1-2

10.1K 910 279
                                    

Song for this chapter: Meghan Trainor ft John Legend - Like Im Gonna Lose You

Mungkin aku akan menginap di hotel ini untuk satu malam lagi.

Kondisiku benar-benar tidak memungkinkan untuk pulang ke Sydney—well, lebih tepatnya, kondisi hatiku.

Hell, Summer, apa yang kaupikirkan? Kenapa aku bawa perasaan seperti ini?

Menarik nafas panjang, aku merebahkan tubuhku ke ranjang dan berharap tidak mengingat satupun dari kejadian malam ini. Benar-benar ia sudah tidak termaafkan kali ini. Ia bertingkah seolah baru kali ini ia menyakitiku; ia akan meminta maaf padaku dan mengulangi hal fatal di lain kesempatan. Dan aku sudah cukup memberi hati padanya, namun, tidak kali ini.

Dan dengan pikiran yang campur aduk, aku merasakan diriku tertidur perlahan, melupakan seluruh kejadian hari ini.

*

Aku bangun pagi harinya, dengan malas aku beranjak dari ranjang dan mengucek mataku, mengumpulkan kembali nyawaku.

Menatap jam dinding, aku mendapati sudah pukul 10 pagi sekarang. Aku menyeret langkahku menuju kamar mandi dan mencuci mukaku. Namun tiba-tiba rasa kram menghampiri perutku, fuck, aku benci menstruasi.

Tanganku menyandar pada dinding sambil meremas ujung kaosku kuat-kuat, rasa sakitnya menjalar kemana-mana.

"Uurrghh," aku merintih kesakitan, berusaha keluar dari kamar mandi dengan sisa tenaga yang kumiliki.

Ketika aku berhasil mencapai ranjang kamar hotel lagi, aku segera merebahkan tubuhku dan menggeliat kesakitan, kau tahu, seperti cacing kepanasan.

Tok..tok..

Aku mendengar pintu kamarku di ketuk beberapa kali. Mungkin pelayan hotel memutuskan untuk memberiku sarapan atau semacamnya.

"Masuklah, tidak kunci!" aku sedikit berteriak, kemudian pintu kamar dibuka.

Ia berdiri di depan pintu cukup lama hanya untuk memperhatikanku menggeliat kesakitan, kemudian ia melangkahkan kakinya masuk ke kamar kemudian menutup pintunya kembali.

Kali ini aku tidak ingin meneriakinya atau menyuruhnya pergi. Rasa sakit yang mendominasi membuatku malas berurusan dengannya.

Langkahnya semakin mendekat ke arahku, dan saat itu juga aku menyadari di tangannya membawa kantong plastik kecil berwarna putih.

"Kukira kau akan membutuhkan ini," ia mengeluarkan isi kantong plastik itu, yang ternyata berisi satu pak pembalut bersayap dan obat painkiller. Oh, tidak hanya itu. Ia membelikanku cokelat batangan dan satu pak marshmallow.

Masih tidak ingin merespon, aku hanya diam sambil melingkarkan tanganku diantara perut, mengerang kesakitan untuk sekian kalinya.

"Kau tahu, Mali sering menyuruhku membeli barang-barang ini." Ia memutar bola matanya sambil menaruh barang-barang itu satu persatu di mejaku. "Tapi karena aku sudah sering membeli, um, pembalut, jadi aku sudah tidak canggung lagi membeli barang-barang seperti ini." Lanjutnya, kemudian tertawa.

Memangnya lucu?

"Tapi tidak apa-apa, itu wanitawi, wajar." Ia melanjutkan, kemudian seusainya ia duduk dipinggiran ranjangku.

"Sebelah mana yang sakit?" tanyanya halus, lebih halus dari selimut hotel yang sedang kugunakan.

Aku belum mengeluarkan sepatah katapun, bahkan untuk menatapnya saja aku enggan. Ia menyadari perlakuanku, sehingga ia mendesah panjang.

Groupie101 • calumhoodWhere stories live. Discover now