Disintegrated

833 71 1
                                    

Angin berhembus sepi dari Barat, membelai si rambut perak yang sedang melangkah cepat di atas hamparan rumput yang menari. Sejuk menyapu gerah dari bawah lehernya yang berkeringat, namun sayang tak menyingkirkan rasa tegang yang menjalar di hatinya. Claude bersama rombongannya berlari cepat ke selatan, berusaha menerka jejak para iblis yang berhasil terbang menjauh, kabur dari 'pintu neraka' yang kini telah tersegel rapat.

Claude menerawang langit di atas sana, tak sengaja menyaksikan rombongan pelikan yang baru saja terbang bersama awan, melayang bebas dalam formasi membentuk anak panah. Sayang, tak ada satupun mata yang mendapati petunjuk, meski langit dan tanah telah diterkanya dengan teliti. Sampai akhirnya, mereka sampai di atas jalan setapak yang berbeda, jalan yang dikelilingi bongkahan reruntuhan yang terbengkalai dibuang zaman, tak jauh dari stasiun yang tak lagi layak untuk dilalui.

"Gawat!" ucap Thomas panik sambil menghentikan langkahnya di dekat tangga stasiun.

"Mereka pasti sudah sampai di the Nameless Forest," simpul Claude masih menerka tanah.

"Kalau begitu, ayo!"

"Wow! Tunggu dulu!" Claude buru-buru menarik Thomas yang hendak melangkahkan kaki.

"Ada apa?"

"Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk berburu makhluk halus, apalagi di hutan."

"Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?" Thomas melepaskan jemari Claude dari tangannya.

"Akuilah bahwa energi sihirmu habis, begitu pula denganku, buruknya lagi kita kekurangan orang," jelas Claude tenang.

"Berburu iblis di hutan itu sama saja bunuh diri." Eterna menimpal. "Kau tahu sendiri bukan, betapa banyaknya nirva di dalam sana?"

Thomas tak melontarkan satupun argumen untuk melawan, alis matanya condong ke bawah, menandakan dengan jelas akan pertimbangannya yang kritis. Tak ada konflik di wajahnya, bahunya melemas, dan kepalanya pun menghadap ke bawah, ia menatap sepi ke tempat kakinya berpijak sambil menggigit bibirnya kuat-kuat.

Thomas menghela napas panjang sebelum berkata, "Apa boleh buat?", lalu berjalan mengitari Claude, mendekati barikade gaib berbentuk mangkok raksasa yang berada jauh di belakang sana.

Eterna pun membekukan lidahnya sendiri, memandang Thomas yang berlalu melewatinya sampai ia tenggelam masuk ke dalam dimensi lain, dimensi yang mempertemukannya dengan pedesaan di era yang tertinggal.

"Ayo!" ajak Claude pada Eterna. "Kita juga harus istirahat di dalam sana."

Eterna mengangguk pelan dan membiarkan Claude berjalan mendahuluinya, sebelum akhirnya ia mengikuti jejak majikannya di tanah.

***

Malam nan hitam akhirnya menggantikan senja yang jingga, tepatnya jam setengah tujuh, ketika matahari benar-benar tenggelam jauh di ufuk barat. Menara pengawas, bangunan kokoh paling tinggi yang ada di dalam barikade pedesaan, tempat di mana Claude menapakkan kakinya pada lantai yang dekat dengan puncaknya.

Dari tepian balkoni, Claude memandang sepi ke arah pedesaan yang berada jauh di bawah sana, perumahan jadul yang sudah tak lagi layak dipandang zaman, jauh berbeda dengan peradaban di Ruin City yang telah maju seratus tahun ke depan.

Sial! gerutu Claude dalam hati, lantaran pikirannya yang berkecamuk bingung, meminta jawaban kepada angin yang menerpa.

Hatinya menjadi kelu akibat pengumuman menyedihkan barusan. Ya, Thomas–sore tadi–telah mengumumkan berita duka yang membuat ratusan pasang mata menitihkan air mata secara serempak. Ada puluhan jasad yang terbungkus dalam kain kafan di tengah desa, jasad-jasad dari penyihir yang telah terurai brutal oleh para iblis yang merenggut nyawanya. Ratusan orang bernapas sedu dalam tangisnya, berduka pedih ditinggal para patriot yang telah melayang ke surga.

The Sacred Witcher Act I: The CurseWhere stories live. Discover now