23rd: Twenty-three Note's

1.7K 125 1
                                    

// 🔝the beatles: a day in the life //

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

// 🔝the beatles: a day in the life //

23 September 2012
11.45 pm

Andrew menghentikan mobilnya di pantai. Aku mengenal tempat ini. Semua kenangan itu kembali berkelabat di pikiranku.

Andrew membukakan pintu bagiku. Dia meraih tanganku dan kami berjalan ke tepi pantai. Beberapa menit kemudian Luck keluar dari mobil. Dia mengambil beberapa batu dan mulai melakukan permainan memantulkan batu di air. Aku dan Andrew duduk di atas pasir.

"Tempat ini semakin indah." kataku pelan. "Ya. Tentu saja." sahut Andrew. "Terakhir kali aku ke tempat ini bersama ayahku, ibuku dan adikku." Andrew melirik kearahku. Dia merangkul pundakku. "Kau boleh bercerita kepadaku." katanya dengan suara hangatnya. "Ayahku meninggal saat aku berusia delapan tahun. Sehari setelah kami datang ke tempat ini. Ayahku pergi. Dia berkata kepadaku, Hidup terus berjalan. Jalanilah dengan baik. Aku masih terlalu muda untuk mengerti kata-katanya. Aku merindukan dia." Andrew mengeratkan rangkulannya di pundakku.

Andrew berdiri kemudian mengambil sesuatu dari dalam mobil. Dia membawa radio tape yang terlihat tua bersamanya sambil tersenyum. Aku yakin dia menyukai hal-hal yang berbau klasik.

"Radio tape?" ucapku mencoba menahan tawa. Andrew hanya tersenyum. Dia mengeluarkan sebuah kaset pita dan memutar radio tape itu. Andrew meraih tanganku begitu lagu di mulai. The beatles; A Day In The Life.

Andrew meraih tanganku dan mengajakku berdiri. Dia mengeraskan suara lagu itu dan kami mulai menari. Harus kuakui Andrew bukan penari yang baik. Begitu pula aku. Aku merangkul leher Andrew dan dia merangkul pinggangku. Kami berjalan ke kanan dan ke kiri kemudian aku berputar beberapa kali ketika Andrew menaikkan lengannya. Kami tertawa bersama menyadari betapa buruknya kami menari.

Luck menghampiri dengan menatap kami heran. "Seharusnya aku membawa kekasihku." ucap Luck. Kami tertawa. Ini hari terbaikku.

Beberapa saat setelah itu, saat hari sudah sore, dan langit mulai jingga, Luck berkata dia harus pulang karena ibunya mengancam akan melapornya ke polisi sekarang juga. "Ya. Kau harus pergi. Aku tidak mau kau membuat kamarku berantakkan lagi." seru Andrew. Kami tertawa. "Sampai jumpa Jasmine. Nikmati kencan kalian." kata Luck kepadaku. Aku tersenyum kepadanya.

"Menyaksikan matahari terbenam adalah bagian terindah dalam hidupku." ucap Andrew. Aku meliriknya. "Kenapa? Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau membuatku malu." aku tertawa mendengarnya.

"Aku sangat mencintaimu Jasmine."

"Kau pasti berbohong."

"Tidak. Aku tahu aku mencintaimu. Hatiku tidak akan berbohong tentang itu. Walaupun kau tahu betapa cintanya aku terhadap mobil volkswagenku, atau radio tape lama milik kakekku, atau betapa cintanya aku kepada The Beatles, atau penyanyi lainnya, yang paling aku cintai adalah dirimu Jasmine. Hanya kau." sekarang kami duduk berhadapan. Aku baru menyadari dia punya lesung pipi yang tidak terlalu dalam hari itu. Dia sangat tampan. Aku mencintainya.

Andrew berdiri kembali. Berkata bahwa kita akan pergi ke tempat lain. Aku bertanya kita akan kemana dan dia hanya tersenyum kepadaku.

Sepanjang perjalanan kami bernyanyi lagu The Beatles, berbicara mengenai pria muda yang tadi di pantai sendiri sambil menangis dan menebak-nebak dia baru saja putus cinta. Beberapa jam kemudian, aku baru menyadari sekarang sudah pukul delapan dan Andrew berhenti di empire state.

Andrew membukakan pintu bagiku dengan senyum lebar. "Selamat datang di gedung pencakar langit New York." katanya. "Apa? Tidak. Kau pasti bercanda. Sekarang sudah malam. Lagipula kau tahu harga masuknya." seruku. "Ya. Tenanglah. Kita tidak akan membayar." kata Andrew. "Apa?" Andrew hanya tersenyum. Dia meraih tanganku dan berjalan dengan percaya diri menuju pintu masuk Empire State.

"Hai Sid. Lama tidak berjumpa." Andrew menyapa seorang pria muda memakai seragam satpam. "Halo Andrew, dan pacar Andrew. Naiklah." jawab pria bernama Sid itu. Aku tidak mengerti apa maksud semua ini.

"Bagaimana bisa?" tanyaku.

"Karena bisa. Temanku, Gordon, ayahnya adalah salah satu pengurus tempat ini." jawab Andrew. Pantas saja batinku. Kami memasuki lift dan Andrew menekan tombol paling atas dari deretan angka itu. Ini kali pertamaku mengunjungi tempat ini. Dan jantungku terus berdebar-debar sedari tadi.

Pintu lift terbuka dan kami berjalan keluar. Aku terkagum-kagum melihat pemandangan dari atas sini.

"Indah bukan?" tanya Andrew. Aku mengangguk. Ini hari terindah dalam hidupku. Aku dan Andrew berdiri di hadapan kaca besar gedung itu. Memandang kota New York yang bercahaya.

"Kau lihat itu? Gedung yang sangat terang dengan tinggi setengah gedung ini." kata Andrew memulai. Aku mengangguk begitu dia menunjuk gedung yang kira-kira berkilo-kilo dari hadapan kami. "Aku tidak tahu apa nama gedung itu." lanjutnya. Aku tertawa. Andrew melirikku lagi. Aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan dia sedang tersenyum. Aku menoleh kepada dia.

"Aku menyukai setiap kali kau tersenyum. Kau sangat cantik." katanya dengan suara pelan. Aku membalas tatapannya. Melihat kedalam mata cokelatnya, dan mulai terpikir mengenai sisa hidupku.

"Andrew, aku tidak memiliki banyak waktu." kataku. "Aku ... tidak sehat." lanjutku. Aku membuka tutup kepalaku. Andrew terkejut. Dia menyentuh lenganku, dan mulai memelukku. Hanya memelukku. Tanpa mengatakan apapun.

Dengan cinta,

-Jasmine

-Jasmine

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
265 Days of Love ✓Where stories live. Discover now