8. Di Mobil

3.8K 334 37
                                    

Di mobil, Kukuh kembali muntah-muntah. Kedinginan, nyeri kaki, dan kepala berputar menyerang bersamaan, membuat kekuatannya berada di titik terendah. Yeni memijat leher dan membersihkan sisa muntahan pada baju Kukuh. Ia tidak bertanya apa-apa. Sudah kesekian kali Kukuh pergi sendiri ke pekuburan dan selalu berakhir dengan kepala pening dan keringat dingin, terkadang juga disertai muntah-muntah seperti ini. Pernah Kukuh minta diantar dan ditinggalkan di sana. Saat ia jemput, Kukuh tergolek menelungkup di nisan sang ibu. Sampai di rumah, Kukuh segera dimandikan, diberi baju hangat dan minuman hangat, serta dibaringkan dan diselimuti. Ia tidak bicara sedikit pun.

"Bagaimana sekarang, Mas? Masih mual?" tanya Beno.

Kukuh menggeleng. "Tolong, ipod," pintanya. Mendengarkan lagu adalah salah satu cara untuk meredakan nyeri.

Beno membuka salah satu laci nakas, lalu mengambil benda yang dimaksud. Saat Beno melakukan itu, Kukuh mengerling pada isi laci yang lain, sebuah dompet kulit berwarna biru tua yang cukup besar tempat ia menyimpan senjata secara diam-diam. Salah satunya adalah sebilah belati. Sebenarnya ia malas sekali berhubungan dengan benda-benda semacam itu. Namun, dalam situasi tidak menentu seperti saat ini, rasanya ia perlu bersiap bila terjadi hal yang tidak diinginkan. Ia bahkan menyembunyikan lebih dari satu senjata di kamar itu.

Beno menemani di sisi pembaringan Kukuh malam itu. Entah mengapa, ia merasakan firasat tidak baik. Kukuh mengigau beberapa kali. Beno menjaga dan mengeceknya secara rutin. Baru selepas puncak malam, tidur Kukuh mulai tenang. Beno akhirnya bisa lega saat fajar datang tanpa terjadi hal yang buruk.

Ia memperbaiki posisi selimut Kukuh sebelum meninggalkannya. Ia sudah merawat banyak pasien serupa. Biasanya mereka temperamental. Ini salah, itu salah. Sedikit-sedikit tersinggung dan mengambek. Keluhannya banyak sekali.

Kukuh sangat berbeda. Sepanjang ingatannya, ia belum pernah dimarahi lelaki ini. Bicaranya juga sopan dan tidak banyak permintaan. Ia juga tidak berkeluh kesah. Selain menolak keras bertemu orang, dan ngotot pergi ke pekuburan sendirian, tidak ada yang direwelkannya. Ia menyimpan segala kesakitannya dalam hati.

Beno terenyuh. Wajah yang tertidur itu menyimpan derita. Sampai kapan ia sanggup menahan semuanya seorang diri? Andai ia mau berbagi duka, dengan mbak-mbak cantik yang mengejarnya itu misalnya ....

☆☆☆

Sepanjang hari itu, Kukuh hanya berbaring saja.

"Mbak Yasmina mau ketemu. Mas bersedia?" tanya Yeni di samping pembaringan.

Kukuh hanya menoleh sekilas, kemudian mendengkus halus. Yeni tahu, itu artinya tidak. Ia mengeluarkan ipod dari saku. "Ini titipan dari Mbak Yasmina. Katanya rekaman permainan biola. Saya taruh di nakas ini ya, Mas."

Kukuh mengangguk kecil. Yeni tersenyum, lalu meninggalkannya sendiri. Saat telah sendiri, Kukuh melirik ipod itu. Ia penasaran, lalu memutarnya. Rekaman buatan sendiri itu cukup bagus. Suara biola Yasmina terdengar bening.

Indah, hanya itu yang dapat ia sebutkan untuk mewakili kualitas permainan Yasmina. Ia memejamkan mata seraya membayangkan sosok Yasmina sedang berada di kamar itu, memperdengarkan lagu khusus untuknya . Ah, andai hal itu benar terjadi ....

Kukuh mendengarkan rekaman itu hingga habis. Di akhir playlist, ia menemukan dirinya benar-benar remuk. Lagu pemberian seseorang yang spesial seharusnya membahagiakan, bukan? Apalagi lagu-lagu itu adalah lagu pilihan yang menyemangati. Mengapa hatinya justru begini?

Kukuh menghela napas. Waktunya akan tiba....

☆☆☆

Apartemen sewaan yang ditempati Yasmina dan timnya sedang sepi. Dian dan Irawan tengah keluar memantau keadaan sekitar rumah Kukuh. Didu dan Marcel keluar untuk mencari makan. Tersisa ia dan Bima yang bergelut dengan data-data. Beruntung, kabar baik datang dari adik kembarnya.

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang