1. Hari-Hari

14.1K 960 96
                                    




"Hari-hari yang sunyi, biarlah datang dan pergi
Mereka yang telah mati tak akan pernah kembali
Bergulirnya waktu tak sanggup menghapus kenangan
Hingga tersisa debu beku dalam kalbu
menantiku untuk bersatu."

Kukuh Arkatama

☆☆☆

Pagi yang sama seperti 815 pagi yang telah berlalu. Pagi yang dihiasi aroma pinus, cuit burung, serta deru aliran sungai di hutan kecil belakang rumah. Pagi yang hanya datang di dunia luar, bukan di dalam kalbu Kukuh.

Pagi seperti apa yang bisa dilalui oleh sepotong tubuh lumpuh ini? Bila orang lain bergegas memulai aktivitas, dirinya hanya tergolek di ranjang menanti uluran bantuan. Ia hanya bisa menggerakkan tangan yang juga lemah. Bahkan untuk duduk dari posisi tidur pun, ia harus dibantu.

Pagi juga berarti datangnya kesadaran dan ditinggalkannya alam mimpi untuk kembali ke dunia nyata. Rasa nyeri langsung menyambut. Kesemutan dan rasa tersayat pada tubuh dan kaki yang tak lagi bisa digunakan itu seolah abadi, selalu ada di sana. Anehnya, bila ia meraba bagian itu, ia tidak merasakan apa-apa. Barangkali otaknya merasa sayang untuk merelakan tubuh dan kedua kaki itu tergantung tanpa guna, sehingga menciptakan rasa nyeri itu untuk mengingatkan pemiliknya bahwa ia masih memiliki mereka.

Sambil mengerang, Kukuh berusaha memiringkan tubuh agar punggungnya yang telah pegal terbebas dari tekanan. Hanya gerakan kecil itu saja ia membutuhkan usaha berkali-kali. Tubuh bagian atas dan lengannya memang tak ikut cedera karena kecelakaan itu, namun berbulan berbaring telah membuatnya begitu lemah. Seolah tubuh bagian atas itu ikut membeku bersama dengan kelumpuhan dada hingga kaki.

Ah, lihatlah kedua kaki jenjang dan kokoh kebanggaan itu! Apa yang tersisa di sana selain dua tungkai terbalut kulit? Kaki-kakinya telah kehilangan otot, menyisakan kulit yang empuk dan menggelambir.

Lumpuh bukan berarti kaki-kaki itu tidak bergerak sama sekali. Kedua tungkainya tidak mau bereaksi bila diperintah otak, tapi bisa menendang-nendang sendiri semaunya. Kadang hanya berupa kedut-kedut, kadang gerakan tremor kasar atau sentakan. Tak jarang ia terbangun di tengah malam karena itu, atau bahkan tidak bisa tidur sama sekali. Mereka sudah mirip pemberontak yang menyusahkan.

Seseorang mengetuk pintu. Kukuh menyuruhnya masuk.

"Pagi, Mas," sapa Deni, asisten pribadi yang bertugas merawat di pagi hingga sore hari. Untuk sore hingga pagi lagi, ia punya Beno, asisten shift kedua. "Mandi sekarang?"

Kukuh mengangguk. Selanjutnya ia membiarkan Deni membuka celananya untuk memasukkan obat pencahar, membantu duduk, lalu memindahkan ke kursi roda, dan mendorongnya ke kamar mandi. Setelah itu Deni akan mengeluarkan peralatan berkemih. Ya. Ia hanya bisa berkemih dengan kateter sekarang. Begitu pula buang air besar, ia harus menggunakan obat. Ia kehilangan kontrol atas semua organ di bawah sana.

"Ada yang menunggu di depan," ujar Deni sambil merapikan peralatan. "Mau ketemu Mas Kukuh."

"Siapa?"

"Yang datang terus itu lho, Mas, yang cantik banget." Senyum manis penuh arti terulas di bibir Deni.

"Suruh dia pulang," ujar Kukuh sambil membuang muka.

"Mbak itu gigih banget. Ditolak siang, datang sore. Ditolak sore, datang malam. Ditolak malam, datang pagi buta."

Kukuh diam saja. Ia tidak mau peduli.

"Tadi Bu Yeni bilang, kali ini mbak itu tidak akan pulang kalau tidak ketemu Mas Kukuh."

Kukuh melirik asisten yang tengah membalurkan sabun ke tubuh dan rambut. Ia pikir Deni hanya menggoda, seperti yang sudah-sudah. Tapi raut wajah lelaki itu tampak serius.

"Dia ngotot mau bertemu Mas Kukuh. Bu Yeni sampai kewalahan menghadapi."

Kukuh menikmati guyuran air hangat yang melarutkan sabun. Bagian tubuh yang tidak lumpuh menjadi berlipat kali lebih peka. Mungkin secara alamiah, saraf-sarafnya mengkompensasi kehilangan sensasi di bagian yang cedera ke sisi atas, di tempat yang normal. Sensasi guyuran air itu terasa berkali-kali lebih menyenangkan. Hanya kenyamanan kecil itu yang bisa ia rasakan saat ini.

"Daripada diteror terus, apa nggak lebih baik ditemui saja, Mas? Lagian orangnya cantik banget, enak dipandangi," suara Deni lagi.

"Suruh dia pulang," jawab Kukuh dingin.

Deni tidak berkata-kata lagi. Setelah merawatnya hampir setahun, ia paham gelagat Kukuh. Lelaki itu tidak mau dibantah.

Rutinitas membantu Kukuh itu berakhir setelah Kukuh selesai berpakaian dan sarapan. Sebuah over bed table beroda yang cukup besar ditarik ke hadapan Kukuh. Ia mengatur posisi tempat tidur agar Kukuh bisa bekerja dengan laptop di meja itu.

"Ditunggu atau ditinggal, Mas?"

"Ditinggal saja."

Deni merasa pilu menyaksikan kondisi lelaki kurus di depannya. Seandainya ia lebih bersemangat, barangkali nasibnya akan berbeda. Lelaki itu seolah kehilangan nyawa. Diam dan dingin. Kata Bu Yeni, walau sesungguhnya Kukuh itu seorang yang hangat, ia memang tidak banyak bicara. Setelah kecelakaan itu, kehangatan sirna dari diri Kukuh, membuatnya sedingin gunung es dan semakin pendiam.

Cara kerja semesta terkadang membingungkan. Lelaki ini memiliki segalanya; uang berlimpah yang bisa ia gunakan untuk membeli pulau seperti membeli makan siang, ketenaran, dan kepandaian karena Kukuh memiliki gelar doktor, serta wajah tampan yang diakui semua wanita dan lelaki. Namun, semesta mengambil kakinya. Sungguh, sebuah keseimbangan yang aneh.


☘☘☘

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☘☘☘

Genks, Yasmina ini adalah satu dari tiga naskah aku yang bertema disability awareness. Judul yang lain adalah:

- Ibu untuk Bitha

- KH 12225 AR versi novel dan KH 1225 AR versi doubleshot.

Yuk jumpa dengan kehidupan mereka yang menyandang disabilitas.

Jangan lupa vote dan komen, serta share kisah ini.

Jadwal up sewaktu-waktu. Masukkan library biar nggak ketinggalan update.

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang