27. Bahagia

Mulai dari awal
                                    

Sebagai pengguna kursi roda, dari sekian banyak hal yang membuat tak nyaman saat berada bersama orang-orang, digendong adalah yang terparah. Orang akan segera melihat pantat yang tipis dan kaki yang kecil layu. Terlihat sekali ketidakberdayaannya.

Yasmina memandangnya dengan rasa bersalah. "Maafkan, rumahku nggak ramah buatmu," bisiknya saat mereka duduk berdampingan hanya berdua. Rosa, David, dan Beno sudah naik ke lantai dua untuk melihat kamar mereka.

"Nggak pa-pa. Itu risiko menjadi lumpuh," sahut Kukuh santai. Setelah kembali ke kampus, tak jarang ia minta digendong mahasiswa untuk mengakses area yang sulit. Mula-mula terasa menyiksa. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, digendong di depan umum tidak seburuk yang diduga.

Mereka bertatapan sejenak. Kukuh dapat melihat perubahan wajah Yasmina dari putih hingga merona merah muda.

"Kenapa? Aku terlihat aneh waktu digendong?" tanyanya dengan senyum lebar. Matanya tak lepas dari mata indah Yasmina.

Yasmina mendekatkan mulut ke telinga Kukuh. "Justru karena itu kamu terlihat seksi," bisiknya. Sejurus kemudian ia menghindar dari tatapan Kukuh karena malu bukan kepalang.

"Ha? Apa itu tadi?" Senyum Kukuh terkembang, begitu juga hatinya.

Mata Yasmina berputar ke atas dan wajahnya semakin merah. "Kamu unik karena kaki dan kursi roda ini," gumamnya hampir tak terdengar.

Kukuh tercenung. Ia baru menyadarinya. Ada orang menyukai pasangan berkulit gelap. Ada yang menyukai rambut ikal dan keriting. Ada yang bergairah karena wajah oriental. Mengapa tidak terpikir ada yang menyukai sosok berkursi roda dengan kaki kecil nan layu?

"Kamu gadis langka dan aku beruntung menemukanmu," bisik Kukuh.

Yasmina menggeleng. "Kamu salah! Akulah yang menemukanmu dan langsung ditolak mentah-mentah," rajuknya.

Wajah Kukuh memerah saat teringat betapa konyol kelakuannya dulu. "Waktu itu aku kan belum sewaras sekarang, Yas."

Yasmina terkekeh. "Mau lihat-lihat taman belakang?"

"Boleh. Ada apa di sana?"

"Dewi cinta Mesir," sahut Yasmina asal menyebut.

"Oh, menarik! Yuk!" Kukuh menjawab dengan semangat delapan enam. Ia meraih kursi rodanya mendekat, hendak memindahkan tubuhnya dari sofa ke alat bantu gerak itu.

"Perlu bantuan, Kuh?" tanya Yasmina.

Kukuh menoleh dan menemukan wajah ayu itu semakin menggemaskan saja. "Aku bisa pindah sendiri, tapi boleh kan sesekali aku manja padamu?"

"Boleeeh!" Yasmina bangkit, lalu membungkuk di depan Kukuh. Diraihnya ikat pinggang kekasihnya. Sementara itu, Kukuh melingkarkan lengan di leher Yasmina.

"Siap?" tanya Yasmina.

"Siap," bisik Kukuh. Kedekatan ini mengingatkannya pada dekapan Yasmina saat ia terpuruk di pekuburan dan ketika terserang demam berdarah. Darahnya berdesir cepat.

"Satu, dua, tiga!" Yasmina memberi aba-aba. Dengan sekali angkat, Kukuh berhasil dipindahkan dari sofa ke kursi roda.

Yasmina mengira, Kukuh akan segera melepaskan rengkuhan untuk memperbaiki posisi duduknya di kursi roda. Ternyata, Kukuh tetap lelaki normal yang darahnya bergolak saat menyesap aroma harum dan kehangatan tubuh kekasihnya. Yasmina tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja, ia sudah mendarat di pangkuan Kukuh.

"Ah, Kuh?" gagap Yasmina. Ia memang pernah memeluk Kukuh, namun saat itu kondisinya tengah lemah. Sedangkan Kukuh yang ia hadapi saat ini adalah seorang lelaki muda yang sehat dan penuh gairah hidup, lengkap dengan segala pesonanya. Ia langsung hanyut.

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang