17. Rainbow Cake: Killed Pawn

Start from the beginning
                                    

Gadis itu meronta. Namun jerat kawat nilon tambah erat pada leher. Pandangannya mulai buram. Darah dan oksigen tidak lagi bisa tersalur. Dia sempat mencoba melepaskan jerat, namun yang ada, kuku gadis itu melukai lehernya sendiri. Kurang dari semenit—hanya dalam waktu singkat, gadis itu tidak lagi bernapas.

Jerat tadi mengendur, membuat tubuh Bertha terkulai dan terbaring. Sepasang mata yang memperhatikan gadis itu hanya menyorot kosong.

***
Saat cahaya matahari yang menguat menyeruak masuk bahkan menembus tirai, saat itulah Tiara mengerang sebelum membuka mata. Selanjutnya meski enggan, gadis itu menyalakan ponsel untuk melihat jam. Pukul tujuh lebih tiga belas menit. Ini hari Minggu, jadi tidak masalah meski dirinya bangun siang. Mungkin sebagian anak-anak yang lain juga sama.

Tiara tertegun ketika menemukan chat Bertha tertumpuk oleh chat yang lain. Ketika membukanya, gadis itu tertegun sesaat.

Aku sakit. Kau mau menjenguk?

Apa itu sungguhan? Tiara mengerutkan kening sembari menimbang. Sebenarnya bukan hanya pemberitahuan chat yang muncul, tetapi juga satu pemberitahuan email masuk yang berisi lampiran. Hanya saja Tiara langsung menghapusnya.

Memasukkan ponsel itu ke saku baju tidur, Tiara kemudian keluar kamar. Ternyata dapur telah ramai. Ada Irene dan Susan yang tengah mengoleskan selai ke roti bakar, Abe dan Bagas yang saling melempar kacang ke mulut satu sama lain, Damar yang sedang menggoreng telur meski kedapatan beberapa kali menguap, juga Logan yang push up.

"Pagi, Tiara," sapa Irene ditambah senyum cerah. "Sini! Duduk sini!"

Tiara mengangguk. Bersamaan ketika dirinya duduk, Susan mendorong sepiring roti selai padanya, sedangkan Irene memberikannya secangkir susu cokelat. Sementara dua perempuan itu bercakap, Tiara memperhatikan Irene yang sedang mengupas apel. Baru beberapa saat kemudian, Irene sadar kalau tengah dipandang.

"Kenapa?"

Tiara menekan-nekan layar ponsel lalu menyodorkannya pada Irene

Aku suka melihat bibi.

"Oh ya?" Irene tersenyum senang. "Kenapa? Apa karena bibi tetap cantik meski belum dandan?"

Tiara mengetikkan sesuatu lagi untuk menjawab. Dia pun menunjukkan lagi tulisan pada layar. Hanya saja kali ini, senyum Irene menghilang.

Mirip seperti mama.

Wanita itu sempat terpaku untuk beberapa detik sebelum balas memandang Tiara lagi. Mengabaikan Tiara yang mengerjap heran, Irene meneliti tiap detil pada wajah gadis itu. Mata yang jernih seperti permukaan danau saat senja mengingatkannya pada seseorang yang tidak akan pernah Irene lupakan.

"Kamu yang jauh lebih mirip mamamu, Nak," kata Irene kemudian seraya merapikan anak-anak rambut Tiara.

Tiara mengetik lagi untuk yang ketiga kalinya.

Apa mamaku juga bahagia seperti bibi waktu hamil dulu?

Irene memaksakan senyumnya.

"Tentu saja," katanya. "Apa yang buat kamu berpikir mamamu tidak bahagia?"

Giliran Tiara yang mengembangkan senyum senang. Gadis itu lalu beralih menyantap sarapannya.

Irene beranjak ke wastafel, di mana dia lantas memunggungi anak-anak itu. Sementara benaknya mulai bermunculan berbagai macam pikiran, dia mengisi sebuah mangkuk dengan air lalu memasukkan beberapa sendok gula. Pisau di tangannya mengiris-iris apel, kemudian menaruhnya ke dalam air. Setelah selesai, Irene sempat melirik diam-diam pada Tiara.

Mata itu terpancar penuh makna, ilusi, dan getir.

***
Pukul sebelas kurang lima belas menit. Yanet masih tidur terlentang di atas kasur. Pakaian hitamnya bahkan masih melekat. Namun begitu seseorang mengetuk pintu kamarnya, sepasang matanya langsung membuka otomatis. Dia buru-buru beranjak dari ranjang, membuka lemarinya dan mengeluarkan beberapa helai pakaian.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateWhere stories live. Discover now