Chapter 42 - Bangun dari Tidur Panjang

429 21 0
                                    

Aku bisa merasakan tubuhku yang sedang terbaring. Rasanya sangat kaku dan pegal. Tapi setidaknya aku bisa menggerakan jari meski hanya berupa kedutan kecil pada ujung telunjukku. Sensasi panas kemudian menjalar menuju syaraf-syaraf di mataku. Aku membukanya dengan sangat perlahan. Mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang baru akan kuterima. Awalnya remang-remang dan semua baru terlihat jelas waktu demi waktu.

Yang pertama kali dapat kutangkap adalah langit-langit kamar dihalangi mangkuk plastik tembus pandang yang memakan separuh pemandangan. Di situ aku menyadari ada selang bantu pernapasan di atas wajahku. Jelas aku paham ada di mana.

"Oh! Jarimu bergerak! Oh! Oh! Ya Tuhan, terima kasih! Putriku sudah sadar!"

Suara renyah itu. Milik Mom.

Mom memekik begitu gembiranya selepas menyadari keadaanku. Ia menyentuh rambutku sambil menatapku dengan air matanya. Ia mencium pipiku dan berkali-kali mengucap syukur karena aku akhirnya bangun dari tidur.

Tapi benarkah ini hanya tidur biasa? Lalu kenapa juga aku ada di rumah sakit?Aku benar-benar tidak ingat apa yang terjadi.

Mom keluar ruangan tergesa-gesa. Ia pasti akan mengabari suster di luar. Mungkin, semua masih dugaanku. Pintu terbuka diiringi langkah kaki seorang wanita berpakaian putih.

Di sudut tempat tidurku berdiri, Mom yang saking semangatnya melihatku sampai-sampai membasahi pipinya dengan air mata. Jangan menangis, Mom.

Si suster jangkung sedang sibuk memeriksa infus dan detak jantungku. Ia terlihat mencatat sesuatu. Alat bantu pernapasanku beruap. Sebenarnya aku ingin membalas sambutan dan senyuman tulus dari Mom, orang pertama yang melihatku sejak aku membuka mata. Tapi tubuhku berkata aku belum mampu. Jadi aku menunggunya sampai semua benar-benar bisa difungsikan lagi.

Aku begitu heran saat pertama kali mendapati Mom yang berubah drastis menjadi sangat kurus. Pakaian kerjanya terlihat kedodoran. Matanya cekung dan ada kantung hitam di bawah matanya. Ia tampak sangat-sangat kelelahan. Bibirnya kering tapi ia masih semangat untuk tersenyum dan menyebut namaku meluapkan suka citanya.

"Iya, aku di sini. Aku melihatmu, Mom," bisikku dalam hati.

Seorang dokter masuk menggantikan suster untuk memeriksa keadaanku. Ia lalu melepas alat bantu pernapasanku. Bibirku menyungging kecil pada sang dokter berkacamata. Ia kemudian keluar ruangan setelah berbicara dengan Mom di depan pintu. Sebuah perbincangan singkat yang terkesan serius. Mom tampak agak kaget tapi sejurus kemudian rona wajahnya seperti memaklumi apa yang terjadi. Seperti ia pernah tahu apa yang dikatakan sang dokter.

Mom menarik sebuah kursi dan duduk di sampingku.

"Mom ..." panggilku pada sosok wanita hebat yang telah membesarkanku selama ini. Aku bersyukur karena bunyi serak itu akhirnya keluar dari tenggorokanku juga. "Kenapa aku di sini, Mom?"

"Kau... mmh... kau terlibat kecelakaan."

"Kecelakaan?" ulangku barangkali aku salah dengar.

"Iya. Tapi sudahlah. Yang terpenting sekarang kau sudah bisa melihatku lagi. Benar, kan?"

Aku mengangguk ragu. Sejujurnya ada rasa penasaran pada kronologi kecelakaan yang membuatku sampai begini. Tapi kupikir Mom benar juga. Mungkin ia hanya tidak ingin aku trauma dengan apa yang terjadi. Benar. Kurasa Mom memang benar.

Aku menatap Mom dalam, seolah seluruh bagian jiwaku tertuju hanya padanya. Tanganku meraba pipi Mom. Kucoba menghapus kesenduan di wajahnya. "Sekarang Mom tidak perlu lagi menangis untukku." Mataku meremang. "Mom tidak harus menjagaku lagi di sini." Suaraku mulai bergetar. "Lihatlah apa yang sudah kulakukan padamu. Aku hanya bisa menyusahkanmu ..." Lidahku kelu. Pangkal tenggorokanku sekarang benar-benar terasa seperti ditekan. Air mataku akhirnya jatuh.

The Protecting Blood Where stories live. Discover now