Chapter 16 - Penglihatan (3)

543 25 0
                                    

Selamat Membaca! :D

***

Hyena berwarna coklat gelap yang bertubuh paling besar berlari. Diikuti aku dan empat hyena lainnya. Hyena yang paling besar itu menggeram dan merintih hampir bersamaan. Matanya berkaca-kaca penuh kesedihan. Aku juga ikut menggeram saat salah satu hyena mengatakan ada yang tertembak. Kami semua berlari ke arah pemukiman.
Mayat-mayat bergelimpangan di sana. Orang-orang tergeletak dengan darah merembes dari tubuh mereka. Semua ambruk kecuali kami berenam. Itu yang kutahu.

"Falla! Bangunlah, Falla!" Hyena itu menggoncang tubuh wanita paruh baya di depannya dengan moncong hitamnya. Wanita itu tidak bergerak. Terjadi perubahan pada tubuh hyena itu. Ia mengecil dan sekejap kemudian yang ada di sana adalah ayah Charly. Ia mencium rambut si wanita sambil menangis tersedu.

Terdengar lenguhan dariku: dari tubuh ini. Aku menunduk dan hanya melihat tanah yang penuh dengan genangan darah yang baru akan mengering. Aku berjalan perlahan mendekati ayah Charly dan wanita paruh baya yang dipanggil Falla itu. "Ibu..." Suara berat itu keluar begitu saja dari mulutku. Terdengar sangat menyayat hati. Aku mengasumsikannya sebagai ibu Charly.

"Kakak! Elena masih bernapas!" seru salah satu hyena yang beberapa detik kemudian berubah menjadi manusia.

Aku berlari sesaat setelah mendengarnya. Lariku sangat kencang. Hanya butuh dua detik untuk menyelesaikan jarak seratus meter. Aku melihat seorang gadis berambut hitam yang masih bernapas tersengal-sengal. Usianya mungkin sekitar sepuluh tahunan. Tapi wajahnya terasa familiar di pikiranku. Aku pernah melihatnya! Aku yakin aku tidak salah! Itu adalah wanita yang datang bersama Charly di malam saat kami tertinggal di Pulau Nieffe! Benar! Aku ingat namanya Elena, ia adalah adik Charly! Dan saat ini aku sedang melihatnya dalam versi anak-anak.

Elena memegangi perutnya yang berlubang ditembus peluru. Wajahnya sangat pucat. Darah keluar begitu derasnya dari lubang itu. Dengan tangan yang gemetar aku meraihnya dan meletakkan kepalanya di atas tanah yang lebih tinggi. Aku yakin saat itu tubuhku sudah berubah jadi manusia lagi. Aku meraih selembar kain yang tergantung di depan setiap rumah dan membebatkannya ke tubuh bagian bawahku. Ini terasa sedikit canggung karena aku..bagaimana pun seorang wanita, dan tubuh ini milik Charly.

Aku kembali pada Elena. Ia berusaha mengatakan sesuatu. Telunjuknya mengarah ke dalam rumah di ujung kirinya. "Dok-ter... di san-a dia ju-ga ter-tem-bak." Kalimatnya terbata.

Dua orang pria berlari ke arah yang ditunjukkan Elena.

"Pergilah, di-a membutuh-kanmu.."

"Tidak, Elena. Tidak! Kau juga membutuhkanku. Aku akan tetap di sini menemanimu." Aku terus menggoyang-goyangkan tubuh Elena. Tubuh ini sepertinya berharap gadis itu tetap dalam kondisi sadar.

"Aku tidak ingin mem-buat-mu melihat-ku be-gi-" Suaranya semakin lemah dan ia mulai menutup matanya dengan sangat perlahan.

Tubuhku nampak lebih panik dari sebelum-sebelumnya. "Tidak! Tidak, Elena! Bangunlah, Elena! Kau tidak boleh meninggalkanku!" Aku memeluknya erat, menggoyang-goyangkan tubuhnya seperti yang ayah Charly lakukan pada Falla, isterinya. Mataku meremang dilapisi air-air yang siap jatuh dengan bentuk bulirnya.

"Elena..." Aku sudah cukup kenal dengan suara itu. Ayah Charly. Aku menoleh dan mendapati ayah Charly menatap kosong jenazah Elena sambil menggendong istrinya. "Apa Elena-ku juga meninggalkanku?" tanya ayah Charly. Ironi. Getaran yang keluar dari pita suaranya membuat siapa pun mengerti bahwa ia sangat mencintai anak gadisnya itu.

Penglihatanku kembali berganti. Kali ini yang kulihat adalah mayat-mayat yang ditata berjajar di tempat yang seharusnya menjadi pesta meriah mereka. Ada puluhan orang yang berbaring di sana. Tubuh mereka mulai membiru dan darah yang keluar juga sudah mengering.

Aku, ayah Charly, dan tiga orang lainnya menatap mayat-mayat di tanah dengan perasaan campur aduk. Keluarga mereka telah direnggut oleh orang tidak dikenal. Entah apa masalah dan tujuan mereka aku pun tak tahu.

"Mereka sudah pergi, dan tidak akan pernah kembali untuk kita lagi. Selamanya..." kata ayah Charly dengan air mata yang sudah membanjir di wajahnya.

Semua yang tersisa di tanah itu tidak bergeming. Mereka juga larut dalam kesedihan. Dad tidak terlihat di dekat kami. Dan juga satu orang yang kutahu juga merupakan bagian dari kelompok Charly. Mereka tidak tampak bersama kami. Dalam hati aku berharap mereka ada di dalam salah satu pondok. Semoga saja ini tidak berarti waktu Dad yang habis. Semoga saja ini bukan alasan Dad pergi meninggalkanku dan Mom. Dan semoga saja Charly tidak membiarkanku melihat detik-detik kepergian Dad. Aku berharap bukan seperti ini akhirnya. Aku tidak ingin melihat yang seperti itu dengan mataku, dengan mata kepalaku sendiri.

Seorang pria yang berumur tidak lebih dari lima puluh tahun mendekati ayah Charly yang berdiri tepat di hadapanku. Aku begitu dekat. Dapat kudengar percakapan mereka. "Ada yang ingin kusampaikan, Kakak. Ini berhubungan dengan kelompok kita semua."

Wajah ayah Charly mengeras. Aku dapat membayangkan saat katup giginya merapat dan saling menimbulkan tekanan di antara kedua sisinya.

Dua orang lainnya tampak masih berduka dengan kematian keluarga mereka. Mereka duduk bersimpuh di depan mayat-mayat isteri dan anak-anak mereka.

"Apa?" Ayah Charly mengangkat wajahnya dengan susah payah ke arah pria itu.

"Apa Kakak tidak ingat cerita ayah tentang Perjanjian Darah?" Pria itu mengikuti arah pandang ayah Charly yang mengabaikannya. "Kita masih punya satu harapan. Dan itu mengubah semuanya." Pria itu terlihat bersemangat. Ada api yang menggebu dari dalam dirinya.

"Siapa? Siapa yang kau pikir mau dengan sukarela menyerahkan nyawanya untuk kita, Dever?!"

Pria tua yang dipanggil Dever itu terlihat tidak kebingungan dengan pertanyaan ayah Charly. Ia sepertinya sudah mengantisipasinya. "Menurutmu, apa dia bersedia?" Wajahnya mengedik pada pondok kayu di belakangnya.

Aku curiga dengan Dever. Jangan-jangan yang ia maksud adalah Dad.

"Tidak, Dever! Berani-beraninya kau mengatakan itu! Kau sama sekali tidak pantas mengatakannya! Apa kau tidak tahu seberapa besar kita berhutang budi padanya?! Ingat itu, Dever! Aku, sekali pun tidak pernah berniat mengorbankan sahabatku sendiri demi kelangsungan hidup kelompok kita! Tidak akan pernah sampai kapan pun!" Suara ayah Charly bergetar di akhir seruannya pada Dever.

Sepertinya dugaanku benar.

***bersambung***

Jangan lupa vote dan comment yaa... (^_^)/

See ya next chapter!

The Protecting Blood Where stories live. Discover now