Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi

Mulai dari awal
                                    

"Angkat tangan kanan kamu." pinta Faust.

Atha dengan bingung mengangkat tangannya, kemudian Faust menepuknya. Sederhananya, dia sedang melakukan tos dengan Atha. Namun anehnya Atha bisa menyaksikan seluruh pendar berwarna biru keluar dari badannya begitu Faust selesai menepuknya. Sosok Faust pun pelan-pelan menghilang, tergantikan oleh debu berwarna biru yang berkilauan―tertiup terbawa angin keluar jendela balkon.

"Faust?" Atha panik sendiri melihatnya, mengira dia melakukan kesalahan.

Faust lagi-lagi tersenyum. Kali ini berbeda dari biasanya.

"Sampai jumpa, Athalia."

Lalu―bersamaan dengan itu―Faust lenyap menjadi debu biru berkilauan. Berterbangan keluar, kearah balkon. Atha segera berlari kecil mengikuti arah debu itu pergi, dia menuju balkon kamarnya. Mengejar debu-debu itu hingga pembatas balkon.

Mata Atha menyipit menyaksikan bagaimana debu itu menghilang kearah bulan purnama yang ada di langit. Dia pun melambaikan tangannya di udara seraya menyungging senyum.

"Sampai jumpa juga, Faust."

》》

Kicauan burung di pagi hari menginterupsi tidur Atha. Meski kesadarannya perlahan kembali ke permukaan, Atha tetap bersikeras memejamkan matanya dan menutupi wajahnya dengan bantal sampai pada akhirnya terdengar sebuah ketukan dari arah pintu.

Tok tok

Atha menghiraukannya. Tidak punya niatan untuk bangun dalam waktu dekat.

Tiba-tiba decitan pintu diiringi langkah kaki memasuki kamar dan membuka tirai jendelanya. Membuat cahaya matahari pagi mengenai Atha. Namun dia masih menghiraukan. Tidak lama setelahnya, Atha merasakan seseorang menarik selimutnya.

Baru lah kali ini, Atha berdecak kesal dan bangun.

"Gue masih mau tidur, Kari―" ucapan Atha terhenti disaat dia menengadah. Matanya terpatri pada sosok wanita yang tak asing tengah berkacak pinggang, geleng-geleng kepala. "Mama?" tambahnya sangat amat pelan.

Atha menghela napas pendek. Melemparkan pandangannya ke luar jendela dalam diam. Baru tersadar bahwa dia tak lagi berada di masa lalu. Pemandangan disekitarnya kembali seperti semula.

"Kenapa?kamu lagi mau makan kari?" tanya Helen, Mamanya. "Kamu tuh ya, dibangunin susah banget. Tidur jangan malam-malam makanya."

Anak perempuannya menggigit bibir bawahnya dan menggeleng kecil. Seminggu ternyata cukup membuatnya merasa terbiasa dengan kehadiran Kariza.

Ah. Atha jadi bertanya-tanya, seperti apa wujud makhluk menyebalkan yang satu itu sekarang serta keberadaannya.

"Tha, kok malah ngelamun?kamu nggak berangkat ke kampus?bentar lagi jam sembilan."

Atha melotot usai mendengar ucapan Helen. Dia bergegas beranjak dari kasur, setengah berlari mengambil handuk. Sebelum melesat ke kamar mandi, Atha menoleh ke belakang. Melihat Helen membereskan kasurnya yang dia tinggalkan berantakan tanpa berpikir dua kali untuk membereskannya lebih dulu.

"Mama nggak kerja?"

Helen berdeham. "Mama ambil cuti tiga hari."

"Papa?"

"Udah berangkat, kamu kelamaan." jawab Helen yang langsung membuat Atha melesat ke kamar mandi. Kembali pada tujuan awalnya.

Sesudah mandi dan memakan selembar roti selai kacang, Atha bergegas ke kamar lagi. Kali ini Helen sudah tidak disana, kasur yang ditinggalkan Atha pun terlihat rapih. Sedikit terburu-buru, Atha mengambil tas ransel yang biasa dipakainya ke kampus―ketika hendak memakai selempangannya, mata Atha terpatri kepada foto Nara dengan dirinya yang ada diatas meja. Nara yang tengah tersenyum.

Replaying UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang