Resus (Part 5)

485 39 5
                                    

Titik hujan terdengar deras, mengetuk-ngetuk kaca jendela ruangan. Merah padam, itulah warna betis sang pendekar. Mengeras layaknya beton, keram mencekam kakinya yang kelelahan menyepak air. Di dalam ruangan kantor klinik, di atas bangku kayu nan panjang, Claude duduk menyamping dengan posisi kaki yang lurus, membiarkan Mykie mengolesi betisnya dengan serbuk rempah-rempah yang diramu.

"Kau beruntung sekali," ujar Mykie, "otot betismu hampir saja sobek, tapi jangan khawatir, dengan ramuan ini betismu akan sembuh dengan cepat."

Claude menahan pedih dalam seringainya di gigi, sakit bukan main ketika rempah-rempah menyentuh betisnya yang cedera. Begitu panas, terbakar layaknya bara, namun sang pendekar menahan rintihnya pada tangannya yang mengepal begitu erat.

"Bicara soal Resus," sambung Mykie, "menurutmu apakah kita harus membunuhnya?"

"Ssshhh, sama sekali tidak," balas Claude disertai desis. "Kuingatkan sekali lagi, Danau Qimasha terkontaminasi oleh zat kimia, bukan racun hewani."

Mykie meraih gulungan perban di atas meja tak jauh darinya, lalu membentangkannya lebar-lebar sebelum akhirnya membalut betis sang pendekar hingga berlapis-lapis tebalnya.

"Lagipula, mustahil seekor Nirva mampu mengeluarkan zat semacam itu," tambah Claude.

"Sekalipun jika racun itu berasal dari pabrik tekstil yang kau sebutkan itu, kau pikir bagaimana bisa mereka membuang limbahnya sejauh lebih dari 300 meter ke danau itu?"

"Sederhana saja, pipa pembuangan." Claude meletakkan kedua tangannya di atas pahanya sendiri. "Pipa itu pasti terletak di bawah permukaan air, itu sebabnya tak ada yang bisa melihatnya."

"Bagaimana denganmu? Kau sempat melihat pipa itu?"

Claude memalingkan wajah menghadap titik-titik air yang hinggap di jendela. "Tidak, itu hanyalah asumsi, tapi itulah satu-satunya kemungkinan logis yang dapat kupikirkan. Untuk itu, aku harus kembali ke Danau Qimasha untuk memastikan."

Sampai pada balutan terakhir, Mykie meraih gunting di meja yang sama, lalu memotong sisa perban yang tak lagi terpakai, kemudian menggulungnya dan meletakkannya kembali bersama dengan guntingnya di atas meja.

"Selesai," ujar Mykie.

Usai dengan perawatannya, Mykie beranjak merapikan bahan dan peralatannya di atas meja. Satu persatu, ia mengambil mortar, alu, gunting, dan sisa gulungan perban yang tak lagi diperlukan, mengumpulkan semuanya di atas tangannya yang berdekap di bawah dada, lalu membawanya mendekati rak kayu tak jauh dari pintu ruangan. Sampai di depan rak, Mykie mengambil posisi berlutut di atas lantai, lalu menarik gagang laci yang terletak pada ruas paling bawah, dan memasukkan semua peralatannya ke dalam laci.

Di sisi lain, Claude menurunkan kakinya dari bangku, menyetak jejak di atas lantai yang serupa, lalu mendorong tubuhnya ke atas untuk bisa berdiri. Susah payah, ia bangkit dengan kaki gemetar, dibantu dengan tangannya yang menopang separuh tubuhnya, bertumpu pada lengan bangku tak jauh dari tempatnya menapakkan kaki. Sadar akan hal itu, Mykie dengan tegas mengingatkannya untuk tidak berdiri.

"Hei!" sahut Mykie. "Kau tak seharusnya mencoba untuk berdiri."

"Tak apa." Claude melepaskan tangannya dari lengan bangku. "Aku hanya ingin membiasakan kakiku. Aku tak aka—"

Dentingan lonceng mendadak memotong, menggema dan menggelegar keras layaknya sebuah peringatan, terdengar beruntun tanpa henti dari luar sana, memaksa Claude untuk bungkam sampai lonceng berhenti berdentang. Tak lama, terlihat cahaya merah yang menerawang jendela, diikuti rentetan suara langkah kaki di atas jalan berlumpur, bersama dengan teriakan pedih dalam napas yang terisak di luar sana. Sang pendekar termenung dalam sunyi. Mykie perlahan membangkitkan tubuhnya dari lantai, menatap kaku ke luar sana melalui jendela yang diguyur hujan.

The Sacred Witcher Act I: The CurseWhere stories live. Discover now