4. Siluet

6.4K 628 35
                                    



Siluet tubuh Yasmina yang tengah memainkan biola di ambang teras, dengan latar taman dan hutan pinus, serta terbingkai lengkung teras yang terbuat dari batu alam, menyentak kesadaran Kukuh bahwa ia tidak sendiri. Seseorang hadir di rumahnya dengan cara yang ajaib.

Deni dan Yeni bergerak hendak menyapa Yasmina, tapi Kukuh menahan mereka dengan isyarat tangan. Ia ingin lebih lama mengamati pemandangan itu tanpa terganggu. Kedua asisten setia itu pun meninggalkan Kukuh sendiri.

Permainan biola Yasmina masih berlangsung. Rupanya gadis itu telah tenggelam dalam alunan nada-nada sehingga tidak menyadari kehadiran seseorang. Tubuhnya meliuk ringan mengikuti irama biola. Saat lagunya berakhir, ia membalikkan badan, dan menemukan siapa yang berada di seberang.

Sejenak gadis itu tertegun. Kukuh ternyata kurus sekali. Kulitnya pucat, dan wajahnya tirus. Sorot matanya menyiratkan penderitaan yang dalam.

Yasmina menyapanya dengan sopan, kemudian mengambil tempat duduk yang sejajar dengan Kukuh. Ia masih mengingat indoktrinasi Irawan tempo hari.

"Tata krama saat berkomunikasi dengan pengguna kursi roda," baca asistennya itu. "Satu. Jangan membuat lehernya pegal dengan mendongak memandangmu. Carilah tempat duduk yang tepat agar ketinggian mata kalian sejajar.

"Dua. Jangan memegang kursi roda tanpa izin pemiliknya. Kursi roda dan alat bantu lain adalah perpanjangan tubuh sang pemilik. Tentu saja, kamu tidak boleh sembarangan memegang tubuh orang lain, bukan?

"Tiga. Dilarang mendorong kursi roda tanpa diminta. Kamu tidak tahu kebutuhan pergerakan mereka. Salah-salah kamu justru membuat mereka terjatuh."

Yasmina harus mengakui kecakapan asistennya itu.

Kukuh telah berada di hadapannya kini. Lelaki itu dulu seorang dosen, musikus dan penulis buku yang tenar. Tulisan dan lagunya menyiratkan energi tegangan tinggi. Tak disangka, ia justru menjadi seorang yang begitu dingin sekarang. Dingin sekali seakan tidak hidup.

"Maaf, saya memainkan biola tanpa izin," katanya santun untuk membuka komunikasi.

Kukuh hanya mengangguk kecil tanpa senyum. Sesudah itu hening. Mereka hanya berdua saja setelah Yeni dan Deni menyingkir. Tampaknya lelaki itu tidak berniat berbicara sama sekali. Saat Yasmina mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri, lelaki itu hanya menyambut sekilas tanpa balas menyebutkan nama.

Yasmina tersenyum penuh pengertian. Tampaknya ia tidak bisa langsung ke pokok masalah. Di balik kebencian yang sangat, tersembunyi kerinduan yang dahsyat, bukankah begitu teori sang kakek?

"Ah, suasana di sini sangat indah. Saya jadi lupa untuk apa saya ke sini," ujarnya dengan bibir bulatnya yang meringis. Tampaklah dua gigi seri besar mirip gigi kelinci yang menambah indah bibir itu.

Kukuh tetap tidak bereaksi.

"Boleh saya mainkan satu lagu lagi?"

Ia ingin bersorak saat Kukuh mengangguk kecil. Ia segera melantunkan lagu sambil sesekali meneliti reaksi Kukuh.

Lelaki itu memandang kosong ke arah lain. Biarpun kurus dan pucat, garis wajah lelaki itu sangat indah. Hidungnya mancung, alisnya tebal, bulu matanya panjang, dagu dan rahangnya tegas. Kaus berkerah berwarna biru tua dan celana jeans dengan warna senada semakin memancarkan ketampanan lelaki itu.

Tahu-tahu hati Yasmina berdesir. Gerakan dawai biola sempat terpeleset karenanya. Cepat-cepat, ia kembali berkonsentrasi.

Diam-diam Kukuh menikmati suasana itu. Benar kata Deni, perempuan bernama Yasmina ini sangat cantik. Rambut kecoklatan dan kulit putih bersihnya sangat serasi dengan gaun hijau tosca yang dikenakan. Kulitnya begitu putih, hingga ujung-ujung jemari yang memainkan biola tampak jelas kemerahan. Begitu pula pembuluh-pembuluh darah terlihat membayang di lengan dan pipi.

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang