Natasha - Dag dig dug

6.7K 288 0
                                    

Alexander terus mengingatkanku, betapa beruntungnya dia memilikiku. Kenapa? Begitulah pertanyaan yang selalu ku tanyakan padanya. Jawabnya:

1. Aku cantik (ya iyalah, aku wanita!)

2. Aku anggun (bukan anak gunung kan ya..?)

3. Aku baik hati (kata Mama sih gitu!)

4. Aku berhasil memenangkan hatinya (secara, dia kan udah jadi suamiku)

5. Aku akan mencintainya (mungkin iya, suatu saat nanti, entah sampai kapan)

Alexander tak pernah menuntutku untuk segera mancintainya. Tidak! Dia tak melakukannya. Dia hanya berusaha membuatku jatuh cinta padanya. Dia selalu memberiku kasih sayang yang tulus. Aku bisa merasakannya dengan jelas. Dia selalu mencium pipi dan keningku saat berangkat dan pulang kerja. Pernah juga sesekali mencium bibirku. Aku tak keberatan untuk itu. Itu haknya!

Tapi aku hanya beku. Terdiam tanpa ekspresi bahwa aku menyukainya. Ya, aku suka. Tubuhku sepertinya menerima curahan kasih sayangnya. Tapi pikiranku masih belum mau. Aku masih butuh waktu untuk menerima kenyataan.

"Sayangku... bisa kau pakaikan dasiku?"

Ku balikkan tubuhku yang sedari tadi menghadap jendela. Ternyata sedari tadi aku bergelung dalam lamunan. Membayangkan suamiku tiada henti. Ku langkahkan kakiku perlahan. Sementara suamiku menyodorkan sebuah dasi warna merah bermotif kepadaku. Dengan kemeja warna biru muda dan celana bahan warna biru dongker, menurutku serasi sekali warnanya. Ditambah lagi, postur tubuhnya yang tinggi dan atletis, semakin membuatnya terlihat maskulin dan gagah. Secara refleks, aku berdecak kagum.

"Sayangku..." katanya lagi.

Sekali lagi dibuatnya kaget. Lamunanku yang membayangkan keseksian suamiku buyar oleh panggilannya. Segera ku raih dasi warna merah dari tangan suamiku. Aku mulai melilitkan dasi itu di lehernya. Sejak kami menikah, memang aku yang selalu memasangkan dasi di leher suamiku. Saat aku mendekat di tubuhnya, aroma maskulin yang wangi dan menggoda, menusuk rongga hidungku.

Ku donggakkan wajahku. Ternyata Alex menatapku juga. Mata kami bertemu. Aku bisa melihat jauh ke dalam manik matanya, ada aku di sana. Aku melihat diriku ada dalam matanya. Ku gerakkan kepalaku. Menoleh ke arah kanan, menoleh ke arah kiri, tapi mataku tetap menatapnya. Aku ingin ngetes sejauh mana dia fokus sama aku. Tetap saja dia mengikuti kemanapun mataku berkeliaran.

Senyum manis terukir di wajahnya yang rupawan. Ada sedikit lesung pipi yang menambah kadar ketampanannya. Detak jantungku berdebar tak karuan. Mungkin kalo tak terhalangi oleh kulit tubuhku, jantungku sudah melesat keluar. Tatapan penuh cinta dan memuja dari seorang Alexander, memaksaku untuk kembali dalam kumparan lamunan yang sedari tadi menjeratku.
"Sepertinya kau mulai mencintaiku?" tanyanya di tengah lamunanku.

Aku gelagapan sendiri. Kan jadi ketahuan kalo aku terbuai ketampanannya. Aku malu berat. Alex yang menyadari reaksiku yang menahan malu, mencubit pipiku dengan lembut. Mungkin wajahku akan berubah jadi pink, bersemu, dan merona. Aku tak kuasa untuk menatapnya lagi. Aku harus lebih rajin lagi untuk menata hatiku.

"Natasha... Sedari tadi kau hanya diam? Sibuk sendiri dengan lamunanmu? Memangnya apa yang kau pikirkan? Apa kau ingin sesuatu dariku? Katakanlah!"

"A...aku tak menginginkan apa-apa darimu. A...aku hanya sedikit pusing. Sepertinya aku butuh istirahat." kataku gugup, tapi tetap menundukkan kepalaku.

"Benarkah?" katanya dengan nada cemas.

Tubuhku direngkuhnya ke dalam pelukannya. Dia mencium lembut bibirku. Entah sejak kapan dia melakukannya. Aku tak ingat awal mulanya bagaimana. Aku membalasnya. Ciuman kami semakin dalam. Tanganku bahkan juga mengalung di lehernya. Meski pikiranku selalu mengatakan 'tidak', tetap saja tubuhku bertindak 'ya'. Tubuhku menerima Alexander dengan dalih kenyamanan.

"Hentikan!" bisikku.

Dia menghentikan ciuman dan melepaskan pelukannya. Beralih menatapku penuh tanda tanya. Ada rasa kecewa di matanya. Begitupun aku yang sebenarnya masih menginginkan tubuh Alex selalu berdekatan denganku. Aku masih ingin dipeluk dan diciumnya.

"Ada apa?"

"Aku akan membuat sarapan buatmu!" kataku.

"Tak usah! Semua sudah tersaji di meja. Lagi pula aku akan segera berangkat. Aku ada meeting dengan klien. Jadi sekalian sarapan bareng klienku itu." katanya datar.

Alexander meraih jas warna biru dongker di tanganku. Langsung dipakainya dengan cepat. Pandanganku masih untuknya. Aku masih bingung dengan sikapnya yang tadinya menginginkan dekat diriku, kemudian berubah 100% menginginkan jauh dariku.

"Kamu mau meeting dimana?" tanyaku.

"Di cafe Ariston."

"CAFE ARISTON?" tanyaku yang mengulang jawabannya.

"Kenapa? Kamu mau ikut? Ayo!"

Benarkah aku boleh ikut? Apa aku nggak salah dengar?

"Segera ganti bajumu dengan baju formalmu. Anggap saja kau jadi sekretarisku hari ini. Kau tau kan, aku belum merekrut sekretaris baru? Maukah kau ikut denganku?"

Aku mengangguk dengan cepat. Kapan lagi bisa menjadi sekretaris untuk suamiku sendiri?

"Tunggu ya. Aku akan ganti baju dulu. Kamu keluarlah lebih dulu!"

"Buat apa aku keluar? Aku menunggu di sini saja."

"Tapi aku malu kalo kamu tetap di sini. Keluarlah, ku mohon!"

"Nggak mau!" tolak Alex.

Akhirnya terpaksa aku berganti baju di depannya. Ku percepat gerakanku agar matanya yang tak berkedip itu segera sadar. Aku malu jika dilihatnya terus-terusan. Aku masih belum terbiasa. Aku memakai kemeja warna putih berenda di leher, blazer warna biru tua, dan rok selutut warna hitam. Rambut panjangku ku biarkan tergerai di pundakku dengan bebas. Aku tak memoles wajahku secara berlebihan. Hanya sedikit taburan bedak, sedikit polesan lipstik warna merah muda, dan sentuhan maskara. Ku pakai sepatu pantofelku yang memiliki ketinggian 10 cm. Ku sambar tas merk Louis Vuiton pemberian Alex. Perfect!

"Apa kita bisa berangkat sekarang?" tanya Alex yang menunjukkan jam warna silver di tangannya.

"Iya." jawabku dengan senyuman.

"Kau selalu terlihat cantik di mataku. Beginikah caramu menyenangkan aku?" godanya.

Alex menggandengku mesra. Tanpa berkata apapun, aku bisa simpulkan apa yang dirasakannya melalui senyum manisnya yang makin berbinar. Tatapan penuh cinta dan memujanya, masih untuk aku. Benarkah dia mencintaiku?

"Kalian tak sarapan dulu?" teriak Mama.

Sementara kami tetap berjalan dengan saling pandang satu sama lain. Kami tak sadar kalo Papa dan Mama sedang memperhatikan kami.

"Jiyeee yang lagi mesra-mesraan ampe lupa daratan!" celetuk Alicia.

Alex beralih menatap Alicia dengan geram. Alicia tak bergeming. Dengan muka masa bodohnya, kembali melahap nasi goreng di piringnya. Selanjutnya Alex memberi salam kepada Papa dan Mama. Aku mengikuti caranya.

"Kalian mau kemana? Sepagi ini berangkat ke kantor?" tanya Papa yang kemudian menyesap kopi di tangannya. Mata Papa masih mengawasi kami.

"Kami buru-buru Pa. Alex ada meeting dengan klien."

"Lantas Natasha mau kemana? Kau membiarkan dia pergi sendirian?" tanya Mama dengan wajah panik menatap Alex dan Natasha secara bergantian.

"Tentu tidak! Natasha akan ikut bersamaku."

Dia tersenyum padaku. Betapa manisnya! Hatiku lumer dengan senyuman manisnya itu.

"Iya Mama." kataku.

"Sekalian kencan itu." goda Alicia.

Alex hendak marah, tapi setelah ku ingatkan tentang waktu, dia mengurungkan niat balas dendam atas godaan Alicia.

"Assalamu alaikum..." kataku.

"Walaikum salam..." jawab mereka serempak.

Miss HackerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang