- 8 -

278 122 9
                                    

"Nak, bisa tolong ambilkan kisi-kisi di fotocopy depan sekolah?" tanya Ani, kepada Thania dan Nindi yang sedang berdiri didepan meja guru, karena sudah selesai ulangan lisan. Thania dan Nindi pun mengangguk, dan segera keluar dari ruang kelas yang ribut ini.

Kelas X IPS 3 memang sudah diperbincangkan oleh guru-guru disekolah ini, terutama guru yang pernah mengajar atau sekedar menasehati kelas ini. Kelas ini walaupun muridnya berjumlah 36 orang, tapi ramainya seperti pasar di pagi hari. Banyak guru-guru yang sering enggan mengajar dikelas ini karena ribut dan tidak bisa diatur. Bahkan saat baru seminggu masuk, wali kelas X IPS 3 sudah menangis didepan kelas karena kelakuan anak-anaknya.

"Gila ya!" seru Nindi, sembari menuruni anak tangga bersama dengan Thania disampingnya. "Gue baru stock isi tempat pensil gue, tapi udah ilang semua! Sisa pulpen satu, sama pensil. Maling dikelas kita emang banyak!" lanjutnya mengeluh dengan tangan-tangan usil yang berkeliaran dikelasnya.

"Pasti lo tinggal di meja deh!" seru Thania.

"Iya sih..." jawabnya menggaruk kepalanya, "Tadi lho, pas kita maju kedepan ulangan lisan Ekonomi, pas gue pengen ngambil correction tape, tempat pensil gue udah kebuka, dan isinya rata-rata ilang!"

"Makanya, sekolah gak usah ribet-ribet bawa tempat pensil, cukup satu pulpen aja!" tutur Thania. Begitulah dirinya, gak pernah bawa tempat pensil, hanya satu pulpen yang selalu ada didalam tasnya. Bukannya malas, tapi banyaknya maling dikelasnya buat dirinya merasa dirugikan kalau membawa tempat pensil yang isinya banyak.

"Pasti ulahnya Richard sama Herlambang! Siapa lagi coba kalo bukan mereka!" tuduh Nindi, Thania tertawa kecil mendengar keluhan Nindi yang bisa dibilang berisik itu.

Thania mengangkat kedua bahunya, "Ya, siapa lagi kalo bukan mereka?"

***

Thania dan Nindi membawa setumpuk kertas yang ada dikedua tangan mereka, kisi-kisi yang cukup berat, bayangkan aja satu kisi-kisi bisa 15 lembar, dan mereka membawakan untuk 36 murid. Bisa patah tangan mereka berdua itu. Mereka berjalan kembali ke area sekolah yang jaraknya sekitar 20 meter dari tempat fotocopy.

"Emang nih, Bu Ani, ngomong gak pernah jelas, kita disuruh bawa ginian coba!" keluh Thania, merasa tangannya sudah merasa sakit karena membawa kertas sebanyak itu. "Kenapa harus kita yang disuruh deh? Kan yang lain ada padahal." lanjutnya.

"Siapa tau aja kita dapet nilai tambah Than!" seru Nindi, "Tapi sih, masih kemungkinan aja kalau dia gak pelit kasih nilai." lanjutnya. Thania mengangguk mendengar Nindi.

Mereka berjalan melewati warung kopi yang cukup ramai, rata-rata yang duduk adalah murid dari sekolah Thania, dia melirik warung kopi itu dan mendapati, Dimitri dan Jovian yang sedang me-rokok didekat jalanan, sambil mengenakan jaket. Jovian merasa dengan kehadiran Thania yang melintas didepannya. "Thania!" panggil Jovian, Thania dan Nindi pun menghentikan langkahnya dan menoleh kesamping.

"Apaan?" tanya Thania, "Bukannya sekolah, malah nongkrong disini!" seru Thania, melihat abangnya sedang menegak segelas kopi hangat yang ada dihadapannya.

Mata Jovian tertuju kepada sosok yang sedang berdiri dibelakang Thania, membuat Thania penasaran dan menolehkan kepalanya, Kevin. "Woy, Vin! Sini lah, dari tadi gue tungguin juga!" panggil Jovian, Kevin melangkahkan kakinya melewati Thania dan tersenyum kepada perempuan itu.

"Susah cabut gue tadi, pelajarannya si Manurung!" jawab Kevin. Manurung adalah salah satu guru killer yang ada disekolah ini, dia mengajar Matematika. Gak ada satu pun murid yang suka dimarahi oleh dirinya. Kevin melihat Thania yang mematung didepannya, "Thania, ngapain disini?" tanya Kevin.

Bad LuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang