The Cursed One (Part 3)

1K 86 10
                                    

Claude menatap sepi dari tepian jendela, ia menopang dagunya menggunakan lengannya yang berpatok pada sikut. Sesekali ia melirik ke atas, sesekali pula ia menoleh ke arah bangku di seberangnya, ke arah dua orang wanita yang sedang menghabiskan bosannya perjalanan. Eterna memandang hening ke arah jendela yang sama, sedangkan Lilith tak sengaja membiarkan dirinya terlelap, dan membuat pelipisnya bersandar di atas pangkuan Eterna. Begitu sunyi, napasnya tak menciptakan sedikitpun dengkuran. Semuanya hening, lantaran kini hanya ketiga orang itu yang ada di gerbong terdepan, gerbong yang sudah tak lagi penuh akan penumpang.

"Claude," panggil halus Eterna.

"Ada apa?"

"Apa kau yakin tidak akan memberitahunya?" Eterna mengusap kepala Lilith halus-halus.

"Memberitahu tentang apa yang terjadi dengan kakinya?"

Eterna mengangguk pelan, sebagai jawaban untuk meyakinkan majikannya.

"Jangan sekarang," lanjut Claude, "paling tidak sampai kutukan itu terangkat darinya."

"Apa kau yakin Thomas bisa menyembuhkannya?"

"Entahlah--" Claude menghela napas sebelum melanjutkan, "--aku hanya berpikir ia lebih hebat dariku dalam urusan magis, itu sebabnya aku mengira ia bisa melakukannya."

"Kau sendiri bahkan tidak yakin."

"Memang tidak." Claude menarik tubuhnya dari tepian jendela. "Tapi, tidak ada salahnya untuk dicoba, bukan?"

"Lalu, bagaimana jika... Lilith mati sebelum ki--"

"Eterna!" Claude tiba-tiba membentak, memangkas kalimatnya menjadi separuh. "Percayalah padaku, ia tidak akan mati semudah itu."

"Lalu, bagaimana jika Thomas gagal menyembuhkannya?"

"Tenanglah sedikit, ia bukanlah satu-satunya harapanku."

"Kalau begitu, apakah kau punya rencana cadangan?"

Claude terdiam sejenak, matanya sejenak melirik ke arah jendela, pikirannya melayang ketika matanya terpaku melihat matahari yang sudah bergantung di tengah langit.

"Claude, bagaimana?"

"Entahlah," ujar Claude lugas.

"Hah?"

"Aku bilang, 'aku tidak tahu', mengerti?"

"Ya dewa! Kau sendiri bah--"

"Hei, aku ini manusia," potong Claude lagi, "pikiranku juga terbatas sama sepertimu."

Eterna mengernyitkan dahinya, lidahnya membeku di dalam mulut, sedangkan Claude kembali memalingkan wajahnya ke permukaan jendela, memandang pepohonan lebat yang lalu lalang melintas di depan matanya menatap. Ia menghembuskan napasnya di sana, membuat kaca jendela berhiaskan uap bening yang berasal dari mulutnya yang menghela. Kemudian ia menempelkan ujung telunjuknya di sana, dan mulai membuat tulisan aneh dari uapnya yang menempel.

"Bagaimana dengan Freya?" Eterna mengusulkan. "Dia juga penyihir, bukan?"

"Dia adalah menteri pertahanan Ruin City. Berurusan dengannya sama saja dengan mencari masalah dengan pemerintah."

"Tapi, ia menyembunyikan rahasia kita, bukan?"

"Itu berkat kontrak gelap yang kita setujui bersamanya," jelas Claude, "kita tidak bisa mengambil risiko yang lebih besar daripada itu."

"Begitu?" tanggap Eterna dengan lesu.

Claude masih sibuk melukis jendela dengan uap napasnya, jemarinya dengan kaku membentuk tulisan abstrak tak bermakna. Eterna pun tak kunjung berhenti mengusap rambut cokelat yang sedang bersandar di atas pangkuannya. Pelan-pelan ia mengelusnya, pelan-pelan pula Claude kembali menoleh ke arah keduanya. Apa yang dipandangnya membuat hatinya diganjal suatu rasa yang kuat, rasa kasihan terhadap gadis berambut cokelat yang ia duga kabur dari rumah.

The Sacred Witcher Act I: The CurseWhere stories live. Discover now