Chapter 12 - Kembali (2)

744 41 0
                                    

Selamat Membaca! :D

***

Hari-hari setelah liburan yang berubah menjadi bencana di Pulau Nieffe usai, kami kembali menjalani rutinitas masing-masing.

Di perjalanan pulang dari sana aku sempat berpikir: sampai di rumah pasti akan banyak berita tentang kejadian di Pulau Nieffe. Dan orang tua kami semua pasti mencari kami. Tentu saja, setelah semua berita itu mereka dengar. Tapi...ternyata aku salah. Mom bahkan tidak mengkhawatirkan apa pun dariku. Ia justru heran saat tahu kami berempat pulang lebih cepat dari rencana. Benar-benar diluar dugaan! Apa tidak ada berita atau semacamnya? Berita tewasnya teman-teman bahkan mungkin sama ramainya dengan pesawat jatuh jika dibicarakan. Tapi ini, semua tampak terkendali. Mom tidak tahu sama sekali tentang mereka. Bahkan di kampus pun tidak terjadi kehebohan. Hanya ada satu saja yang berbeda, di gerbang kampus dipasang foto Margarett, Bill, dan Bolton. Bingkisan mawar putih menghiasi foto ketiga anak itu. Beberapa gadis angkatan di bawahku terlihat menangis di depan foto Bolton. Mungkin fansnya. Mungkin temannya. Atau pacar-pacarnya.

Aku berjalan mendekati beberapa gadis itu. Bukan untuk menyapa atau menenangkan mereka, tapi tujuanku adalah memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga temanku itu. Aku mengeluarkan tiga batang mawar putih dari paper bag yang kubawa. Kuletakkan mawar-mawar itu di depan foto mereka. Aku menatap ketiga foto itu dalam-dalam.

"Ehmm..." suaraku pasti akan terdengar parau. Belum apa-apa tenggorokanku sudah sesak. "Terkadang aku merasa bersalah keluar dari pulau itu dengan selamat karena di waktu yang bersamaan kalian pergi meninggalkan kami. Bahkan kau, Margarett. Mereka bilang kau kembali ke hutan untuk mencariku yang belum kembali. Aku tidak akan pernah melupakan keberanianmu. Kau tidak pernah cukup hanya disebut teman. Kau berhati sahabat. Dan uhh.. air mataku jatuh. Aihhh...aku jadi cengeng begini ya! Semoga sekarang kalian bisa tenang di sana... Guys, aku tidak mengerti banyak soal keberuntungan. Termasuk keberuntunganku bisa hidup sampai detik ini. Semua adalah keajaiban, Kawan! Mungkin memang buruk bisa melihat mereka menggeram di depanmu, sungguh...kuakui mereka mengerikan sekali. Tapi setidaknya sekarang aku bisa memetik pelajarannya. Ada sebuah harapan di mataku, untuk mempertahankan hidupku dengan berbuat baik. Karena jika tidak begitu, mungkin aku tidak akan pernah menyadari untuk apa Tuhan memberiku waktu jika bukan karena Dia berharap aku jadi yang lebih baik."

Aku melambai kecil pada foto mereka. Aku setengah berlari memasuki ruang kuliah jam pertamaku. Mrs. Downwell, dosen sastra.

Siang itu di kampus. Pukul 12.24. Jam kuliahku sedang kosong. Begitu pun Maureen. Jadi aku memutuskan untuk pergi ke taman memakan bekal makan siangku sambil menyaksikan Maureen yang menyelesaikan tugas melukisnya. Ia terlihat serius, hanya beberapa kali ia memintaku mengambilkan botol cat yang sudah ia pakai untuk kembali menutupnya.

Aku dan Maureen berteman-bisa juga kusebut bersahabat-baru setahun lalu, saat tidak sengaja kami bertubrukkan di depan gerbang kampus. Aku saat itu sangat terburu-buru karena materi kuliahku yang pertama sudah dimulai. Aku berlari dan tiba-tiba aku menghantam tubuh Maureen. Ia jatuh dan aku hampir melompat di atas tubuhnya jika aku tidak segera berguling dan menjatuhkan diriku di sebelahnya.

"Hey!" seruku dengan kasarnya.

"M-maaf..." Maureen berusaha bangkit dan meraba mencari tongkatnya yang terpelanting.

Aku menangkap pemandangan itu. "Ya Tuhan! Maafkan aku!" Aku membantunya berdiri dan mengambilkan tongkatnya. "Aku tidak tahu kalau kau.."

"Iya, tidak apa-apa," jawabnya terima saja.

"Apa kau terluka? Aku akan mengantarmu. Kau mahasiswa di sini juga kan? Jurusan apa?"

"Hmm..maaf jadi merepotkanmu ya, aku dari jurusan seni rupa," kata Maureen masih dengan suara lirihnya.

Aku kemudian menuntunnya memasuki kampus dan mengabaikan kuliahku pada jam pertama yang akan segera berakhir. Kami mengobrol dalam perjalanan ke ruang kuliahnya pagi itu. Maureen sangat ramah padaku. Senyuman tidak pernah lepas dari bibir merah jambunya itu. Jika saja aku seorang pria, aku pasti menyukainya.

Semenjak hari itu, kami sering bertemu. Kami jadi akrab dan tahu banyak hal tentang diri kami satu sama lain. Aku dulu heran kenapa Maureen bisa melukis dan bisa masuk ke jurusan seni rupa di Gerald. Tapi baru-baru ini ia memberitahuku bahwa ia kehilangan penglihatannya dua tahun sebelum ia masuk kuliah. Aku benar-benar kagum padanya yang masih bisa mengingat detil-detil gambar kehidupan meski ia akan selalu dalam kegelapan setiap harinya. Dan dalam tenggang waktu dua tahun itu ia berlatih melukis dengan pamannya yang juga seorang pelukis.

Aku juga selalu kagum pada keinginan kerasnya menjadi seorang seniman terkenal di dunia dengan keterbatasannya. Dan alasan-alasan ini lalu mendorongku untuk mengenalkannya pada Jerry. Tapi Jerry memang bodoh! Sekali lagi, Jerry memang BODOH! Kupikir ia cukup baik dan akan tertarik pada Maureen, ternyata ia malah berkencan dengan Whitney yang terkenal suka berganti-ganti pasangan. Sungguh, mengingat ini kau makin terlihat bodoh, Jerry! Jika bukan karena kau sahabatku sejak kecil, pasti wajahmu tidak akan bertahan mulus sampai saat ini! Aku benar-benar kesal padanya, terlebih setelah itu ia malah menjodohkan Maureen dengan Stefan, teman satu jurusannya. Harus kuakui rencanaku gagal total karena bocah tengik itu. Tapi aku cukup bersyukur sih karena setelah itu aku jadi mengenal Stefan dan Whitney. Malah kami sering pergi-pergi bersama. Jerry menyebut kami 'lima serangkai'. Ya, bisa kubilang Maureen dan Stefan cukup dekat. Kuduga mereka menyimpan perasaan satu sama lain. Dan rupanya benar, tidak lama kemudian mereka memberitahuku bahwa mereka sudah resmi berpacaran.
"Hey, Jun. Apakah kau sudah melihat Whitney?" tanya Maureen sambil menoleh mencariku. Lamunanku buyar seperti puzzle yang baru saja diobrak-abrik.

"Belum, padahal ini sudah seminggu ya. Dia tidak memberi kabar pada kita. Gadis itu tidak menjawab pesanku dan teleponnya juga tidak aktif."

"Ada apa ya dengannya? Apa dia sakit?"

"Tidak. Jerry juga tidak tahu. Dia bilang rumahnya tampak sepi saja."

"Tidak biasanya Whitney seperti itu."

Aku mengangguk membenarkan.

"Jam berapa sekarang?" tanya Maureen sambil mematung menunggu jawabanku.

"Pukul..." Aku melirik arloji. "Ya ampun, aku lupa! Terima kasih sudah mengingatkanku, Maureen!" Aku berlari sekencang-kencangnya menuju ruang kuliah di lantai 2. Begitu sampai di depan kelas, aku langsung masuk dan mengikuti kuliah dari Mr. David. Aku telat lima menit. Untung saja dosennya Mr. David.

Selesai mengikuti kuliah, aku pulang ke rumah. Biasanya Jerry pulang denganku, tapi hari ini ia bilang akan pergi ke suatu tempat dengan teman satu jurusannya. Jadi aku melaju sendiri dengan van berwarna biru tua yang Mom berikan sebagai kado ulang tahunku bulan lalu. Sedangkan Maureen selalu diantar pulang oleh Stefan. Aku benar-benar iri pada mereka. Rasanya di sini aku saja yang menyandang status 'sendiri'. Sialan!

Sampai di rumah Mom memberitahuku bahwa ada seseorang yang datang pagi tadi.

***bersambung***

Nahlooo siapakah yang datang ke rumah Juney ??? Apakah si itu ? Atau si ini ? Benarkah bukan si anu ? Jawabannya ada di chapter 13!

Jangan bosen baca ceritaku yaa...

Kalo suka, yukk pencet bintangnya! :D
Kalo ada yg mau kasih saran, monggo komen. Selama aku masih punya kuota dan jaringan internetnya lancar. Insya Allah kubales kok :D

The Protecting Blood Kde žijí příběhy. Začni objevovat