Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang

Start from the beginning
                                    

Nara bertopang dagu. Mendadak teringat bagaimana Atha memasuki kelas pada hari pertamanya waktu itu. Atau bagaimana sebelumnya Atha jatuh tertindih dibawahnya saat Nara berniat bolos sekolah.

Sudah cukup lama setelah kejadian itu berlalu―meski baru seminggu lebih terlewat. Tapi Nara tidak bisa memungkiri bila keberadaan Atha benar-benar merubah cara pandangnya.

Ada sesuatu pada dirinya yang seperti magnet. Sesuatu menarik yang Nara tidak bisa menjelaskannya.Walau itu yang sebenarnya menjadi poin lebih dan membuat Nara tertarik hingga pemuda itu sampai pada titik dia mengerti kemana rasa tersebut mengarah.

Kemana rasa 'tertarik' nya mengarah. Dan semua itu terbukti ketika seharian ini Nara tidak bisa membuka satu topik pun dengan Atha setelah Kariza menyatakan pilihannya―membuat Nara bungkam karena detik itu, dia tidak terima.

Nara tidak berani mendefinisikan rasa tertariknya sebagai suka. Karena dia perlu waktu untuk menyukai seseorang―dan seminggu secara logika tidak masuk akal untuknya.

Tapi bisa jadi, Atha pengecualian.

Tangan Nara terjulur, meraih beberapa helai rambut Atha dan memainkannya. Cukup lama Nara dalam posisi seperti itu―hingga ponselnya bergetar. Nara merogoh saku dan membukanya. Seketika beranjak berdiri mengingat pekerjaannya yang menanti.

Tapi sebelum benar-benar pergi Nara membungkukkan badannya. Dia mengacak rambut Atha pelan lalu memastikan bila perempuan itu tidak akan bangun dalam waktu dekat―setelah yakin, Nara berbisik super pelan.

"Tha, kalau pada akhirnya, gue suka sama lo―gue harus gimana?"

》》》

Atha membuka matanya perlahan sambil membenarkan posisi duduknya. Cahaya perlahan menelusup masuk dan hal yang pertama kali Atha lihat di depannya begitu terbangun adalah makhluk berjenis kelamin laki-laki―Kariza.

Dia sedang menopang dagunya dengan kedua tangan, kepalanya menghadap ke samping untuk menatap langit diluar jendela kelas. Kelihatan sedang berpikir. Cahaya matahari sore membuat Atha bisa melihat jelas pantulan awan putih di mata hazel Kariza.

Sudah berapa lama dia tertidur?

"Lama." ucapnya memakai nada jutek lalu menoleh ke arah Atha. Mata pemuda itu menatap lurus Atha, tanpa bisa dibaca olehnya. "Lo kenapa nggak langsung pulang?" tanyanya kemudian.

"Mm.." Atha mengusap matanya pelan. Otaknya masih dalam kondisi setengah sadar―barulah setelah beberapa detik berlalu, dia menjawab, "Gue nggak punya duit."

Kariza memutar kedua matanya malas. Melamun sebentar sebelum beranjak pergi keluar kelas. "Gue hitung sampai tiga, kalau lo nggak cepetan pergi dari sini―gue tinggal."

"Satu."

Atha bergegas bangkit dan dengan sedikit kelabakan memakai selempangan ranselnya. Dia melirik jam dinding kelas. Melotot saat sadar bila sekarang sudah waktunya dia magang. Atha mengedarkan pandangannya ke belakang sekali lagi sebelum menutup pintu kelas dan berlari untuk memperkecil jaraknya dengan Kariza.

Faust tidak ada dimana pun.

Aneh, batinnya. Rasanya sebelum tertidur―Atha melihat Faust. Namun yang membuat perempuan itu menghentikan langkahnya adalah mimpi indah yang singkat, yang dialaminya tadi.

Ditengah-tengah berlari kecil, Atha mendengar sesuatu terjatuh diatas lantai dan tidak sengaja dia menginjaknya. Takut bila yang terjatuh adalah benda berharga―Atha berbalik lalu memungutnya.

Hanya kertas yang dilipat-lipat menjadi kecil.

Rasa penasarannya mencuat, Atha membuka kertas tersebut dan heran mendapati gambar yang dibuat Nara ada disana. Seingatnya, dia tidak merobek buku pemuda itu.

Replaying UsWhere stories live. Discover now