"Mana ada orang niat minggat yang malah bisa dihubungi?" Abe menyindir.

"Hapenya ketinggalan di kamar," kata Susan.

Mereka semua kompak mendesah.

Logan tidak sengaja sedikit mendongak saat menyadari sesuatu bergerak di lantai atas. Dia lalu menepuk bahu Yanet sehingga gadis itu pun menoleh ke arah yang sama. Di sana Tiara terlihat menuruni tangga dengan matanya yang menyorot kosong. Begitu dia memijak di lantai paling dasar, Yanet segera menghampiri.

"Kau baik-baik saja?"

Tiara beralih memandang Yanet. Dia tidak mengatakan apa pun, melainkan tersenyum samar. Kakinya kemudian melangkah lagi meninggalkan yang lain dalam atmosfer yang kaku.

***
"Dia sudah tidak pergi ke sekolah tiga hari. Hanya berdiam di kamar, melamun, dan hanya keluar waktu butuh toilet."

Gadis itu tersenyum sambil mengiris-iris melon menjadi dadu-dadu kecil. Sebelumnya, dia menerima panggilan masuk, dan memilih membiarkan ponselnya tersambung setelah menaikkan volume suara maksimal tidak jauh dari talenan. Beberapa saat, si Penelepon terus memaparkannya sementara gadis itu belum ingin merespon apa pun.

"Dia membutuhkanmu—kamu yang paling tahu itu." Irene berucap pelan. "Aku kasihan sekali melihatnya. Apa kamu tahu sewaktu mamamu sedih, orang-orang di sekelilingnya juga akan ikut bersedih?"

Jari-jari Viola berhenti menggerakkan pisau. Butuh waktu hitungan detik sebelum Irene mendengar lagi suara ketukan benda tajam itu beradu dengan permukaan talenan kayu. Kata-katanya tadi pastilah bermakna sangat dalam untuk si Gadis yang mulanya enggan peduli.

"Jenguklah dia, bibi mohon," kata Irene lagi. "Sungguh, sampai sekarang bibi tidak mengerti kenapa kalian tidak pernah mencoba bersandar satu sama lain."

"Aneh sekali." Viola tertawa sekilas. "Aku pikir bibi tahu."

Hening. Masing-masing mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sehingga tidak ada lagi yang berbicara. Viola memasukkan irisan melonnya ke dalam wadah saat Irene berucap untuk yang terakhir kalinya malam itu.

"Malam, Nak."

Kemudian sambungan diputus.

Viola beralih pada setumpuk stroberi untuk mengirisnya menjadi tiga bagian. Dia tampak tenang, namun sebenarnya dalam hatinya keruh.

Why am I doing this? Dia bertanya membatin. Irene tidak perlu memberi nasihat supaya Viola ingat pada orang yang mereka bicarakan tadi. Banyak yang berkata apabila salah satu kembar mengalami sesuatu hal, maka kembar yang lain juga akan merasakannya. Jeritan, rasa sakit, kemarahan.. Viola sudah berulang kali mendengarnya. Dan belakangan firasat itu terus-terusan timbul sehingga konsentrasinya ketika berada di ruang musik seketika terpecah.

Apa yang dialami Tiara beberapa waktu yang lalu adalah murni akibat perbuatannya sendiri. Mengenal sifatnya yang tidak berubah, gadis itu pasti akan lari. Hanya saja dia tidak punya tempat berlindung. Tiara tidak pernah ingin lagi menginjakkan kaki di rumah mereka. Ketakutannya bersumber pada satu orang yang bisa saja muncul mendadak—tanpa pemberitahuan.

Pada akhirnya Tiara tidak tahu kalau usul Viola yang menyarankannya tinggal di rumah Irene, sebenarnya berasal dari ide orang itu—sosok yang mereka sebut ayah.

Kenapa aku? Viola bertanya lagi. Kenapa harus aku?

"Kenapa kau tidak memberitahuku?"

Viola seketika tersentak. Gadis itu sontak menoleh ke belakang, mendapati Amarta melemparkan pandangan penuh makna. Menghela napas panjang, Viola memutuskan menyerah. Tidak ada gunanya mencari-cari alasan jika Amarta sudah bersiap menodongnya dengan berbagai macam pertanyaan.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now