kau," sahutnya.

"Kau calon istriku," lanjutnya.

Dan aku benar-benar terbang sekarang. Aku yakin, sangat-sangat yakin bahwa mukaku sekarang sudah memerah layaknya kepiting rebus yang sering kumakan. Memalukan.

Abvale pasti bercanda. Pria itu sangat suka sekali memporak-porandakan pertahananku. Suka sekali mengaduk-aduk perasaanku. Dan setelah melakukan hal-hal seperti itu, biasanya dia akan langsung berubah kembali seperti tabiat awalnya. Cuek, tidak peduli, dan hanya menganggapku sebagai wanita--tunangan didepan keluarganya, yang tidak benar-benar dianggap serius kehadirannya.

"Bagaimana?"

Aku menautkan kedua alisku tak mengerti. Apanya yang bagaimana? Apa yang dibicarakan Abvale?

"Bagaimana kalau..." Abvale menggantung ucapannya. Dia berdiri dari sofa dan berjalan mendekat kearahku.

Setiap langkah yang dia ambil, entah mengapa bisa mempengaruhi detakan jantungku. Aku sangat tak suka dengan keadaan seperti ini. Dimana aku selalu tidak berkutik dibawah tatapan kedua bola mata hitam pekatnya. Dan dia selalu dapat menguasai situasi hingga aku tak tahu lagi harus berbuat apa, bahkan otakku sampai tidak bisa bekerja.

"A... apa?" tanyaku. Suaraku tertahan ditenggorokan saat jarak diantara kami sudah hanya tinggal sejengkal. Dengan sedikit memajukan kepalaku saja, dahiku sudah bisa menyetuh hidung mancungnya.

"Bagaimana kalau apa yang kukatakan kemarin, aku hilangkan kata mungkinnya?"

===>>><<<====

Eak.

Balik lagi. Berapa lama aku nggak update? Hahaha.

Jadi, aku sekarang lagi UKK, cuma tanganku gatel untuk nulis dan jadilah part ini.

Makasih sangat buat kamu semua yang masih mau mengikuti kisah Nesha ini. Kalau kamu suka dengan part ini, kamu bisa meninggalkan jejak dengan vote dan comment.

Dan juga, selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan :)

Dan selamat memperingati hari pancasila. Semoga pancasila bisa dilaksanakan dan bisa jadi pedoman untuk setiap warga negara Indonsia. Asek.

Papai.

My Possessive FianceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang