Dream (Last Part)

613 39 0
                                    

Gelap, sunyi, dan misterius, rasanya seakan terjebak dalam penjara labirin berbentuk angka delapan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gelap, sunyi, dan misterius, rasanya seakan terjebak dalam penjara labirin berbentuk angka delapan. Dalam gulita yang kental bercampur ngeri, Claude berjalan menyusuri lorong panjang tak berjendela, mengamati satu-persatu deretan pintu yang mengapitnya di sisi kiri dan kanan. Indera keenamnya buta, dirinya hanya bermodalkan mata sebagai satu-satunya indera yang dapat diandalkan. Sampai di persimpangan lorong, Claude mengambil belokan ke kanan, menelusuri lorong lain yang diyakininya sebagai jalan yang benar.

“Di mana ini?” gumamnya kecil, sambil menyeret telapak tangannya pada permukaan tembok.

Ratusan jejak dicetaknya dalam lintasan paralel. Gulita semakin pekat, cahaya hampir sepenuhnya hilang, bahkan retina hanya dapat menangkap bayang-bayang lorong yang semu. Sampai di penghujung jalan, Claude bertemu dengan tembok nan polos, jalan buntu yang mengakhiri langkahnya di sana, mendorongnya untuk berbalik dengan pasrah.

Pelan-pelan, Claude melangkahkan kaki ke arah yang berlawanan, menimpa jejaknya dengan jejak yang baru, sebelum akhirnya ia menghentikan langkahnya sekali lagi. Dinding yang mengapitnya mendadak hilang tak berjejak, pilar-pilar beton— bermunculan entah dari mana—berdiri kokoh menopang sebuah atap berlubang yang meneduhkan tempatnya melamun. Aula, di sanalah sang pendekar berada, ruangan besar nan luas berbentuk poligon bersisi enam.

“Apaan-apaan ini?” gumam Claude bingung, ketika sadar akan kakinya yang menapak di tempat yang berbeda, walaupun ia yakin betul bahwa ia baru saja membalikkan badan.

Tanpa sadar, ia berdiri di tengah-tengah ruangan, kakinya menapak di atas lantai berlian berwarna merah mengilap. Tubuhnya dimandikan cahaya yang menusuk dari lubang besar yang tercetak pada atap di atasnya. Tak membuat silau, namun cukup terang untuk membuat kedua pupilnya menyempit.

Claude terpaku hening menatap purnama di atas sana, satu-satunya sumber cahaya yang menerangi raganya, diiringi oleh awan hitam yang bergulung layaknya ombak, juga jutaan bintang yang bertebaran bagaikan debu yang berkilau.

Claauude.... Sekali lagi, namanya terdengar dalam bisikan gaib. Tak terdengar menghasut, namun lebih mirip sebuah panggilan.

Sunyi menyusul setelahnya, bisikan barusan meninggalkan jutaan pertanyaan dalam pikiran Claude yang berkecamuk. Ke sana kemari ia menolehkan kepala, berusaha mencari siapa gerangan yang memanggil namanya, namun sayang bayangan yang mengelilinginya membuat semuanya hampir tak terlihat.

Di tengah-tengah pencariannya menerawang gulita, suara tawa mendadak terdengar beralun-alun, menggema hingga terdengar berulang kali. Seorang gadis kecil—tak dikenal—berlari-lari dengan riangnya mengitari satu pilar yang tak berada jauh di depan Claude. Gadis itu melebarkan lengannya layaknya burung yang mengepakkan sayapnya. Rambutnya panjang, cokelat legam warnanya. Matanya hijau membulat, tersungging pula sebuah senyuman manis nan lebar pada mulutnya yang terbahak-bahak.

Siapa dia? batin Claude keheranan.

Beberapa saat kemudian, gadis itu akhirnya menghentikan langkahnya, terengah-engah meraih lututnya sambil terus mempertahankan senyumnya. Sejenak, ia menolehkan kepala menghadap Claude yang terpaku heran akan kelakuannya, lalu beranjak dari tempatnya berdiam, menghampiri sang pendekar dengan lari kecilnya yang menggiurkan.

The Sacred Witcher Act I: The CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang