Thomas merencanakan sebuah upacara akbar untuk mengenang jasanya di keesokan hari, tepatnya ketika senja menjemput, sebuah acara pembakaran jasad para pahlawan yang abunya akan disimpan di rumah tetuah desa nantinya. Paling tidak, hanya itulah yang orang-orang desa bisa lakukan sebagai upaya penghormatan terakhir bagi mereka yang tak lagi bernyawa, mereka yang telah mengorbankan raganya demi menyegel 'pintu neraka' yang terbuka.

Bicara soal 'pintu neraka', itulah yang sedang melayang-layang di pikiran Claude saat ini. Riddrick menyatakan bahwa ada orang yang membuka segelnya dengan sengaja. Buruknya lagi, itu bukanlah asumsi belaka. Thomas membenarkan beritanya ketika sore tadi, ia bersama warga lainnya memungut puluhan jasad para penyihir di medan berdarah. Kini, satu-satunya pertanyaan yang tersisa hanyalah 'siapa yang membuka segelnya?', dan itulah yang paling membuat Claude frustasi, berhubung tindakan kriminal semacam itu bukanlah sesuatu yang bisa dibiarkannya begitu saja.

Parahnya lagi, itu bukanlah masalah terbesar yang dihadapinya sekarang. Lilith masih bersama dengan kutukan di kakinya, ia kini berada di bawah atap yang sama dengan Eterna yang sedang menemaninya di tempat penginapan. Claude masih belum memberitahunya mengenai kakinya yang terkutuk, Eterna pun disuruhnya untuk bungkam sekalian. Perasaan gundahnya kini berpadu dengan rasa bersalah yang mendalam, lantaran mulutnya yang tak pernah mengutarakan berita penting kepada Lilith yang mungkin akan segera menghela napas terakhirnya. Segel di kakinya tak akan bertahan lama dan Claude tahu itu. Kutukan itu harus segera diangkat darinya sebelum segelnya rusak.

"Di sana kau rupanya!" seru Thomas tiba-tiba, membuat Claude terbangun dari lamunannya.

"Hei Thomas," balas Claude lemas seraya menolehkan kepala ke belakang.

"Ada apa?" Sang pendekar berambut pirang melangkahkan kaki untuk mendekat, lalu menyandarkan punggungnya pada tepian balkoni yang sama, di samping Claude yang sedang termenung menatap panorama pedesaan di bawah sana.

"Ada sesuatu yang mengusikmu?" lanjutnya sambil memiringkan kepala ke arah temannya.

"Aku prihatin dengan wargamu," ujar Claude terus terang, separuh berdusta karena bukanlah itu yang sebenarnya mengganjal pikirannya.

"Memang menyedihkan, bukan?"

"Maksudmu?"

"Ketika seseorang yang kau sayangi menghilang begitu saja, pedih akan selalu menyertaimu ke manapun kau pergi. Namun, dengan begitu kau akan menjadi lebih kuat di kemudian hari."

"Hmph!" Claude tersenyum masam. "Mulutmu terkadang bijak juga."

"Apakah itu pujian atau hinaan?" Thomas sontak menatap Claude dengan sinis.

"Anggap saja itu pujian, kau tidak akan pernah tahu ketika seseorang membela pendapatmu, atau justru berniat untuk menjatuhkanmu."

"Hmph!" Kini Thomas yang bersenyum masam. "Akan kuingat itu sebagai nasihat dari seorang senior."

"Kau tiga tahun lebih tua dariku, bodoh," hina Claude dengan lugas dan datar.

"Haha.... Terserahlah."

Hening menyela obrolan di tengah-tengah, tergantikan oleh angin malam yang berhembus dari utara, menyapu segala letih yang membuat raga terasa berat. Claude bertumpu dagu pada tangannya yang berpatok pada sikut, sedangkan Thomas hanya menatap sepi ke arah yang berbeda, ke atas sana, ke arah langit yang sedikit tertutupi oleh lapisan barikade pada titik puncaknya. Kilauan bintang terbentang di seluruh penjuru langit, gemerlapnya tak segan menemani purnama di atas sana, di antara awan hitam yang menggumpal layaknya kapas hitam yang terurai.

Claude tak sengaja membuat lidahnya berdecak, pikirannya masih berkecamuk, ia hanya tak tahu cara melampiaskannya kepada Thomas lantaran kosakatanya yang tak tersusun rapi di otaknya. Masih dengan perihal yang sama, yaitu kutukan di kaki Lilith, kutukan paralitis yang membuatnya menderita kelumpuhan secara perlahan, kutukan yang pelan-pelan menggerogoti nyawanya sampai mungkin akhir hayatnya menghembuskan napas terakhir.

The Sacred Witcher Act I: The CurseWhere stories live. Discover now