Resus (Part 3)

445 36 0
                                    

Terbatuk-batuk mengambil napas yang baru, Claude terbaring lemah dengan tangan membentang di atas hamparan pasir keemasan. Di pinggiran danau tubuhnya telentang, berdampingan dengan Eterna yang duduk berlutut menghadapnya, menggigil kedinginan, berdekap tangan mempertahankan suhu tubuhnya yang telanjur turun hingga terasa membeku. Pelan-pelan, sang pendekar menolehkan kepala ke kanan, membiarkan pipinya menyentuh pasir, menghadapkan wajahnya ke arah Eterna di sampingnya—menerka dari bawah ke atas tubuhnya yang kuyup berbau darah nan merah.

"E... ter... na," panggil Claude terdengar berat.

Susah payah sang pendekar membalikkan dadanya, tengkurap menghadap pasir, lalu memanfaatkan seluruh tenaga pada kedua lengannya untuk membangkitkan tubuhnya ke atas. Sampai pada posisi duduk berlutut, Claude menempatkan kedua kakinya ke samping, pelan-pelan meluruskan lututnya ke depan, lalu menolehkan kepala menghadap Eterna yang sibuk menghangatkan badan.

"Kau... baik-baik saja?" tanya Claude, menahan napas yang hendak terbatuk.

Eterna yang menggigil, mengusap-usap kedua sikutnya cepat-cepat, menciptakan gesekan kulit yang menghasilkan hangat, lalu melirikkan mata menghadap majikannya yang berwajah pucat.

"A-aku... ba-baik-baik saja," jawab Eterna gemetar.

Riak air merah terdengar, samar-samar suaranya beriringan dengan puluhan burung gagak yang terbang bergerombol di atas sana, di langit biru yang pagi, mengerumuni udara yang sedikit tercemar bau amis. Awan hitam nan tebal—entah dari mana datangnya—menaungi semua yang ada di bawahnya. Mentari sejenak tertutup olehnya, namun angin yang sejuk bertiup di saat yang sama, perlahan menyapu awan hitam yang menghalangi sang mentari, hingga akhirnya setitik benderang tercecah, menghangatkan raga yang tengah menggigil kedinginan.

Eterna yang tak lagi gemetar pelan-pelan mengambil napasnya melalui hidung, lalu mengembuskannya keras-keras melalui bibirnya yang separuh terbuka, mengeluarkan uap dingin nan putih yang mengepul tipis dari paru-parunya yang seakan membeku.

"Terimakasih," ucap Claude mendadak.

Pelan-pelan Eterna memiringkan kepalanya mendekati bahu, menatap heran majikannya dengan raut wajah yang kosong, raut wajah yang menjelaskan bahwa ia tak mengerti perkataannya barusan.

"Untuk... apa?" tanya Eterna terdengar polos.

Claude menghela napas singkat sebelum akhirnya menjawab, "Menyelamatkanku."

Hening menyela di tengah perbincangan, pelan-pelan Eterna tak sengaja mengulum senyum di bibirnya yang tipis, merendahkan kepala menghadap pasir dengan kedua pipi yang sedikit padam merona.

"Itu... bukan apa-apa," balas Eterna menahan malu.

Suara parau mendadak lantang terdengar, gagak-gagak terbang berkerumun di atas sana, bergerombol di udara, pelan-pelan terbang merendah mendekati permukaan air yang merah di bawahnya. Tak berselang lama, gagak-gagak itu melebarkan kedua sayapnya tak jauh dari permukaan air, memperlambat lajunya di udara sebelum akhirnya mendarat di atas bongkahan-bongkahan kayu yang terapung di atas permukaan danau. Hitam matanya melirik ke sana kemari, mengintai dan meneliti ke kiri dan ke kanannya dengan netra yang membelalak, mungkin mencari jasad para pemburu Resus untuk sarapannya memenuhi napsu.

"Bau badanmu 'wangi,' parfum apa yang kau gunakan?" tanya Claude sarkastik, mengetahui bau amis yang menyelubungi tubuh Eterna.

Eterna menatap garang. "Oh, dasar! Kau seharusnya mencium bau badanmu sendiri sebelum menilai bauku."

"Sudah, dan dari hal itu aku tahu bahwa badanmu sepuluh kali lipat lebih 'wangi' dari badanku."

"Uhh! Claude!" bentak Eterna mulai kesal.

The Sacred Witcher Act I: The CurseWhere stories live. Discover now