Resus (Part 4)

473 44 8
                                    

Lemas hampir tak bersuara, Lilith dengan susah payah membuka kelopak matanya yang dibebani kantuk yang hebat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lemas hampir tak bersuara, Lilith dengan susah payah membuka kelopak matanya yang dibebani kantuk yang hebat. Pelan-pelan pupilnya terbuka, namun buru-buru kembali menutup ketika mentari tak sengaja menyilaukan matanya yang menghadap jendela di sisi timur. Sekejap, dirinya pun berkedip silau, lalu menolehkan kepala ke atas, menghadap langit-langit berbahan kayu yang menaungi tempatnya berbaring sunyi.

Sedikit risih menyelubungi hatinya, sadar akan otaknya yang tak bisa mengingat apa yang terjadi di masa lampau. Buru-buru ia mencari memori akan apa yang terjadi pada detik-detik terakhir dirinya membuka mata. Samar-samar ingatannya, satu-satunya hal yang terlintas dalam benaknya hanyalah rasa sakit yang sempat mencekam perutnya, rasa yang kini telah hilang entah bagaimana.

Pelan-pelan, Lilith meraih perutnya yang datar, merabanya dan mengusapnya halus-halus hingga dirinya sadar akan apa yang menyelimuti separuh tubuhnya. Tekstur yang agak kasar dan tebal, kain yang dijahit hingga berlapis-lapis tebalnya, helaian flanel putih nan hangat menyelimuti separuh tubuhnya yang terkulai di atas ranjang kelabu.

Buram di mata perlahan menghilang, Lilith memutar lehernya ke sisi kiri ranjangnya, lalu mendapati sekuntum bunga berduri dalam sebuah vas di samping kepalanya berbaring. Mahkotanya separuh menguncup, layu dan berwarna keruh, terlihat mati walau mentari telah menyorotnya tajam-tajam.

Tak jauh di sampingnya, seorang wanita terduduk santai di atas kursi kayu yang kusam. Rambut hitamnya melambai sunyi ketika angin kecil menyerobot masuk melalui jendela. Di pangkuannya, sebuah buku yang terbuka dalam posisi terbalik, tebal dan kecil, sampulnya terlihat tua dan mengabur.

"Eterna," panggil Lilith dalam keadaan separuh sadar, suaranya tak cukup keras untuk membuat Eterna menoleh.

Eterna, di sanalah ia bernapas, duduk dengan kaki yang melipat di samping tempat Lilith berbaring. Tak lama, Eterna menjulurkan tangannya ke arah bunga di atas meja, lalu membisikkan suatu frasa berbahasa asing, layaknya satu lantunan mantra. Gumpalan asap-bukan! Gumpalan aura hitam-berbentuk layaknya asap cerutu-muncul secara misterius, lalu menyelubungi jemarinya yang membentang ke depan. Auranya pelan-pelan bergerak layaknya awan yang tertiup angin, menyelubungi bunga yang layu tak bernyawa sebelum akhirnya terhisap oleh mahkota bunga yang menguncup.

Sesaat kemudian, Eterna pelan-pelan menolehkan kepala menghadap Lilith yang tampak kesulitan membuka kelopak matanya. Eterna pun tak sengaja mendelikkan mata ke arahnya dengan mulut yang separuh terbuka.

"Oh! Kau sudah bangun?" Eterna yang tampak sedikit terkejut, segera menarik tangannya ke dekat perut, menutup buku di pangkuannya, lalu meletakannya di dekat vas bunga di atas meja.

"Di mana ini?" Lilith meletakkan tangannya di atas dahinya sendiri.

"Ruang rawat," jawab Eterna singkat. "Kemarin, kau pingsan lagi."

"Lagi?" Lilith mendorong dadanya ke atas, lalu menempatkan tubuhnya pada posisi duduk.

"Bagaimana bisa?" tanya Lilith penasaran.

The Sacred Witcher Act I: The CurseWhere stories live. Discover now