| 5 |

8K 690 7
                                    

Hujan turun begitu saja di saat bel pulang tepat berbunyi. Bulan melihat langit kelabu dengan pasrah. Hari ini ayahnya tidak bisa menjemputnya karena terpaksa lembur di kantor, dan sialnya Bulan juga tak membawa payung.

Bulan membuka novelnya, mencari halaman terakhir ia membaca benda itu. Bulan mencoba untuk membunuh rasa bosannya dengan menyibukkan dirinya di dalam imajinasinya sendiri dan menunggu hingga hujan mereda.

"Lo nyari siapa sih, Ven? Daritadi celingak-celinguk kaya abis maling ayam tetangga aja." Marcus yang berjalan di sisi Venus merasa gerah dengan kelakuan sahabatnya yang sejak keluar dari kelas menjadi seperti maling kepergok.

"Bulan." ucap Venus tanpa menyadari kalau ia sudah keceplosan kepada Marcus.

Merasa kalau Venus menyebutkan sebuah nama yang sudah lama terdengar di telinganya membuat Marcus bertanya-tanya. Ada urusan apa Venus dengan Bulan? batin Marcus.

Marcus memang penasaran, tapi ia masih menghargai privacy sahabatnya. Dan ketika ia melihat sosok seorang Bulan yang tengah berdiri menyendiri, Marcus langsung berkata "Yang lo cari ada di sana." sambil menyolek pundak Venus.

Seketika laki-laki yang di colek pundaknya langsung membalikkan tubuhnya dan mendapati gadisnya tengah asik membaca novel dengan posisi berdiri menyandar dinding di koridor utama.

Seperti dulu-dulu, ia selalu asik dengan bacaannya hingga tak peduli pada orang-orang di sekitarnya. Padahal saat ini koridor utama sangat sesak dengan murid-murid yang berlalu-lalang heboh karena tak bisa pulang akibat hujan turun.

"Gue nggak berani, man." kata Venus sambil terus memandangi Bulan dari jarak yang cukup jauh untuk Bulan menyadari keberadaanya.

Marcus mendecak sebal, kini ia berdiri tepat di depan Venus, menghalangi pandangan laki-laki itu dari Bulan. "Gue emang penasaran kenapa lo tiba-tiba mencari Bulan lagi setelah selama ini lo justru menghindar dari dia, tapi Ven, lo cowok bukan? Apa yang lo tiba-tiba takutin, Ven? Kalau lo ada butuh sama dia, samperin dong!" kata Marcus panjang lebar.

Venus mendelik mendengar perkataan Marcus. "Tai. Ngomong sih gampang!" Venus mendorong pundak Marcus pelan. "Coba lo posisikan diri lo sebagai gue. Setelah setahun lebih nggak pernah ngomong face-to-face sama dia dan sekarang lo berpikiran mau ngajak dia pulang bareng, apa lo berani?"

Marcus mengibaskan tangan kanannya di depan wajah Venus, tak peduli dengan semua ocehan sahabatnya itu. Marcus ingin Venus menyelesaikan masalah yang sudah ia pilih untuk hindari selama setahun ini dan sekarang justru ia menarik masalah itu kembali sendirian tanpa bantuan dari dirinya.

"Terserah lo aja sih. Kalau lo masih mau mencoba lagi sama dia, ya samperin aja. Tapi kalau lo masih mau menjalani hidup dan penghindaran lo itu ya lebih baik lo pulang terus bobo cantik." jawab Marcus.

Marcus melihat jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, "Eh, gue cabut duluan ya? Mau jemput Mentari dulu, nanti doi ngambek. Nanti kabarin gue ya kalau lo berhasil pulang bareng sama Bulan. Good luck!" kemudian Marcus pergi meninggalkan Venus dengan tergesa-gesa. Venus tau kalau Mentari, adik perempuan Marcus, tidak suka kalau kakaknya telat menjemput.

Kini, semua pilihan ada di tangan Venus. Haruskan ia menghampiri Bulan?

Namun, bagaimana ia harus memulai semuanya dari titik 0 sementara perasaannya pada gadis itu masih berada di titik 100?

Merasa ada seseorang yang berdiri di belakangnya, Bulan mengangkat wajahnya dari novel yang sedang di bacanya kemudian menoleh ke belakang.

Venus berdiri di sana dengan senyum kecil di wajahnya.

Bulan menaikkan kedua alisnya, bingung dengan Venus yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya. Apa yang ia lakukan? batin Bulan.

"Ngg, Bulan..." panggilnya yang lebih terdengar seperti bisikan bagi Bulan.

"Hm?"

Venus menggigit bibir bawahnya dengan tangan yang tengah menggaruk tengkuknya kikuk kemudian mengacak-acak rambutnya sambil berdecak. Bukan hal yang aneh lagi bagi Bulan untuk melihat tingkah Venus seperti ini ketika tengah nervous. Kalau saat ini adalah satu tahun yang lalu, Bulan akan menggenggam kedua tangan Venus dan menatapnya tepat di manik mata laki-laki itu, menenangkannya.

"Pulang bareng gue, ya?" ajaknya dengan suara yang terdengar sangat frustasi. Wajahnya sudah di penuhi dengan berbagai emosi; marah, lelah, namun tampak sendu.

Kalau saja Bulan bukan orang yang jago dalam memainkan ekspresinya, mungkin saat itu wajah Bulan sudah melongo karena tidak percaya kalau pertanyaan ajakan itu yang keluar dari mulut seorang Venustra. Namun, di bagian lain dalam tubuh yang sama, jantung Bulan sudah berdetak terlampau cepat sehingga ia takut kalau Venus akan mendengarnya.

Sementara itu, Venus tengah merutuki dirinya sendiri yang sudah terlalu berani dan tidak memikirkannya matang-matang sebelum menghampiri Bulan dan mengajaknya pulang bersamanya. Ia hanya dapat berharap kalau Bulan menerima ajakannya.

Namun, melihat ekspresi wajah Bulan yang terlampau datar dan tanpa emosi sedikit pun, Venus sepertinya sudah tahu jawaban apa yang akan diterimanya sebentar lagi...

Venus & BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang