42. Marshmallow: Familiar Scent

Start from the beginning
                                    

“Apa hubungan kalian dengan orang itu?” tanya Ranan lagi. “Bagaimana kalian yakin akan menemukannya?”

“Katakanlah dia komplotan kami yang lepas dari kandang. Dia pembunuh, dan juga ilmuwan dengan percobaan-percobaan khusus—meski bukan sosok penting. Empat tahun yang lalu, entah bagaimana dia kabur dengan minimnya jejak. Foto-foto lamanya tidak lagi berguna. Dia pasti melakukan operasi plastik entah di mana.”

“Apa yang akan kalian lakukan padanya?”

“Bajingan gila itu tidak boleh dibiarkan berkeliaran. Kami harus melenyapkannya.”

***
Air dari teko yang baru saja mendidih dituangkan ke mug. Wangi cokelat tercium. Seseorang yang menyeduhnya kemudian mengaduk. Ketika perlahan langkah kaki seseorang terdengar mendekat, dia tetap diam. Meski gelap, sudut matanya mengetahui seseorang itu berhenti pada pembatas dinding sekat. Dia pun terkesiap, tidak menyangka ada yang masih terjaga pukul dua dini hari begini.

Damar yang masih mengaduk cokelat panas buatannya kemudian menoleh lalu tersenyum pada Tiara.

“Nggak bisa tidur?” tebak laki-laki itu asal.

“Haus,” jawab Tiara sembari meringis.

Sementara Tiara salah tingkah karena memilih alasan yang kentara dibuat-buat, Damar menghampiri rak mengambil gelas. Dia lalu menuang air dingin ke gelas tersebut dan menyodorkannya pada Tiara. Damar tetap diam sementara Tiara menandaskan airnya.

“Kelihatannya kau yang tidak bisa tidur,” komentar Tiara yang kemudian duduk dekat sudut meja, sementara Damar di sisi yang lain namun tetap berdekatan.

“Mungkin,” balas laki-laki itu pendek setelah meletakkan sendok kecilnya pada alas mug.

“Kenapa?”

Mereka bersitatap. Damar meneliti lagi tiap detil di wajah gadis itu untuk kesekian kalinya. Pandangannya selalu memancar penuh keingintahuan. Kelopaknya selalu berkedip cepat, seolah menunggu sampai ada sesuatu yang akan membuatnya membelalak. Tiara nyaris tidak pernah bersikap tak acuh, sejauh Damar bisa ingat. Reaksinya cepat, entah itu sebagai respon pada kejadian di sekelilingnya, atau pun hanya sebatas berkomentar.

Dia seperti boneka yang sengaja dibuat untuk itu.

Boneka, hm?

“Semuanya pasti punya masalahnya masing-masing,” ujar Damar yang menangkupkan kedua tangannya pada cangkir panas. “Begitu juga aku.”

“Di sekolah?” tebak Tiara mengernyit. Damar tidak mungkin punya masalah saat di rumah. Di sini tidak ada yang mampu memancing kekesalan laki-laki itu barang sedikit pun. “Boys problem?”

Damar tertawa kecil.

“Mungkin.” Lagi-lagi jawabannya menggantung. “Tiara, kamu nggak pernah kepikiran kembali ke rumahmu yang dulu? Maksudku, sebelum kamu ke sini.”

“Oh..” Kening Tiara berkerut seperti sedang menimbang.

Damar tahu kalau Tiara termasuk dalam orang-orang yang senang menceritakan soal diri sendiri. Tapi entah kenapa beberapa kalipun Damar memancingnya untuk bercerita, Tiara seperti menciptakan dinding penghalang yang mencegah Damar tahu keseluruhannya. Dia boleh jadi bertingkah bodoh, tapi untuk beberapa alasan, Damar yakin Tiara jelmaan kancil pada dongeng anak-anak.

“Aku akan menceritakannya saja. Benar atau tidaknya, kau sendiri yang menebak,” katanya diiringi senyum lebar.

Nah kan?

“Aku seorang artis,” klaim Tiara yang lantas membuat Damar mengangkat alis. “Aku bernyanyi di banyak tempat, jadi bintang iklan, oh.. juga beberapa kali ikut syuting film meskipun belum pernah mendapatkan peran utama.”

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now