"Siapapun itu, keluarlah!!" teriak salah seorang dari mereka sambil menahan takut.

Tak ada jawaban, hanya suara yang sama terdengar dari arah yang sama pula. Tak berselang lama setelah suara itu kembali terdengar, suara raungan mengerikan terdengar lantang dari balik pepohonan tersebut, menyisakan perasaan merinding yang bisa membuat siapapun yang merasakannya berlari dan berteriak seperti anak kecil.

"A-apa itu?" salah seorang dari mereka mulai ketakutan.

"Tenanglah! Biarkan mahluk itu keluar terlebih dahulu!"

"Ta-tapi, suara itu? Tidakkah kau pernah mendengarnya di suatu tempat?"

"Oh ayolah! Jangan takut, aku yakin itu hanya-"

Sekali lagi, pemburu itu tak sempat menyelesaikan kalimatnya lagi. Namun kali ini, bukanlah suara berisik yang sama yang membekukan lidahnya, namun sebuah penampakan dari Nirva berkepala dua yang tiba-tiba muncul dari balik batang kayu. Tubuhnya menjulang setinggi 20 kaki, dengan sepasang taring yang menjulur ke bawah di masing-masing mulut, berbalut darah yang bercampur dengan liur yang menjijikan. Salah satu mulutnya tampak melumat sesuatu, mungkin mangsanya.

"I-i-itu?" gumam salah seorang dari mereka.

Tak berani untuk bergerak ataupun berlari, kedua pemburu itu hanya bisa tertegun menyaksikan mahluk buruannya sedang mengunyah. Setelah beberapa saat, Nirva itu mengeluarkan sesuatu dari mulutnya, sesuatu yang tak seorang pun berani untuk melihatnya, yaitu sepotong tangan manusia berbalut darah yang terlihat bergantung pada taringnya.

Setelah berdiam diri di balik pepohonan untuk beberapa saat, Nirva berkepala ganda itu tiba-tiba menengok ke arah dua orang pemburu tersebut, menatap tajam dengan mata yang membelalak ganas. Tampak jelas bahwa Nirva yang satu ini belum kenyang setelah sarapan. Selangkah demi selangkah, Nirva itu mendekati kedua pemburu yang perlahan menapakkan kakinya untuk menjauh. Hingga akhirnya salah seorang dari mereka memutuskan untuk berlari, lantaran tak kuat menahan takut yang menyelimuti hatinya.

"LariI!!!" pekik pemburu Nirva yang terlanjur kabur.

Tanpa memedulikan rekannya yang terdiam terpaku menatap Nirva, pemburu yang satu itu berlari ketakutan layaknya anak kecil yang baru saja melihat badut. Tak berselang lama setelah langkah kesepuluh, barulah temannya mengekor di belakangnya, bersama dengan Nirva berkepala dua yang mengejar cepat di belakangnya.

"Aaahhh!!" teriak keduanya serempak.

Tak peduli seberapa cepat mereka berlari, Nirva itu selalu berjarak tak kurang dari 3 jengkal di belakangnya. Merasa sudah cukup dekat, Nirva tersebut melompat ke udara dan mengayunkan cakarnya yang bagaikan pedang berbilah lima ke arah dua orang pemburu di depannya.

"Awas!!" teriak salah seorang dari mereka, lagi.

Sepersekian detik sebelum Nirva itu mendarat di tanah, kedua pemburu itu melemparkan tubuhnya dengan refleks ke samping, dan berhasil menghindari cakarnya yang baru saja menancap di tanah. Cakar Nirva yang baru saja menghantam tanah membuat keadaan di sekitarnya menjadi penuh debu. Namun tak perlu waktu lama bagi angin untuk menyapu tabir, Nirva berkepala dua itu kembali terlihat dari balik gumpalan debu yang terurai.

"Ya tuhan! Nirva macam apa itu?"

"Bodoh! Cepat lari sebelum mahluk itu mengejar lagi!"

Tanpa menghiraukan apapun lagi, kedua pemburu Nirva itu kembali menginjak tanah, mengambil langkah seribu sebelum mereka kehilangan kesempatan mereka satu-satunya untuk kabur.

Beruntung, Nirva itu sedikit tersendat karena cakarnya yang menancap terlalu dalam pada permukaan tanah. Namun tak berselang lama setelah gumpalan debu benar-benar menghilang, Nirva itu berhasil mengoyak tanah di bawahnya dan membebaskan dirinya. Naluri predatornya kembali terangsang, indra penglihatan tajamnya menangkap dua sosok manusia yang sedang berlari ke Selatan, tempat di mana tembok pembatas berada. Mengetahui dua orang mangsanya berada, Nirva mengerikan ini menekukkan kedua kaki belakangnya, dan mencondongkan tubuhnya ke depan layaknya seekor singa yang sedang mengambil ancang-ancang. Setelah yakin bahwa ancang-ancangnya telah siap, Nirva tersebut meluncurkan tubuhnya dengan begitu kencangnya ke arah Selatan, mengejar dua orang pemburu tadi dengan kecepatan melebihi roket. Halangan berupa pepohonan besar tak menjadi masalah buatnya. Nirva ini menyeruduk apapun yang ada di depannya tanpa mengurangi kecepatannya sedikit pun, merobohkan puluhan bahkan mungkin ratusan pohon hanya dalam sekali tabrak. Kedua mulutnya telah terbuka, pertanda bahwa ia telah siap untuk menelan mangsanya. Kedua lidahnya dibuat berkibar oleh angin, dengan liur panas menjijikan yang menetes di atas jejaknya sendiri.

Tak berselang lama, kedua pemburu penakut tadi akhirnya dapat mendengar suara gemuruh dari belakangnya. Membuat keduanya mengira bahwa ajalnya hanya tinggal sejengkal di depan dahi. Dalam selingan detik, Nirva itu akhirnya berhasil menapakkan kakinya tepat di belakang kedua pemburu tersebut. Mengetahui jaraknya yang telah cukup dekat, Nirva mengerikan itu kembali meluncurkan dirinya ke udara, dengan cakar dan taring yang siap merenggut sepasang nyawa di depannya. Dalam selingan waktu yang sangat singkat, semua seakan-akan bergerak dalam kecepatan lambat. Napas, detak jantung, raungan, langkah kaki, semuanya terasa begitu lambat, seakan-akan waktu telah berhenti berputar. Hening dalam sekejap mata menggantikan semua suara. Cakar dan taring dari Nirva itu sudah berada tepat di atas kening keduanya. Hanya tinggal beberapa milisekon sebelum kedua nyawanya berakhir. Namun entah bagaimana, tampaknya tuhan mengubah garis takdirnya.

Entah apa yang terjadi, Nirva yang seharusnya telah berhasil melahap kedua mangsanya itu menabrak sesuatu yang sama sekali tak terlihat. Aneh, benar-benar aneh. Nirva itu seakan-akan baru saja menabrak tembok padat di depannya. Akal dan logika tak kuasa menjelaskan, namun itu tidak penting. Kedua pemburu Nirva itu terselamatkan oleh sesuatu yang sama sekali tidak mereka ketahui.

Mengetahui bahwa Nirva berkepala dua itu menghentikan langkahnya, kedua pemburu itu lekas memperlambat larinya, sambil mengumpulkan mentalnya untuk bisa menengok ke belakang.

"Hah!?" Kedua pemburu itu terkejut bukan main, tak percaya dengan apa yang berada tepat di depan matanya saat ini. Keduanya melihat pada sudut yang sama, namun tak ada satupun yang mau berargumen bahwa apa yang dilihatnya nyata. Keduanya melihat sesosok pria berambut perak, sedang berusaha melepaskan pedangnya dari kepala Nirva yang baru saja kehilangan salah satu kepalanya. Entah apa yang terjadi beberapa detik yang lalu, mereka masih ingat dengan pasti bahwa Nirva yang hampir merenggut nyawanya itu bukanlah Nirva berkepala satu melainkan dua. Namun apa yang terjadi dengan salah satu kepalanya, tampaknya tak ada yang bisa menggerakkan lidahnya untuk menjelaskan.

"Kalian tak apa-apa?" tanya sang pria berambut perak, seraya memasukkan pedangnya yang baru saja ia tarik dari kepala Nirva tersebut.

Setelah mengikatkan pedangnya di pinggang, pria berambut perak itu melompat turun dari kepala Nirva yang sedang membara karena terbakar. Ia kemudian melangkahkan kakinya dengan santai ke arah dua orang pemburu yang baru saja ia selamatkan, tanpa menunjukkan sedikitpun rasa takut pada raut wajahnya.

Dua orang pemburu Nirva itu hanya bisa berdiam diri, mendelik kaku ke arah jasad seekor Nirva yang sebentar lagi akan menjadi abu seutuhnya. Tentu saja, itu bukanlah pemandangan yang sering mereka lihat, jasad seekor Nirva yang tingginya setara dengan pohon, terbakar menjadi abu yang tak berarti.

"Si-si-siapa kau?" tanya salah seorang pemburu dengan gagapnya, masih menahan gemetar tubuhnya akibat takjub akan apa yang baru saja terjadi.

"Aku? Hanya pemburu biasa," jawab pria berambut perak dengan nada datar tanpa emosi sedikitpun.

Raut wajahnya yang sangat datar menandakan dengan jelas bahwa pria berambut perak ini sama sekali tak mengenal apa itu takut. Pikirkan saja, ia baru saja menghabisi seekor Nirva raksasa hanya dalam waktu kurang dari 5 detik, dan ia masih menyebut dirinya 'pemburu biasa', itupun dengan nada yang sangat santai, seakan-akan ia baru saja menindas seekor semut. Tentu saja, dua kata itu benar-benar bertolak belakang dari apa yang baru saja mereka lihat.

Tak perlu waktu lama, koral berukuran 100 kepalan tangan mulai terlihat pada jasad Nirva yang telah hangus terbakar. Koral sebesar itu bisa saja ditukarkan dengan uang yang nilainya selangit, tapi entah apa yang melintas di pikiran pria berambut perak ini, ia berkata, "Jika kalian mau, ambil saja koral itu." dengan nada yang tak terdengar berbeda dari yang sebelumnya, lalu pergi meninggalkan dua orang pemburu Nirva tersebut sendirian.

Beberapa menit telah berlalu sejak pria berambut perak itu menghilang di antara celah pepohonan, kedua pemburu itu masih termenung kaku melihat jasad Nirva yang kini telah menjadi abu. Hingga akhirnya, salah seorang dari mereka itu menuturkan sebuah kalimat tanya.

"Kau tahu siapa yang barusan tadi?"

"Entahlah, tapi kupikir aku pernah mendengar rumor tentang penyihir berambut perak."

"Penyihir berambut perak? Maksudmu penyihir yang pernah membunuh 100 Nirva berukuran 10 kaki itu?"

"Ya, dan ia juga memiliki mata berwarna merah."

"Rambut perak dan mata merah? Bukankah itu adalah ciri-ciri dari orang tadi?"

"Mungkin."

***


Suka dengan rangkaian kata yang kubuat? Jangan lupa votenya ya... trims :)

The Sacred Witcher Act I: The CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang