18. Kairo

2.2K 214 77
                                    

Setiba di Kairo, Yasmina dan Rosa segera menemui sang ayah dan diminta menceritakan apa yang terjadi selama mereka di Indonesia. Di teras rumah yang menghadap ke taman belakang, Yasmina terlihat berseri. Sungguh berbanding terbalik dari saat ia berangkat dahulu.

Reaksi pertama Ibra Adam, sang ayah, adalah, "Kalau tahu begini, Papa nggak izinkan kamu ke Jakarta. Kakekmu itu kadang keterlaluan."

Walau pedas, kata-kata Ibra kental dengan rasa sayang. Ibra memiliki tinggi 184 cm dan berkulit kemerahan yang diwariskan ke Rosa. Wajah tampan–dengan rahang tegas dan mata elang yang dinaungi bulu mata lentik–semakin memantapkan karismanya. Tak ada yang lebih dikagumi dan dituruti Yasmina selain sang ayah.

"Aku nggak menyesal datang ke sana," kilah Yasmina sambil tersenyum tenang.

"Papa yang menyesal, Yas!"

"Kukuh baik, kok."

"Dari mana kamu yakin? Kalian baru beberapa hari kenal."

"Jangan begitu, ah! Papa menganggap dia seperti musibah. Dia juga lelaki seperti lelaki lain."

Ibra memandang putrinya dengan iba. "Apa nggak ada orang lain yang fisiknya sempurna, Yas?"

"Papa!"

"Papa bicara logis saja. Kamu sekarang sedang mabuk kepayang. Apa pun terasa indah. Bagaimana sepuluh tahun lagi? Dua puluh tahun lagi? Apa kamu juga masih melihat dia seindah sekarang?"

"Dia punya masalah seksual karena kelumpuhan itu," timpal Rosa.

Yasmina langsung mendelik ke saudara kembarnya.

"Nah, tuh! Apalagi itu! Papa khawatir dengan kamu, Yas. Saat rasa kecewa itu datang, kalian akan menjadi dua orang yang saling membenci."

Yasmina membuang muka. "Entahlah. Tapi rasanya aku harus ke Jogja untuk mencari tahu."

"Yas, Papa minta kamu pertimbangkan matang-matang sebelum membuat keputusan."

"Pa, aku sudah lelah dengan urusan mencari pasangan," bisik Yasmina lirih. "Izinkan aku menyelesaikan yang satu ini. Kalau gagal juga, aku akan pergi ke biro jodoh."

"Astaga!" rutuk Ibra.

"Sewaktu Papa merawat Mama yang sudah nggak bisa apa-apa selama bertahun-tahun, apa Papa menyesal telah menikahinya?"

"Enggak, dong! Mama itu ibu kalian, orang yang melahirkan kalian. Kenapa Papa menyesal?"

"Aku juga akan seperti itu saat menikah nanti, Papa," jawab Yasmina dengan senyum lembut penuh keyakinan.

Rosa langsung manggut-manggut sambil mengacungkan kedua jempol. Ibra hanya bisa menghela napas berat.

"Pa, ada yang ingin aku tanya," tanya Yasmina beberapa saat setelah menimbang peringatan Kukuh tempo hari. "Ada yang memberitahuku untuk menjauh dari bisnis Kakek. Sebenarnya ada apa dengan bisnis Kakek?"

Ibra tampak tertegun karena pertanyaan itu. "Siapa yang memberitahumu?"

Yasmina tidak mau menjawab.

"Anak Gunawan itukah?"

"Namanya Kukuh Arkatama, Papa," protes Yasmina.

"Jangan mudah percaya, Yas. Apalagi yang bicara itu seteru kakekmu."

"Mereka seteru? Bukannya partner?"

Ibra menggeleng. "Papa juga kurang jelas. Tapi Papa setuju dengan anak itu. Ada baiknya kamu nggak terlibat dengan bisnis Kakek."

"Ck! Papa ini bicara mengambang."

Ibra terkekeh. "Selesaikan satu-satu katamu, 'kan? Nah, gimana nasib proposalmu?"

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang