Chapter 41 - Bertemu Dad

418 20 0
                                    

Gordon bangkit kembali. Dilihatnya mata Smith nyalang. Tatapannya panas dengan warna mata emas terbakar. Smith mengira dirinya akan mendapat serangan dari pria itu tapi ia salah. Gordon malah berlari memasuki rumahnya. Dari kejauhan Smith mendengar Gordon tertawa keras dengan suara berat mengerikan. Tawa itu sukses mengusik hewan-hewan yang sedang beristirahat di tempat mereka. Burung-burung serempak beterbangan menjauhi asal datangnya suara.

Gordon tidak bersuara lagi setelah itu. Jadi Smith ke sana dan melihat yang terjadi. Tidak ada siapa pun di sana. Bahkan setelah Smith mencari ke setiap sudut ruangan. Yang sempat ia tahu adalah jendela terbuka dengan menyisakan sedikit ayunan dan bunyi derit. “Pastilah itu Gordon,” kata Smith yakin.

Hanya butuh beberapa menit untuk Smith tiba di dermaga. Dilihatnya Aloesse yang begitu panik melihat tiga manusia di depannya tak bergeming.

“Kita harus membawa mereka secepatnya,” terang Aloesse saat mengetahui kedatangan Smith.

Smith mengangguk. “Aku akan menghubungi orang tuaku di istana. Mereka akan membantu.”

***

Semuanya jadi gelap. Rasa sakitku tiba-tiba menghilang. Entah apa yang terjadi dengan rasa sakit itu. Yang pasti sekarang aku ada di ruangan putih, kosong, dan sepi. Aku sangat takut. Kupanggil nama Jerry, Mom, Stefan, dan Maureen. Tapi yang kudapat hanya kehampaan. Tak seorang pun terdengar menjawab.

Aku berjalan, tak tahu harus ke mana sambil terus meneriakkan nama-nama mereka. Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan atau harus kulakukan saat itu. Aku bahkan tidak bisa mencari tahu atau bertanya di mana aku berada sekarang. Siapa yang mesti kutemui? Atau bagaimana selanjutnya?

Sebuah suara samar terdengar di belakangku, membuat bulu kudukku berdiri. Aku belum berniat mencari tahu suara itu. Aku menunggu barang kali ada suara kedua yang terdengar lebih jelas. Aku berjanji akan berbalik jika sudah dapat kutangkap dengan jelas apa yang suara itu gaungkan. Hanya berjaga-jaga saja. Aku takut yang berbisik itu adalah hantu seperti yang ada di novel-novel horor yang pernah kubaca.

“PJ…” Nah, sekarang aku dengar dengan jelas apa yang suara itu maksudkan. Terdengar seperti… namaku… Suara itu menyebut inisial namaku: Patricia Juney, PJ. Hanya Dad dan Mom yang memanggilku seperti itu. Dan itu suara pria. Aku berbalik. Tidak ada siapa pun. Hanya ada cahaya putih yang menyilaukan. Mataku memejam. Lalu kubuka lagi saat menyadari cahayanya sudah melemah. Lapisan mata terluarku seketika meremang. Terasa basah dan berkaca-kaca. Sekali lagi aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Disana, ada… “Dad?” Aku berlari tapi ragu untuk  memeluknya. Sebutir air bening tanpa sadar jatuh membasahi pipiku. Disusul butir-butir yang mengalir tanpa aba-aba.

“Kau sudah besar, PJ.” Dad tersenyum tulus, sesuatu yang paling kurindukan darinya. “Aku sangat merindukanmu…” Dad mendekatiku. Ia tidak berubah. Masih sama seperti terakhir kali kulihatnya di rumah lama kami.

“Aku membencimu, Dad.” Begitulah yang kukatakan. meluncur begitu saja dari mulutku. Aku juga tidak percaya baru saja mengatakannya.

Dad menatapku heran. Tapi sedetik kemudian ekspresi wajahnya berubah 180 derajat. “Kau pantas membenciku. Maafkan aku, PJ. Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu.”

Hening menyela waktu di antara kami.

“Tapi aku juga sangat merindukanmu, Dad,” kataku akhirnya. Aku berlari memeluknya. Aku membasahi pakaiannya kukira.

Pandanganku jatuh tepat di depan mata abu-abu Dad yang terlihat sendu. Ada banyak perasaan yang saat ini bercampur dalam hatiku. Satu sisi aku sangat membencinya, aku ingin memuntahkan kemarahanku, kekecewaanku, dan kesedihanku untuk waktu-waktu dalam hidupku yang diisi dengan rahasia dan kebohongan besarnya. Tapi di sisi lain aku sangat merindukannya. Sangat-sangat menginginkan sosoknya ada di sisiku lagi. Aku tidak tahu, tidak mengerti dengan apa yang ada di hatiku. Haruskah aku membiarkan kebencianku merajai setiap bagian hatiku?

The Protecting Blood Where stories live. Discover now