Chapter 3 - Pertanyaan

1.3K 70 0
                                    

Stefan menghela napas berat, "Seekor hyena menyeret tubuh Margarett ke atas pohon tak lama setelah ia meletakkan kayu bakarnya dan memutuskan mencarimu. Ia tewas, Jun..."

Aku tersentak. Tubuhku bergetar dan mendadak kehilangan daya untuk menopang. Aku jatuh bersimpuh di hadapan mereka. Tanganku gemetar membayangkan Margarett yang menjerit-jerit saat peristiwa nahas itu menimpanya. Penjelasan Stefan bagaikan petir yang menyambar jantungku. Kepalaku tiba-tiba saja berputar dan rasanya seperti mau pecah. Lalu semua berubah jadi gelap dan aku tidak bisa merasakan tubuhku.

Samar kudengar suara, "Bagaimana? Apa dia sudah sadar?"

Bola mataku bergerak. Kucoba membuka kelopak mataku perlahan. Cahaya putih menerobos masuk ke pupil mataku sedikit demi sedikit. Tanganku berkedut kecil. Ada tangan lain yang menggenggamnya. "Juney, kau sudah sadar?" tanya Maureen yang kuduga sudah lama duduk di sampingku. Rupanya itu adalah tangan Maureen.

Aku mengangguk pelan, tak menghiraukan Maureen yang pastinya tidak dapat melihat anggunkanku. "Apa aku ada di dalam tenda?"

"Ya," tukas Maureen.

Aku bangun sambil memegangi kepalaku. Masih terasa berdenyut-denyut. Darah di kepalaku rasanya sedang menendang-nendang kesetanan. Aku merasa benar-benar limbung.

"Bagaimana dengan Bill, Bolton, dan Ricky? Apa mereka baik-baik saja?" Hanya pertanyaan itu yang terlintas di pikiranku.

"Hmm.." Maureen mendesah ragu. "Bill dan Bolton bernasib sama seperti Margarett. Dan Ricky... Dia..dia belum ditemukan sampai saat ini. Tidak seorang pun berani mencarinya." Tubuh Maureen gemetar hebat. Wajahnya pucat dan bibirnya terus saja bergeming tak beraturan. "Kau sangat beruntung bisa kembali ke sini Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu. Jadi, jangan pernah meninggalkanku lagi, Juney. Aku takut..." Maureen menggenggam roknya sambil menunduk. Air matanya jatuh. "Kita harus cepat kembali, Juney. Di sini banyak hewan liar. Dan aku takuuut sekaliiii..."

Aku meraih genggaman tangannya, kemudian menangkupkan kedua tanganku di pipinya. Kuhapus air mata di wajah wanita berkulit merah muda itu perlahan. "Tentu..tentu kita akan segera kembali, Maureen. Dan aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi." Maureen mengangguk.

Suara riuh terdengar di luar tenda. Aku dan Maureen mencoba mencari tahu. Puluhan mahasiswa berkumpul di depan tenda Dylan, ketua rombongan kami.

"Ada apa?" tanyaku pada Whitney yang memang sudah di sana sebelum aku dan Maureen datang.

"Sepertinya Dylan akan mengumumkan sesuatu. Ini sudah pasti mengenai Margarett, Ricky, Bill, dan Bolton."

Whitney memandang lagi pada sosok Dylan.

"Aku sudah memutuskan bahwa kita semua harus kembali secepatnya ke asrama. Aku juga sudah menghubungi pusat bantuan dan kepolisian terdekat. Tapi..."

Suasana kembali riuh dengan komentar-komentar ketakutan.

"Pusat bantuan bilang di sana hanya ada dua kapal tersisa..." kalimat Dylan kembali menggantung. Jantungku mulai berpacu, sekaligus membuatku semakin kesal karena ia bicara tidak becus.

"Bagaimana bisa hanya ada dua kapal di pelabuhan?!" Seseorang menyahut. Suasana semakin tegang.

"Mereka tidak bisa menjemput kita semua bersama-sama. Butuh tiga kali penjemputan. Itu pun jika cuacanya bagus."

Teman-teman wanita dalam rombongan kami menjerit histeris. Teriakan dan nada-nada protes mewarnai senja itu.

Bagaimana bisa kami semua terjebak di situasi mengerikan seperti ini, seolah-olah kami datang hanya untuk memuaskan rasa lapar para hyena terkutuk itu. Setahuku di Pulau Nieffe tidak pernah terdengar ada serangan hewan buas atau semacamnya. Dylan juga sempat bicara padaku setelah pengumumannya itu, bahwa pusat bantuan juga terkejut mendapatkan berita ada serangan hyena di sini. Aku semakin bingung. Ada satu juga yang masih mengganjal di pikiranku. Tentang perkataan Charly saat ia menemukanku tersesat di hutan. Ia bilang rumahnya tidak jauh dari tempat kami berada saat itu. Dan apakah penduduk di sini-Charly khususnya-bisa menjelaskan pada kami tentang peristiwa yang terjadi? Bukankah aku sebelumnya pernah bilang bahwa Pulau Nieffe adalah pulau tak berpenghuni? Ahh..tapi mungkin saja tahun ini memang ada migrasi dari kota London.

Pasca kejadian mengerikan sore tadi perkemahan terasa sangat mencekam di malam hari. Tidak ada api unggun, tidak ada gelak tawa dari dalam tenda, dan gitar-gitar berhenti bersenandung. Itu karena Dylan melarang kami semua melakukan hal yang dapat menarik perhatian para hyena.

"Kau tahu Juney apa yang paling ditakutkan seseorang yang akan meninggal?" tanya Maureen sembari bersandar di bahu kananku. Ia membiarkan rambut hitam itu menutupi separuh wajahnya. Ia sesekali menatapku yang tetap tak bergeming dengan tatapan kosong ke luar tenda.

"Adalah saat kau merasakan proses kematianmu. Seseorang yang berbuat baik akan mati dengan terhormat. Demikian sebaliknya."

"Tapi kupikir Margarett, Bill, Bolton, dan Ricky adalah orang yang baik. Kenapa mereka pergi dengan cara seperti itu?" tanyaku tidak terima.

"Aku juga mempertanyakannya, Jun..."

Aku terdiam. Bukan karena kesulitan mencerna kalimat Maureen, tapi karena pikiranku sedang melayang entah ke mana.

(bersambung...)

The Protecting Blood Where stories live. Discover now