Natasha - Menyebalkan!

15.9K 709 5
                                    

"Apa kau mendapat kesulitan saat berhadapan dengan eksekutif muda itu?" suara Pak Cakra mengagetkanku saja. "Ayo cepat ceritakan semuanya padaku!"

"Dia... dia itu..." aku tak bisa berkata lagi. Mengingat kelakuannya kemaren sore yang sok-sokan telat, udah gitu sok tebar pesona. Dan sebagainya. Spechless!

"Dia kenapa? Dia tampan atau bagaimana?" goda Pak Cakra.

Serius loh, aku nggak bisa deskripsiin tentang Alexander itu. Yah, sepertinya itu namanya. Masa bodo!

"Eh, malah bengong! Ini serius nanya!" suara Pak Cakra dengan nada lebih tinggi, tapi tak membentakku. Beliau tetap sopan menanggapiku.

"Maaf Pak Cakra. Saya nggak bisa deskripsiin lebih lanjut tentang dia. Dia itu nggak ontime orangnya. Suka tebar pesona. Sejauh yang saya liat sih begitu!" kataku.

"Ehm, mungkin dia masih sibuk sama urusannya. Jadi, ya bisa telat!"

Ah Pak Cakra. Anda terlalu baik! Kelakuan si Alexander itu tak mengesankan bagiku. Kesan pertamaku untuknya, he isn't good man! Mungkin.

"Duduklah di situ!" Pak Cakra menunjuk sebuah kursi di hadapannya. Tepatnya di depan meja kerjanya. Aku patuh mengikuti perintahnya.

"Pak, bolehkah besok saya ambil cuti? Sehari saja. Saya ingin mengantar Mama check-up ke Rumah Sakit."

"Lah, Bu Sovia sakit apa memang?" tanya Pak Cakra dengan ekspresi tegang.

"Mama hanya perlu check-up untuk memastikan keadaannya saja, Pak. Bukankah Pak Cakra sudah tau kalo Mama pernah kesrempet motor? Ah, itu sudah lama sih." aku coba menjelaskan. "Tentu saja jika Pak Cakra tidak berkeberatan dengan izin saya ini."

"Natasha, aku pasti mengizinkanmu. Kerjamu hari ini dan sebelumnya, ku akui selalu memuaskan. Tak ada yang kurang. Jadi apa lagi? Silakan ambil cutimu!"

"Terima kasih Pak Cakra. Anda terlalu baik."

Aku minta diri untuk permisi. Selain urusanku selesai, jam pulang sudah memanggilku. Aku datang ontime, pulang pun juga demikian. Lagi pula, Mama juga sendirian di rumah. Aku kasian kalo membiarkannya sendiri tanpaku. Hanya aku saja yang bersamanya saat ini. Aku sebenarnya masih punya Om dan Tante. Tapi entahlah, aku lupa mereka merantau kemana. Sudah lama tak mendapatkan kabar dari mereka.

"Mama, besok kita jadi ke Rumah Sakit ya? Aku sudah minta cuti sehari sama Pak Cakra." kataku sambil membantu Mama menyiapkan makan malam.

"Tapi apa perlu begitu? Mama nggak apa-apa kok, Nat. Kamu jangan terlalu berlebihan begitu. Mama baik-baik saja kok!" suara Mama seakan berusaha untuk meyakinkanku bahwa Mama baik-baik saja.

"Tidak bisa begitu, Mamaku sayang. Aku kan hanya mencoba menyayangimu dengan caraku sendiri. Tentunya, Mama paham! Aku hanya punya Mama. Ayah dan adikku kan..." tiba-tiba mataku terasa berat dan aku menangis.

"Sudahlah. Mereka sudah bahagia dan tenang di sisi Tuhan. Jangan bersedih lagi." kata Mamaku yang ku tau juga ikut menangis.

Kami berpelukan. Ku curahkan segala kesedihan di dalam dadaku yang semakin sesak. Lidahku juga tercekat, sehingga tak bisa berkata-kata lagi.

"Mama sayang kamu, Nat...!" bisik Mama pelan. Ku cium pipi Mama yang telah basah oleh air mata. "Semoga kamu segera ketemu jodohmu ya. Mengingat umurmu sudah bukan tergolong remaja lagi!"

Maksud Mama aku udah dewasa? Yang benar saja! Itu benar. Umurku udah menginjak 24 tahun. Apa salahnya coba? Coba kau lihat dari segi mana salahnya aku? Hiks hiks hiks.

"Mama tuh pinginnya kamu dapet laki-laki yang bisa jagain kamu dengan baik. Dengan begitu kan Mama udah bisa tenang kalo kamu jatuh di tangan yang yang tepat?" aku mengerling menatap Mama.

"Mama pikir aku apa? Jatuh di tangan orang yang tepat? Itu aku Ma? Aku bukan barang belanjaan loh Mama..." keluhku.

"Natasha nggak peka." Mama menjitak kepalaku. Aku hanya bisa meringis kesakitan. "Maksudnya kamu mendapatkan suami yang baik dan bertanggung jawab!"

"Yah kalo bisa sih yang ganteng juga Ma." kataku jujur.

"Iya deh iya. Dasar pemilih! Tapi emang udah ada calonnya? Mama menyelidik menatapku tajam dan menggoda. Aku mengeleng pelan. Mungkin Mama kecewa. "Tak apa! Jodohmu pasti menunggumu di tempatnya!"

"Di mana dia Ma?" aku terhenyak oleh ucapan Mama.

"Di... ya di rumahnya lah....! Di mana lagi." seru Mama.

Ugh, Mama ternyata hanya mengerjaiku supaya aku panik dan kepo abis. Alhasil Mama yang menang dan aku yang kalah. Poor me!

Miss HackerWhere stories live. Discover now