Chapter 34 - Aku (tidak) Mati

Mulai dari awal
                                    

Di basement pasti ada tali. Dan kupikir pagar di tangga bisa dijadikan pangkal ikatannya. Dan itu cukup kuat menopang tubuhku. Tidak ada salahnya mencoba.

***

Beberapa kali Charly membunyikan bel yang terpasang di tepi pintu rumah Patricia. Tidak ada jawaban. “Ada apa dengan gadis itu?” pikirnya dalam hati dibarengi perasaan yang semakin tidak enak. Ia memutar gagang pintu yang tampak membeku ditiup angin musim dingin. Pintu terkunci. Jadi ia terus membunyikan bel di sana. Tapi tetap sama. Tidak ada jawaban dari Patricia. Akhirnya ia menunggu di depan pintu. Ia tahu Patricia tidak mungkin setega itu padanya. Meski gadis itu sudah tahu semua tentang rahasianya, ia tahu ada cahaya di matanya yang diam-diam mengatakan ‘aku mulai menyukaimu’. Tentu saja ia bisa melihatnya. Ia hidup sepuluh tahun lebih dulu dari gadis itu. Dan ia tahu itu dari sikap adiknya, Elena.

Terdengar bunyi derak yang cukup keras dari dalam rumah. Sesuatu baru saja jatuh. Sesuatu dengan massa yang cukup berat. Barangkali sebuah kursi yang guling. Tapi dalam hatinya menggedor-gedor seperti cacing yang dimasukkan dalam oven bersuhu tinggi. “Aku takkan memaafkan diriku jika sampai terjadi sesuatu dengan gadis itu,” kata Charly disertai gebrakan di pintu. Pintu menjeblak dan yang ia dapati adalah pemandangan yang paling tidak diinginkannya seumur hidup. Tubuh gadis itu menggantung di bawah tangga, menggeliat-geliat mencoba melepaskan ikatan di lehernya sendiri.

Sekujur tubuh Charly seketika memanas dan bajunya robek di sana-sini. Ia mulai berubah dan mengambil wujud hyena-nya. Ia melompat tinggi dan menggigit tali yang menjerat leher gadis itu. Tali begitu mudahnya putus dengan gigi-gigi tajamnya. Patricia jatuh. Tapi sebelum sempat gadis itu menyentuh lantai, Charly menangkapnya. Dan gadis itu kini terkulai lemah di punggung hyena-Charly.

***

Aku pasti sudah mati.
Rasa sakitnya sudah menghilang. Dan seberkas ilusi menampakkan seorang pria bertelanjang dada sedang menggendongku.
Aku pasti sudah mati karena kukira itu adalah Charly.
Aku pasti sudah mati.

***

Kutemukan diriku sedang berbaring di tempat tidur. Tubuhku tertutup selimut sampai ke depan dada. Ada bau salep yang seketika menguar di ruangan ini. Aku melihat dari ujung mataku ke arah jendela. Tirainya menutup. Tidak ada cahaya juga dari luar. Apakah ini artinya sudah malam?

Aku bergerak sedikit. Leherku sakit bukan main. Dan tiba-tiba saja aku ingat. Aku baru saja mencoba bunuh diri. Tapi sekarang aku di sini. Di kamarku dengan keadaan yang sangat mengenaskan: leher kaku dan suaraku tidak bisa keluar. Tubuhku juga kompak terasa pegal dan kebas. Sudah berapa lama aku di sini? Dan siapa yang menggagalkan niatku?

Gagang kunci memutar. Dan kuingat terakhir kali kulihat sosok Charly sebelum aku tidak sadar dan berada di kamar ini. Jadi mungkin itu adalah ia, yang menyelamatkanku. Dan mungkin juga yang akan segera kulihat di balik pintu.

Masih tanpa menoleh, aku harap itu bukanlah Mom.

“Juney? Kau sudah sadar?”

Tebakanku meleset jauh. Itu adalah Jerry. Tapi mataku tidak percaya. Aku ingin melihatnya! Dan itu membuatku mengerang cukup keras. Kali ini aku berhasil bersuara.

“Jangan paksakan dirimu.” Jerry menghampiriku. Ia duduk tepat di samping tubuhku, di tepi tempat tidur.

“Kau yang melepaskan talinya?”

“Tali apa?” tanya Jerry bingung. “Mrs. Edellaine mengirimiku pesan bahwa kau baru saja jatuh dan lehermu tertimpa pajangan di dinding tangga. Ia bilang harus pergi untuk urusan keluarganya. Jadi aku langsung kemari dan melihatmu yang terbaring di tempat tidur.”

Aku mengerutkan dahi. Mrs. Edellaine? Leherku tertimpa pajangan dinding?

“Kau terlihat sangat kacau, Jun,” sambung Jerry lagi.

Aku tersenyum kecut.

“Beristirahatlah. Aku akan menjagamu sampai Mom kembali. Lagi pula Mama dan Papaku belum akan pulang malam ini.”

“Terima kasih,” kataku tanpa suara. Pita suaraku pasti terganggu karena tekanan tali itu.

Aku seratus persen yakin baru saja melakukan percobaan bunuh diri. Dan seseorang menghentikanku. Tapi apa benar itu Mrs. Edellaine? Kupikir itu tidak mungkin karena  yang kutahu ia tidak akan sanggup menahan bobot tubuhku yang lebih berat darinya. Ia hanya nenek tua kurus yang akan panik dan segera menelepon ambulans jika melihat kecelakaan kecil saja.

“Sebenarnya aku membeli beberapa burger untukmu. Tapi mengetahui kau sedang begini, jadi kubuatkan saja bubur. Apa kau mau? Aku bisa membawakannya untukmu, Jun.”

Jerry dan segala kekhawatirannya. Inilah ia yang sebenarnya.

“Aku belum lapar,” kataku kemudian. Ajaibnya suaraku mulai kembali lagi.

“Jangan bohong padaku. Di dapur tidak ada piring kotor. Kau pasti belum makan.”

Seteliti itu juga Jerry.

“Oke,” balasku sambil tersenyum mengalah.

Malam itu dengan sangat-sangat terpaksa, kuhabiskan waktu berdua saja dengan Jerry. Dan parahnya adalah kami ada di kamarku. Tapi sumpah kami tidak melakukan apa-apa. Maksudku, bukan sesuatu yang Mom khawatirkan tentang kami.

Jerry duduk di kursi belajarku sambil bercerita tentang harinya di kampus. Ia tampak bersemangat merangkai bagian demi bagian dalam mahakarya lisannya. Aku tahu ia sedang menghibur diri dari ketakutannya kehilangan diriku. Ini bukan tentang perasaanku yang selalu saja terdengar terlalu percaya diri, tapi ia pernah mengatakannya padaku saat umur kami tujuh belas. Sejak hari itu aku selalu memperhatikan apa yang ia lakukan saat-saat semacam ini. Aku jadi hapal. Dan sebenarnya ia tahu aku masih mengingat kata-katanya itu. Tapi kami punya rahasia masing-masing agar suasana seperti ini tidak mudah hilang. Karena yang kutahu, kami sama-sama menyukainya.

Sesekali aku berkata ‘ya’ dan ‘tidak’ saat Jerry bertanya, “Apa kau tahu si-anu?” Dan kemudian ia meneruskan ceritanya. Dan begitulah. Ia bercerita, aku mendengarkan.

Bahkan sampai aku tertidur.

***bersambung***

Menurut kalian ini cerita akhirnya gimana sih ? Coba kasih tau aku dong hehe. Siapa tau ada yg bener wkwkwk :v

The Protecting Blood Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang