39 th

33K 1.1K 18
                                    

Still Nathan's POV

"ADELL !!!!"

Aku terbangun dengan badan yang dibanjiri keringat. Setelah mimpi aneh tadi perasaanku sangat tidak enak. Aku takut kalau itu adalah pertanda buruk. Tiba tiba mama masuk ke dalam ruang rawatku.

"Nathan kamu udah bangun nak?" tanya mama sambil mengecek keadaanku.

"Iya ma, Adel gimana ma?" tanyaku sedikit panik.

"Adel lagi dioperasi sekarang, kamu kenapa keringetan gini?" tanya mama

"Gapapa kok ma. Tadi mimpi buruk aja." Jelasku

"Yaudah sekarang kamu istirahat, jangan lupa sama keadaan sendiri. Mama tau kamu khawatir sama Adel, mama papa juga sama. Sekarang kita percayain sama dokter aja, kita cuma bisa berdoa sama Tuhan buat Adel." Ucap mama sambil kembari menyuruhku istirahat.

Aku hanya mengangguk kemudian mama sambil berjalan kembali menuju pintu.

"Oh iya, mama mau ke kantin, kamu mau makan apa?" tanya mama sebelum keluar dari ruang rawat.

"Gak deh ma, aku gak laper." Jawabku tapi dibalas dengan tatapan tajam dari mama.

"Kamu harus makan !" teriak mama ke arahku, jujur aku takut mendengarnya secara langsung dan itu ditujukan padaku. Jujur saja aku belum pernah dibentak langsung seperti ini oleh siapa pun. Aku kembali mengingat dimana Adel selalu diteriaki seperti itu olehku, kedua orang tuaku, bahkan beberapa kerabat juga memperlakukannya seperti itu.

"Iya deh, terserah mama aja deh mau beliin apa. Aku juga gak tau makanan apa aja yang ada di kantin. Jawabku seadanya.

Mama hanya mengangguk kemudian keluar meninggalkan ruang rawatku.

Beberapa menit kemudian mama kembali ke ruang rawatku bersama papa dan beberapa kantong plastik berisi makanan di tangan mereka.

"Kok banyak banget kayaknya ma?" tanyaku pada mama dan papa yang kemudian duduk dekat kasurku.

"Iya, mama sama papa sengaja beli makanan untuk kita bertiga, kita makan disini bareng bareng." Jawab papa sambil menaruh makanan di dekat meja dan disiapkan oleh mama.

Selanjutnya kami bertiga makan dengan tenang di dalam ruang rawatku.

"Ma, aku makan sendiri aja, mama makan juga. Lagian tangan aku kan gak kenapa napa, aku juga udah gak lemes lagi kok." Ucapku pada mama yang menyuapiku dari tadi dan tidak menyentuh makanannya.

"Iya deh yang udah gede." Ledek mamaku yang mengundang tawa kami.

"Andai saja Adel ada di sini." Batinku karena tidak mau merusak suasana yang sudah cukup bahagia ini. Mama tidak lagi menangis seperti tadi.

"Pa, Adel operasinya kapan selesai?" tanyaku pada papa yang selagi makan hanya mendengarkanku dan mama dan tertawa sesekali.

"Bentar lagi deh kayaknya, yaudah abis makan kita ke ruang operasi ya." Ajak papa.

Aku hanya mengangguk dan melanjutkan makanku sambil terus berdoa.

Selesai makan papa membantuku untuk menaiki kursi roda menuju ruang operasi, jangan lupa kalau kakiku ini bahkan belum dioperasi. Jadi aku hanya duduk sambil mama mendorong kursi rodaku. Tapi entah kenapa aku kembali takut mengingat mimpiku tadi terutama kata kata Adel tadi.

Hampir 1 jam kami menunggu di depan ruang operasi, kemudian seorang dokter keluar dengan ekspresi yang tidak bisa kubaca sama sekali. Perasaan takut itu datang lagi, kemudian sebuah kalimat yang keluar dari mulut merubah segalanya.

"Gimana keadaan adik saya dok? Dia gak kenapa napa kan? Operasinya berhasil kan?" tanyaku bertubi tubi karena perasaanku sungguh tidak enak.

"Nathan kamu tenang dulu. Biarin dokternya ngomong dulu." Ucap papa menenangkanku yang mungkin sudah terlihat seperti orang gila.

"Pak, Bu, Nathan, sebelumnya saya harap kalian tenang dan menerima semuanya. Kami sudah berjuang sekuat tenaga. Tapi, Tuhan berkehendak lain." Jelas sang dokter dan tanpa sadar air mataku mengalir deras.

"Apa maksud dokter?" tanyaku belum sepenuhnya percaya pada ucapan orang itu.

"Luka di tubuh Adel sangatlah parah, saat kami berhasil mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuh Adel keadaan turun drastis. Kami tidak bisa menyelamatkannya, kami sudah berusaha berkali kali untuk merangsang kembali detak jantungnya, tapi kami tidak bisa. Kami mohon maaf, Adel sudah meninggalkan kita semua. Ini juga dipengaruhi akibat shock akibat kekerasan yang dia terima bertubi tubi." Ucap sang dokter

"Kami berharap kalian kuat menghadapinya, inilah kehendak Tuhan, kita tidak bisa menolaknya. Kita hanya tinggal berdoa berharap semoga Adel diterima di sisi-Nya. Setidaknya dia sudah tidak mengalami rasa sakit lagi di alam sana. Saya tinggal dulu, sekali lagi saya minta maaf." Ucap sang dokter lagi.

"Kami paham dok, terima kasih. Ini bukan salah dokter, dokter benar inilah yang terbaik untuk Adel menurut Tuhan." Jawab papa walaupun sudah dengan mata berkaca kaca.

Jangan tanyakan keadaanku dan mama, aku benar benar hancur. Sedangkan mama sudah menangis keras sedari tadi. Aku mungkin tidak berteriak teriak seperti mama. Tapi air mataku tidak mau berhenti mengalir. Kemudian kata kata Adel saat itu kembali berputar di kepalaku

"Selamat tinggal kakak. Aku sayang kakak dan semuanya."

Kata kata itu terus terngiang ngiang seperti kaset rusak di kepalaku.

"ADELLL !!!" teriakku kemudian gelap menyelimuti pandanganku dan aku tidak ingat apa apa lagi selain mama dan papa yang meneriakkan namaku sambil berjalan ke arahku.

TBC

Makasih yang masih baca dan vote buat cerita ini
Kayaknya cerita ini bentar lagi bakal tamat, kayak janji aku pasti bakal tamatin cerita ini buat yang masih mau baca

Sorry banget kalo chapter ini pendek

Kritik sarannya komen aja ya :)

-X-

Behind That Smile (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang