Sekali lagi, Lilith dilempar ke dalam kamarnya di lantai dua. Bahunya membentur lantai kayu terlebih dahulu, membuatnya mendesah sakit dan menyeringai dalam derita.
"Diam di sini!" bentak Leano, ayah tiri Lilith yang baru saja memperkosanya satu menit yang lalu.
Leano lalu membanting pintu dengan kerasnya dan menguncinya dengan buru-buru, meninggalkan Lilith yang tergeletak kesakitan di atas lantai kayu yang dingin.
Lilith menyeringai lagi, namun bukan karena sakit melainkan karena amarah, malu, dan sesalnya yang tak bisa ia luapkan sama sekali. Air mata menggenang di tempat kepalanya berbaring, namun ia tak peduli. Hatinya merasa bersalah karena tak mampu melawan ayah tirinya. Namun apa daya? Ia hanyalah seorang gadis 16 tahun yang tak mampu melindungi dirinya.
Perlahan, ia meraih kaki meja di sisi kirinya, menjadikannya sebagai tumpuan untuk bisa berdiri. Tubuhnya benar-benar lemas, ia bahkan berdiri dengan kaki gemetar. Dengan pincang, ia berjalan mendekati ranjangnya, bersandar pada tembok agar kakinya yang lemah tak perlu menahan seluruh berat tubuhnya ketika berjalan.
Ia membiarkan tubuhnya jatuh ketika kakinya telah berhasil menapak di samping ranjang. Ia menenggelamkan wajahnya begitu saja di atas bantal, berusaha untuk melelapkan kesadarannya setelah satu hari penuh siksa ini. Namun ia sadar itu tidak mungkin. Melupakan hari di mana ia baru saja kehilangan keperawanannya? "Yang benar saja," besitnya dalam hati.
Ingin dirinya lari dari rumah, namun sayang kakinya yang babak belur tak sanggup memenuhi permintaannya. Belum lagi nyeri di bahunya akibat benturan barusan, membuat keadaan semakin buruk.
Dirinya termenung di sana, tenggelam dalam lamunan pedih yang tiada guna membuatnya terlelap. Akan diapakan lagi aku besok? tanyanya dalam hati yang terluka.
Tinggal di dalam sebuah rumah berlantai ganda yang mewahnya bagaikan surga, memang merupakan idaman banyak orang. Namun, sayang tidak bagi gadis berambut cokelat yang malang ini. Hatinya kelu, fisiknya dibabat habis setiap harinya. Rasanya lebih baik mati, namun nuraninya membantah lantaran batinnya yang tak ingin nyawanya melayang begitu saja.
Ia terus berdiam di sana, mematung sepi tanpa suara sedikit pun. Entah sudah berapa lama wajahnya tenggelam di atas bantal, ia tak juga menaikkan kepalanya untuk mengambil napas.
Beberapa menit berlalu setelah Leano mengunci Lilith di dalam kamarnya dan menuruni tangga berlapiskan perunggu, ia beranjak menuju ruang tamu untuk bertemu istrinya, Devia, yang juga tak memiliki darah yang sama dengan Lilith.
Devia baru saja datang dari pesta dansa di istana negara, tanpa mengajak suaminya. Keadaan tubuhnya yang agak tidak sehat membuatnya pulang lebih awal dari yang Leano kira. Hal itu membuatnya terpaksa berhenti memerkosa Lilith dan menyeretnya ke kamar tidurnya.
Di sana, di ruang tamu, Devia membaringkan tubuhnya di atas sofa berlapiskan sutra, mengalihkan pandangannya ke arah tungku api yang menghangatkan malam.
YOU ARE READING
The Sacred Witcher Act I: The Curse
FantasyDi suatu era yang masih berada jauh dari modern, seorang gadis muda, Lilith Brooker, tiba di sebuah kota terkutuk nan indah bernama Ruin City. Baru saja beberapa menit menapak di sana, ia dirampok dan dikutuk oleh seorang penyihir yang berpenampilan...