"Apakah gadis itu berulah lagi?" tanya Devia tanpa mengalihkan pandangannya.

"Ia mencakar pipiku." Leano menutupi pipi kirinya yang terluka.

"Oh! Bagaimana bisa?" Devia mengerutkan dahinya, menunjukkan ekspresi wajah menantang di depan Leano, seakan-akan ia tahu apa yang akan dikatakan suaminya.

"Emm... di-dia, dia hanya ingin mencuri perhatianku lagi," bohongnya terlalu mudah terbaca.

"Kau pikir aku akan mempercayai kebohongan semacam itu."

Devia yang tampak curiga terdiam sejenak untuk menenangkan dirinya sebelum kembali melanjutkan kata-katanya. Dilihat dari raut wajahnya, tampaknya ia tahu bahwa Leano baru saja melakukan hal aneh terhadap Lilith.

"Omong-omong, kancing celanamu terbuka." Devia menatap nakal.

Tanpa mencerna kalimatnya, Leano langsung saja menundukkan kepalanya untuk dapat melihat celananya. Dan benar saja, kancingnya terbuka.

"Oh!" Leano menutup kancingnya dengan segera. "A-aku baru saja buang air kecil," bohongnya lagi.

"Leano!" bentak Devia yang tampak yakin bahwa suaminya berbohong kepadanya.

"A-apa? Kau pikir aku berbohong?"

"Tentu saja dasar bodoh. Aku sudah mengenalmu selama 13 tahun, tentu saja aku tahu wajah macam apa yang akan kau pasang ketika berbohong."

"Oh ayolah sayang," bujuk Leano, "aku tidak ber--"

"Apa kau memperkosanya?" Devia menahan amarahnya sambil mendekapkan tangannya di dada.

"Ten-tentu saja tidak." Leano mulai terlihat panik.

"Sungguh?"

"Sayang, aku ini suamimu. Kau harus mau mempercayaiku."

"Untuk pria semacam dirimu, aku tidak yakin." Devia menggeleng.

Leano terdiam kaku, tak tahu harus berkata apa untuk menangkis tudingan Devia terhadapnya. Hingga akhirnya, ia ingat akan sebuah alasan mengapa ia membiarkan Lilith tinggal di rumahnya sendiri.

"Sayang, apa kau lupa dengan warisan?" Leano mengingatkan dengan nada menghasut.

Devia spontan termenung sejenak, dengan senyum yang menganga yang tiba-tiba terbentuk di bawah hidungnya yang pesek.

"Warisan?" Devia berangan-angan. "Maksudmu warisan dari orang tua Lilith?"

"Tebakan yang bagus," puji Leano yang tampak mulai tenang.

"Kita mendapatkannya?"

"Haha, pertanyaan macam apa itu? Sudah pasti kita mendapatkannya!" seru Leano meyakinkan.

Mendengar hal itu, Devia segera beranjak dari sofa malasnya, berjalan cepat dalam gaunnya yang sempit di bagian paha, hingga akhirnya memeluk suaminya yang sempat ia curigai.

"Hahaha! Suamiku, kau memang yang terbaik!" Devia tenggelam dalam euforia.

"Hahaha tentu saja aku hebat!" Leano memuji dengan sombong dirinya sendiri.

"Omong-omong, berapa banyak uang yang bisa kita dapat dari warisan itu?"

"Kau mau tahu? 10 kali lipat dari harga rumah ini. Kau boleh tebak berapa."

"Oh tuhan! Sebanyak itukah?" ulang Devia.

"Menakjubkan bukan?"

"Hahaha...."

Seketika itu pula, ruang tamu dipenuhi suasana tawa. Tawa yang berasal dari sebuah kebahagiaan yang haram. Keserakahan lebih tepatnya, bukan kebahagiaan.

The Sacred Witcher Act I: The CurseWhere stories live. Discover now