Clearance

773 64 3
                                    

Siluet gelap tercipta, membentuk sesosok rupa seorang gadis belia yang duduk menghadap utara, menutupi matahari yang hendak terbit di ufuk timur. Dari balik jendela kamar, Eterna memandang sepi ke arah sosok itu, menatapnya dengan mata yang agak sayup setelah beberapa menit terbangun dari lelapnya.

Itu... Lilith? tebak Eterna dalam hati, ketika matanya mulai terbiasa dengan pencahayaan remang di kamarnya.

Ya, tidak salah lagi, itu memang dia. Eterna meyakininya setelah mendapati rambut cokelatnya yang dibelai halus oleh angin, mengekspos separuh wajahnya yang dapat terlihat walau dalam bayangan sekalipun.

Burung gereja bertengger dalam rangkaian seri, berkicau dengan serempak di atas ranting pohon di atas Lilith. Jumlahnya puluhan ekor, bernyanyi ramai menemani mentari yang baru saja terbit, berduet dengan jangkrik yang kelayapan di pagi hari, juga katak yang mengerok nyaring dari belukar tak jauh darinya. Gadis berambut cokelat itu bernaung damai di bawah rindangnya beringin yang telah menua, sambil menyandarkan punggung pada pangkal batangnya dan menatap sepi ke arah barisan burung gereja di atasnya.

Termenung dalam sunyi, Lilith membawa separuh batinnya pergi dari alam sadar, sambil dirinya menyaksikan hewan-hewan bersayap mungil yang terbang menjauhi ranting. Satu per satu, mereka berpindah menuju dahan yang lain, dahan yang berada tak jauh dari belukar sebelum akhirnya melanjutkan nyanyiannya.

"Lith?" Sebuah suara feminim memanggilnya dengan nada bertanya, membuat Lilith sontak tergugah dari lamunannya.

Gadis berambut cokelat itu pun menoleh ke samping, mendapati Eterna yang sedang berjalan mendekatinya dengan langkah berat, melewati tanjakan yang miring membentuk sudut lancip.

"Oh, Eterna," tanggap Lilith kepada Eterna yang telah menanamkan kaki di dekatnya.

"Err..., apa yang kau lakukan di sini?" Eterna merendahkan lututnya hingga menyentuh tanah, sebelum akhirnya duduk dan bersandar tepat di samping Lilith.

"Hanya menjernihkan pikiranku," balas Lilith santai, lalu mendekap kedua lututnya sendiri. "Pagi ini cukup cerah, bukan?"

"Err... iya, pagi ini cerah," balas Eterna dengan canggung sambil memutar matanya menghadap belukar, menyaksikan burung-burung gereja yang berkicau di depannya.

"Kau... baik-baik saja?" lanjut Eterna.

"Tentu saja," ujar Lilith tenang, membuat Eterna terlihat khawatir. "Apa yang kau bicarakan?"

"Kau... yakin?"

"Apakah ini karena yang kemarin?"

"Err..., kupikir begitu."

"Haha..., tenang saja." Lilith meletakkan tangannya di atas paha Eterna. "Aku baik-baik saja."

"Tapi, aku mencemaskanmu."

"Aku baik-baik saja, sungguh! Percayalah, kau tidak perlu mencemaska-"

"APA MAKSUDMU TIDAK PERLU?!" Eterna mendadak berteriak. "Apa kau mau mati begitu saja, hah?! Lilith, aku beritahu kau, TIDAK ADA MANUSIA YA-"

Eterna tiba-tiba membuat lidahnya mematung di tengah kalimat, batinnya tersadar bahwa tak seharusnya lidahnya bercakap demikian.

"Maaf," lanjut Eterna penuh sesal, mengakhiri kalimatnya yang sama sekali tak bisa disebut sopan.

Lilith menebar senyum hangat sebagai balasan yang ironis, lalu berujar, "Aku baik-baik saja, sungguh."

"Setelah kejadian kemarin, aku tidak bisa mempercayai perkataanmu barusan."

"Tapi, aku memang baik-baik sa-"

"Lith!" tegas Eterna sekali lagi. "Aku mohon, hentikanlah sandiwaramu! Kau akan menyakiti dirimu lebih parah jika kau terus begitu."

The Sacred Witcher Act I: The CurseWhere stories live. Discover now